Ikhbar.com: Pada mulanya politik bermakna luhur, sampai akhirnya kemuliaan itu tergerus oleh praktik-praktik yang kotor, mementingkan diri sendiri, dan tidak lagi berjalan di atas kepentingan bersama dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Salah satu bukti keluhuran politik itu hadir dalam cakupan ajaran Islam dengan apa yang disebut fikih siyasah. Kata “siyasah” dalam Lisan al-Arab, karya Ibnu Manzur disebut berasal dari kata “sasa-yasusu-siyasatan,” yang bermakna mengatur, memelihara, atau melatih.
Dalam kamus tersebut, dijelaskan bahwa kata “siyasah” awalnya hanya berlaku untuk penyebutan proses melatih binatang, khususnya kuda. Dari pengertian tersebut, kemudian kata “siyasah” berkembang menjadi sebuah istilah dalam mengatur, mengurus, memerintah, memimpin, atau membuat kebijaksanaan dalam pemerintahan.
Dr. Abdul Hamid Al-Ghazali dalam Haula Asasiyat al-Masyru’ al-Islam li Nahdhah al-Ummah mengatakan kata “siyasah” tersebut kemudian diadopsi menjadi istilah politik yang hadir di era modern. Oleh karena itu, Al-Ghazali menyebut “siyasah” sebagai proses mengatur, mengurus, dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis demi mencapai suatu tujuan.
Masih dari sumber yang sama, dikutip bahwa Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah mendefinisikan politik sebagai kegiatan yang menjadikan umat manusia mendekat kepada hidup yang maslahat dan menjauhkan diri dari kerusakan. Meskipun, misalnya, Rasulullah Muhammad Saw tidak pernah menunjukkannya secara terang dan Al-Qur’an pun tidak menjelaskannya melalui ayat-ayat yang spesifik.
Baca: Daftar Politikus Perempuan dalam Sejarah Peradaban Islam
Politik dalam kacamata Al-Mawardi
Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi atau lebih masyhur dengan nama Imam Al-Mawardi merupakan tokoh yang paling tepercaya dalam pembahasan fikih siyasah. Ulasan itu, terutama sebagaimana yang termuat dalam karya fenomenalnya, Al-Ahkam al-Shultaniyah.
Menurut Al-Mawardi, objek kajian fikih siyasah mencakup kebijaksanaan pemerintah tentang siyasah dusturiyah (peraturan perundang-undangan), siyasah maliyah (ekonomi dan moneter), siyasah qadhaiyah (peradilan), siyasah harbiyah (hukum perang), dan siyasah idariyah (administrasi negara).
Baca: Koalisi Politik dalam Sejarah Nabi
Politik, lanjut Al-Mawardi, merupakan instrumen dalam menegakkan keadilan dan kesejahteraan. Sedangkan elemen utama dari upaya tersebut adalah adanya kepemimpinan yang adil. Seorang pemimpin harus bisa melanjutkan visi perjuangan Nabi Muhammad Saw yang diringkas dalam dua hal, yakni menjaga agama dan mengelola dunia.
Dalam konteks menjaga agama, seorang pemimpin sebagai policy maker (pemegang kebijakan) harus menegakkan pilar-pilar agama, seperti tegaknya salat, zakat, ibadah haji, puasa, dan seterusnya. Sedangkan dalam konteks pengelolaan dunia, seorang pemimpin harus mampu memberi perlindungan bagi segenap rakyatnya dari segala gangguan dan ancaman, mengatur peradilan yang adil, mengatur keuangan negara dengan transparan dan akuntabel, mengelola pertanian, memberantas kriminalitas, menegakkan hukum pidana, dan mengembangkan aspek keilmuan serta moralitas luhur.
Politik persatuan Nabi
Prof. H.A. Djazuli dalam Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-rambu Syariah (2003) menjelaskan, artikulasi pelaksanaan politik Islam bisa dibaca dari peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah proses hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah.
Menurutnya, pelaksanaan politik Islam yang dijalankan Nabi Muhammad berkenaan dengan persaudaraan internal kaum muslimin atau al-ukhuwah al-Islamiyah, yaitu antara kalangan Muhajirin (pendatang dari Makkah) dan Anshar (pribumi Madinah), serta perjanjian eksternal antara muslim dan nonmuslim alias al-ukhuwah al-insaniyah.
Baca: Menilik Isi Piagam Madinah, Dokumen Nasionalisme Umat dalam Sejarah Islam
Meskipun pada akhirnya kekuasaan di Madinah dipegang penuh oleh kaum muslimin melalui kepemimpinan Nabi Muhammad Saw, tetapi segala kebijakan bahkan perjanjian-perjanjian tetap dibentuk dengan tidak mengganggu keyakinan nonmuslim.
Kaum non-Islam di Madinah masih diberi kebebasan memeluk agamanya dan beribadah sesuai keyakinan mereka. Hubungan ini dibangun dalam rangka menyelenggarakan kepentingan bersama. Jika salah satu pihak mengkhianati perjanjian, maka Nabi Muhammad sebagai kepala pemerintahan dapat menindak si pelanggar perjanjian tersebut.
Selama kurun waktu satu dekade, Nabi Muhammad berhasil membangun peradaban di Madinah hingga menjadikan Islam terus tersebar secara damai ke beberapa wilayah seperti Syam dan Ethiopia. Keberhasilan ini tercapai tak lepas dari kepiawaian Rasulullah dalam berpolitik, ditambah lagi dengan budi pekerti dan kebijaksanaan Nabi Saw dalam menghadapi berbagai persoalan baik agama maupun di bidang sosial, ekonomi, dan lainnya.