Ikhbar.com: Mental health alias kesehatan mental menjadi salah satu kata kunci yang tengah tren di media sosial (medsos). Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kondisi yang memungkinkan adanya perkembangan yang baik secara fisik, intelektual, dan emosional. Sayangnya, mental health kerap dipahami secara serampangan sehingga memunculkan anggapan-anggapan dan kesimpulan yang salah kaprah.
Founder Lembaga Griya Jiva Pranacita, Jakarta, Ny. Hj. Dr. Rihab Said Aqil menjelaskan secara lengkap tentang apa, bagaimana, dan mengapa kesehatan jiwa menjadi sangat penting dan berpengaruh bagi kehidupan manusia.
“Karena kesehatan jiwa akan berdampak pada banyak hal. Di antaranya bisa memengaruhi pandangan kita ke Tuhan. Kalau kita lagi ditimpa cobaan berat, kita sering menyalahkan Tuhan. Tuhan dinilai kejam, tidak adil, dan sejenisnya. Itu salah satu alasan mengapa kita penting untuk menjaga mental health,” katanya, saat menjadi narasumber dalam “Semiloka Nasional: Meningkatkan Resiliensi dan Konseling Skill Tenaga Didik Pesantren,” di Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, Jawa Barat, dikutip dari tayangan Youtube KHAS Kempek, Selasa, 22 Agustus 2023, malam.
Seminar dan lokakarya ini digelar sebagai salah satu rangkaian peringatan peringatan Haul Ke-34 KH Aqiel Siroj dan Sesepuh Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon.
Yang kedua, lanjut penyandang gelar doktor dalam bidang Konsentrasi Psikologi Islam tersebut, kesehatan mental juga akan memengaruhi religiositas seseorang.
“Memengaruhi cara kita beragama. Misalnya, menjadi lebih ekstrem. Trauma di masa lalu karena pernah menjadi korban kekerasan, kurangnya perhatian, kasih sayang, dan lainnya bisa saja membuat seseorang akhirnya mencari pelampiasan lewat tindakan terorisme. Tidak melulu disebabkan salah kaprah dalam menerima ilmu pengetahuan, tetapi ada yang bolong dari sisi jiwanya,” kata Nyai Rihab, sapaan akrabnya.
Menurut Nyai Rihab, kesehatan mental juga sangat penting dijaga lantaran ia bisa membentuk habit dan karakter. Jika seseorang cenderung memilih diam atau memendam masalah-masalah yang sedang diterimanya, maka bisa jadi itu akan melekat menjadi sebuah karakter.
“Berikutnya adalah bisa memengaruhi relasi. Kasus paling banyak dalam hal ini ditemukan pada hubungan ibu dan anak. Ketika ibu depresi atau stres, maka anak yang kerap menjadi sasaran,” katanya.
Putri ulama karismatik, Buya Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj ini juga menyimpulkan, merawat kesehatan mental menjadi sesuatu yang penting karena akan bersinggungan dengan naik turunnya performa seseorang.
“Kondisi jiwa akan memengaruhi kualitas hidup. Setiap keputusan yang diambil pun terkesan tidak matang. Misalnya, buru-buru menikah, ketimbang dianggap tidak laku,” kata Nyai Rihab.
“Berikutnya, gangguan pada kesehatan mental juga akan berpengaruh pada kesehatan fisik dan perilaku. Bagi yang remaja, dampaknya bisa berupa kenakalan remaja atau pun gemar mem-bully,” ungkapnya.
Baca: Bagaimana Proses Kebenaran Dicerna Tubuh? Ini Penjelasan Buya Said Aqil

Mental health dalam Islam
Islam merupakan agama yang sempurna. Maka, ketika sebuah isu menjadi populer, masyarakat Indonesia cenderung mencari dalil, argumetasi, atau keterangan yang lebih luas lewat panduan-panduan keagamaan.
“Penting enggak sih mental health itu? Perasaan dalam Islam tidak pernah diajarkan? Biasanya begitu. Nah, berikut ini beberapa di antara dalilnya,” kata Nyai Rihab, sembari membacakan QS. Al-Fajr: 15-16.
Allah Swt berfirman:
فَاَمَّا الْاِنْسَانُ اِذَا مَا ابْتَلٰىهُ رَبُّهٗ فَاَكْرَمَهٗ وَنَعَّمَهٗۙ فَيَقُوْلُ رَبِّيْٓ اَكْرَمَنِۗ
“Adapun manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kenikmatan, berkatalah dia, ‘Tuhanku telah memuliakanku.’
“Ketika lagi enak, kita memuji Tuhan. Tetapi sebaliknya, ketika tidak enak, tiba-tiba menyalahkan Tuhan,” sambung Nyai Rihab.
وَاَمَّآ اِذَا مَا ابْتَلٰىهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهٗ ەۙ فَيَقُوْلُ رَبِّيْٓ اَهَانَنِۚ
“Sementara itu, apabila Dia mengujinya lalu membatasi rezekinya, berkatalah dia, ‘Tuhanku telah menghinaku.”
Spirit pentingnya menjaga kesehatan mental, menurut Nyai Rihab, juga termaktub dalam sebuah hadis Nabi Muhammad Saw.
“Tidak apa-apa dengan kekayaan bagi orang yang bertakwa kepada Allah Swt dan kesehata bagi orang yang bertakwa kepada Allah itu lebih baik. Dan kesehatan jiwa itu termasuk kenikmatan.” (HR. Ahmad).
“Hadis itu menceritakan peristiwa ketika Nabi Saw usai ambil wudu, kemudian salah seorang sahabat berkata, ‘Wahai Nabi, wajahmu begitu tenang dan bersinar,” jelas Nyai Rihan.
Di sisi lain, lanjut Nyai Rihab, konsep kesehatan mental juga telah dijelaskan oleh ulama bernama Abu Zayd Al-Balkhi. Al-Balkhi merupakan ilmuwan dan polymath Muslim abad ke-9.
“Al-Balkhi membahas psikologi selayaknya keterangan-keterangan dalam keilmuan modern. Yang dibahas adalah marah, sedih, cemas, dan wasawas. Artinya, bagaimana mengontrol hal-hal itu dengan penanganannya yang sama seperti di zaman modern. Oleh karena itu, dia dijuluki bapak psikologi Islam,” katanya.
“Menurut Al-Balkhi, kesehatan jiwa sangat penting karena gangguan-gangguan terhadapnya justru bisa menetap dalam diri manusia. Jika manusia mengalami gangguan kesehatan fisik, maka itu bisa diobati. Tetapi kalau sakit mental, belum tentu,” sambung Nyai Rihab.
Baca: Mengamini Penjelasan Gus Ulil: Tasawuf sebagai Obat Gangguan Mental
Selanjutnya, Nyai Rihab menjelaskan, seseorang dengan kesehatan mental memiliki ciri-ciri, pertama, self acceptance atau menerima kelebihan dan kekurangan diri sendiri. “Jika seseorang tidak mau menerima diri sendiri dengan apa adanya, maka dia akan lebih sulit untuk menerima orang lain,” jelasnya.
Kedua, enviroment mastry. Yakni, seseorang dengan kesehatan jiwa akan mampu mengendalikan lingkungan dan bukan justru terbawa arus.
“Ketiga, good relations with others atau memiliki hubungan yang baik dengan orang lain. Lalu, keempat, mempunyai meaning and purpose in life atau punya tujuan hidup yang jelas dan bermakna,” katanya.
Kelima, orang dengan kesehatan jiwa akan mengalami personal growth alias perkembangan dalam pribadi. “Perkembangan itu bisa berupa apakah menjadi manusia yang terus lebih baik, bermanfaat, dan kontributif untuk sekeliling. Semuanya bisa dimulai dari skala kecil,” ungkap Nyai Rihab.
“Terakhir adalah authonomy atau kemandirian. Seseorang dengan kesehatan mental tidak akan bergantung pada orang lain. Dia akan kuat dan tangguh. Boleh minta tolong, tetapi tidak sampai bergantung,” ungkapnya.
Simpang siur kesehatan mental
Menurut Nyai Rihab, ada beberapa sumber yang mampu menumbuhkan dan menjaga kesehatan mental seseorang. Di antaranya adalah agama dan aktivitas spiritual, dukungan keluarga dan pola asuh yang kuat, budaya lingkungan dan tempat tinggal, kesehatan fisik, tingkat pendidikan, tujuan hidup yang baik, serta kepemilikan motivasi yang kuat.
“Cuma, ada banyak salah paham tentang mental health yang sudah bertebaran di medsos. Misalnya, orang dengan masalah mental dianggap sebagai dampak kurang bersyukur. Ini enggak nyambung, karena konteksnya berbeda. Bukan di perkara syukur, sebab, terkadang dia butuh sabar. Orang dia sedang diuji, malah disuruh bersyukur,” kata Nyai Rihab.
“Proses beradaptasi dan menerima keadaan itu butuh waktu. Lebih tepatnya, perlu belajar ikhlas dan belajar rida atas apa yang sedasng menimpanya,” sambung Nyai RIhab.
Salah kaprah berikutnya adalah orang dengan mental yang sehat selalu dalam keadaan senang. “Ini juga belum tentu. Nabi Muhammad Saw sekalipun pernah menangis dan marah. Padahal beliau manusia sempurna. Mengapa? Karena itu sebuah kewajaran bagi manusia,” katanya.
Menurut Nyai Rihab, masalah mental juga berbeda dengan normal stress (stres biasa) atau worrying events (peristiwa yang mengkhawatirkan).
“Kita takut dengan Covid-19, itu bukan gangguan mental. Itu normal. Takut kecoa, bukan fobia,” katanya.
“Selanjutnya, kesehatan jiwa bukan hanya ditandai dengan absen dari gangguan mental. Tetapi itu sebuah proses aktif bergerak dari penderitaan menuju ketahanan hingga berlanjut ke pertumbuhan,” sambung Nyai Rihab.
Berikutnya, ada anggapan orang dengan pendidikan tinggi, kesuksesan karier, atau religius dianggap sebagai orang-orang yang sehat secara mental. Padahal, kata Nyai Rihab, bisa jadi itu hanya tampak dari sisi permukaan.
“Selanjutnya, jangan melakukan diagnosa atau labeling dengan sembarang. Misal, sepertinya saya mengidap kecemasan menyeluruh atau kamu kayaknya fobia ketinggian. Padahal memang itu dalam kategori ketinggian yang wajar untuk ditakuti. Atau ada pula yang gemar berucap lingkungan tempatnya bekerja sangat toxic (budaya komunikasi yang tidak sehat/kasar). Padahal, bisa jadi yang seperti itu justru kita sendiri,” katanya.
“Jiwa manusia itu ibarat cermin, kata Imam Ghazali. Kalau kita kotor, itu akan memantul ke orang lain. Membaca orang lain, sebenarnya sedang membaca diri sendiri,” ungkap Nyai Rihab.