Ikhbar.com: Seorang murid harus menjunjung tinggi adabnya terhadap guru. Hal itu dilakukan agar proses belajar mengajar berjalan dengan lancar dan tentunya mendapat ilmu yang bermanfaat.
Terkait adab murid terhadap guru, umat Muslim perlu belajar kepada kisah Nabi Musa As yang terkandung dalam QS. Al-Kahfi: 66-70. Allah Swt berfirman:
قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰ هَلۡ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمۡتَ رُشۡدٗا (٦٦). قَالَ إِنَّكَ لَن تَسۡتَطِيعَ مَعِيَ صَبۡرٗا (٦٧). وَكَيۡفَ تَصۡبِرُ عَلَىٰ مَا لَمۡ تُحِطۡ بِهِۦ خُبۡرٗا (٦٨). قَالَ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ صَابِرٗا وَلَآ أَعۡصِي لَكَ أَمۡرٗا (٦٩). قَالَ فَإِنِ ٱتَّبَعۡتَنِي فَلَا تَسَۡٔلۡنِي عَن شَيۡءٍ حَتَّىٰٓ أُحۡدِثَ لَكَ مِنۡهُ ذِكۡرٗا(٧٠).
“Musa berkata kepada (Khidhr): ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?. Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?. Musa berkata: ‘Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun’. Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.”
Baca: Kasih Sayang Guru menurut Kitab Ta’lim al-Muta’allim
Pentingnya memiliki guru
Syekh Mutawalli As-Sya’rawi dalam Tafsir As-Sya’rawi menjelaskan, rangkaian ayat di tersebut menunjukkan adab mulia seorang Nabi Musa As terhadap gurunya.
“Meski Allah memerintahkan dirinya untuk belajar langsung kepada Nabi Khidir As, tetapi Nabi Musa tidak langsung mengatasnamakan itu perintah dari Allah,” jelas Syekh As-Sya’rawi.
Sementara Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ liahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin Lima Tadhammanahu Min as-Sunnah wa Ayi al-Furqan menyebutkan, ayat itu menekankan dua urgensi. Pertama, terkait pentingnya memiliki adab yang baik. Kedua, menjadi dalil bahwa seorang penuntut ilmu hendaklah mengikuti atau mempunyai guru.
Baca: Hubungan Guru-Murid ala Imam Syafi’i
Mengakui keilmuan guru
Senada, Imam Fakhruddin Al-Razi dalam Tafsir Mafatih Al-Ghaib menafsirkan ayat tersebut dengan merinci adab-adab yang seharusnya dimiliki seorang murid terhadap guru.
Ia mengatakan, seorang murid ketika ingin belajar harus mempunyai guru. Dengan kata lain, orang belajar tidak bisa otodidak, terlebih itu belajar soal agama.
“Seorang jika ingin diangkat sebagai murid oleh gurunya, maka harus lebih dulu meminta izin untuk mengikutinya. Di samping itu, ia dituntut untuk terus merendah diri kepada gurunya,” tulis Imam Fakhruddin.
Ia menjelaskan, murid harus mengakui bahwa gurunya lebih berilmu ketimbang dirinya. Alangkah baiknya, murid lebih dulu meminta sebagian ilmu gurunya yang telah dianugerahkan Allah.
“Hal itu merupakan bagian dari bentuk kerendahan hati, bukan berniat untuk menyaingi gurunya, tetapi hanya meminta sebagian kecil saja, sebagaimana orang miskin yang meminta sedikit harta kepada orang kaya raya,” jelasnya.
Kemudian, meski belajar kepada gurunya, sudah selayaknya murid tetap mengakui apa yang dipelajarinya itu merupakan pengetahuan dari Allah Swt.
“Berikutnya, murid senantiasa meminta bimbingan dan petunjuk kepada guru. Hal itu dilakukan gar tidak mudah tergoda dan menempuh jalan yang sesat,” kata Imam Fakhruddin.
Lebih lanjut, Imam Fakhruddin menyebutkan bahwa seorang murid harus memposisikan dirinya seperti budak. Artinya, ia harus melakukan apapun yang diperintahkan guru (selama itu hal baik) sebagaimana Allah memerintahkan terhadap hamba-Nya.
“Jika murid tidak melakukan perintah guru maka sama seperti orang yang durhaka kepada Allah,” tulis Imam Fakhruddin.
Imam Fakhruddin menjelaskan, jika seorang murid telah merampungkan belajar kepada gurunya dan melanjutkan pendidikan ke guru yang lain, maka ketika ada perbedaan pendapat di antara keduanya, murid harus meninggalkan perselisihan.
“Selanjutnya, murid menyerahkan diri mengikuti gurunya secara total, tanpa ada alasan,” tegasnya.
Meski seorang murid sudah berilmu, jelas Imam Fakhruddin, ia harus tetap memiliki keinginan yang kuat untuk menambah pengetahuan.
“Sebab berada di dekat orang yang berilmu akan merasakan kebahagiaan dan sukacita. Bagaimana pun juga bertemu dengan pakar ilmu akan mendapat pengetahuan tambahan,” katanya.
“Ketika hendak mengawali menuntut ilmu, murid lebih dulu berniat untuk mengabdi kepada guru, kemudian baru belajar,” imbuhnya.
Terakhir, jelas Imam Fakhruddin, murid tidak boleh mengikuti guru karena tujuan lain, selain hanya ingin menuntut ilmu.