Debat Capres dalam Pandangan Islam

Pasangan Anies-Muhaimin nomor urut 1, Prabowo-Gibran nomor ururt 2, dan Ganjar-Mahfud nomor urut 3 saat penetapan nomor urut pasangan Capres dan Cawapres Pemilu 2024 di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (14/11/2023). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

Ikhbar.com: Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan debat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sebanyak lima kali. Debat akan digelar sebanyak dua kali pada Desember 2023, dua kali pada Januari 2024, dan satu kali pada Februari 2024.

Debat capres dan cawapres akan dilaksanakan pada Selasa (12 Desember 2023), Jumat (22 Desember 2023), Ahad (7 Januari 2024), Ahad (21 Januari 2024), dan Ahad (4 Februari 2024).

“Ada kemungkinan rencananya di Jakarta semua,” ujar Ketua KPU, Hasyim Asy’ari, di Istana Negara, Jakarta Pusat, pada Rabu, 29 November 2023 lalu.

Baca: Aturan Debat dalam Islam

Manfaat debat

Ilmuwan politik Amerika Serikat (AS), Thomas M. Holbrook, dalam riset berjudul “Political Learning from Presidential Debates (1999)” menjelaskan bahwa sebuah perdebatan akan mampu memperkuat keyakinan calon pemilih dalam menilai kandidat.

“Debat yang paling penting setidaknya dalam hal perolehan informasi adalah debat pertama. Biasanya, debat pertama diadakan saat masyarakat kurang informasi yang mereka miliki dan keputusan pemilih cenderung belum diputuskan,” tulis Holbrook

Sementara itu, dua profesor komunikasi politik AS, Kathleen Hall Jamieson dan Jeffrey A. Gottfried dalam penelitian berjudul “Are there lessons for the future of news from the 2008 presidential campaign? (2010)” mencatat, di tengah tradisi media yang berubah, yakni ketika berita tradisional telah memberikan landasan bagi sumber-sumber media non-arus utama, maka debat yang disiarkan di televisi terus memainkan keunikan tersendiri.

“Bentrokan dua sisi dari debat mengenai ide-ide yang saling bersaing, yang tidak dimediasi oleh interpretasi dari wartawan, meningkatkan pengetahuan pemilih,” ungkap mereka.

Singkatnya, debat capres-cawapres dalam pesta demokrasi merupakan upaya untuk memberi kesempatan secara leluasa bagi para calon konstituen guna memantapkan pilihannya terhadap para calon pemimpin bangsa tersebut.

Baca: Mengenal Fikih Siyasah, Panduan Politik Umat Islam

Tradisi debat dalam Islam

Debat pernah menjadi metode atau jalan dakwah yang ditempuh para intelektual Muslim. Debat merupakan salah satu cara dakwah yang dibenarkan dalam Islam.

Dasar diperbolehkannya debat mengacu pada QS. An-Nahl: 125. Allah Swt berfirman:

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَ نْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Tuhan Sejatimu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.”

Imam Haramain Al-Juwaini dalam Al-Kafiyah fi Ilm Jadl mendefinisikan debat sebagai keadaan di saat kedua pihak saling menunjukkan pemikiran mereka yang berseberangan, serta saling mencoba untuk mematahkan argumentasi satu sama lain.

Namun, tidak sebatas itu. Grand Syekh Al-Azhar, Kairo, Syekh Ahmad Thayyib dalam Nadharat fi Fikr al-Imam al-Asy’ari menegaskan bahwa metode debat yang diajarkan Islam, terutama oleh Imam Abu Al-Hasan al-Asy’ari memiliki tiga keunggulan dibandingkan cara debat yang diajarkan oleh Aristoteles selaku pembesar ilmu logika dari peradaban Yunani.

Ketiga poin tersebut adalah, pertama, memiliki bentuk yang sesuai dengan ciri khas Islam, yakni, dengan menjadikan debat sebagai metode penunjuk fakta dan kebenaran. Kedua, menjadikan Al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman dan sumber argumentasi pemikiran. Ketiga, materi debat harus terfokus. Yang dalam hal ini soal keilmuan tauhid.

Sementara itu, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi Asy-Syafi’i atau yang lebih masyhur dengan nama Imam Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin berpandangan bahwa berdebat akan mengandung bahaya dan keburukan ketika tidak dilakukan secara baik dan benar. Salah satunya adalah jika debat diikuti hanya demi mencari-cari kelemahan dan kesalahan lawan.

Al-Ghazali menyandarkan pandangannya tersebut pada QS. Al-Hujurat: 12. Allah Swt berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.”

Berikutnya, lanjut Al-Ghazali, metode itu dinilai buruk ketika perdebatan cenderung menimbulkan sikap saling mengumpat atau ghibah di antara kaum Muslim. “Kecenderungan seorang pendebat akan mencari-cari dan mengungkapkan kebodohan, kelemahan, kekurangan serta ketidaktahuan lawan bicaranya,” tuturnya.

Selain itu, berdebat juga bisa memunculkan sikap saling mengeklaim bahwa dirinyalah yang paling benar di antara orang lain. Hal itu dinilai berseberangan dengan QS. An-Najm: 32. Allah Swt berfirman:

فَلَا تُزَكُّوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ ٱتَّقَىٰٓ

” … Maka, janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia lebih mengetahui siapa yang bertakwa.”

Terakhir, Imam Al Ghazali juga mengingatkan bahwa perdebatan pada dapat menimbulkan sikap munafik. Orang yang berdebat memang menunjukkan sikap yang bersahabat kepada lawan debatnya, tetapi itu hanya secara lahiriah. Sebab, jauh di dasar sanubarinya, para peserta debat berpotensi memendam kebencian kepada lawannya.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.