Ikhbar.com: Ada dua cara pelafalan pada permulaan ayat keempat surat Al-Fatihah, yakni, مَلِك (malik) yang berarti raja, dan مَالِك (maalik), bermakna pemilik.
Demikian penjelasan Prof. KH Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah. Menurutnya, kedua pelafalan itu pernah dibacakan Nabi Muhammad Saw berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir (yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya).
Prof. Quraish menjelaskan, kata malik mengandung arti penguasaan terhadap sesuatu disebabkan kekuatan pengendalian dan kesahihannya. Malik yang biasa diterjemahkan dengan raja adalah yang menguasai dan menangani perintah dan larangan atau anugerah dan pencabutan.
Baca: Menguak Misteri Makna Ar-Rahman dan Ar-Rahim
Maka dari itu, pada sebuah kerajaan biasanya mengarah kepada manusia dan tidak kepada barang yang sifatnya tidak dapat menerima perintah dan larangan.
Konsekuensinya, seorang pemilik belum tentu seorang raja. Akan tetapi, kepemilikan seorang raja biasanya melebihi kepemilikan orang biasa.
Di samping itu, ada raja yang wewenangnya lebih rendah daripada pemilik kekuasaan lain. Misalnya raja dalam satu negara demokrasi biasanya hanya difungsikan sekadar lambang, sedangkan kekuasaan dilimpahkan rakyat kepada pemerintah yang dipimpin seorang eksekutif atau perdana menteri.
Oleh karena itu, lanjut Prof. Quraish, Allah Swt adalah Raja dari para raja. Keputusan-Nya akan selalu menjadi yang terbaik atau Maha Adil.
Prof. Quraish mengatakan, raja yang baik ialah mampu mengasihi rakyat atau bawahannya serta yang mendidik mereka. Ia juga pasti akan membela siapa yang teraniaya dan mencegah penganiaya, antara lain dengan menegakkan keadilan.
Menurutnya, penguasa yang baik pasti juga dalam proses mendidiknya akan memberi balasan yang setimpal terhadap yang berbuat baik. Jika bersalah, maka yang melanggar juga akan menerima sanksi.
Baca: Serba-serbi Makna Alhamdulillah
Sifat Allah Swt sebagai raja sekaligus pemilik ini seperti yang dijelaskan pada QS. Ali Imran: 26. Allah Swt berfirman:
قُلِ اللّٰهُمَّ مٰلِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِى الْمُلْكَ مَنْ تَشَاۤءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاۤءُۖ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاۤءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاۤءُ ۗ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۗ اِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai Allah, Pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Meski demikian, kepemilikan Allah berbeda dengan kepemilikan makhluk-Nya. Allah mempunyai wewenang penuh untuk melakukan apa saja terhadap apa yang dimiliki-Nya.
Hal ini tentu berbeda dengan manusia. Sebagai contoh, jika seseorang memiliki pembantu, walaupun sang majikan berwewenang untuk mempekerjakannya sesuai dengan kehendak dan dia berkewajiban untuk melaksanakan perintah dan atau menjauhi larangan, akan tetapi majikan tidak menguasai perasaan dan pikirannya.