Ikhbar.com: Kurban bukan sekadar tradisi tahunan umat Islam. Ibadah ini memuat makna spiritual mendalam dan jejak historis yang kuat.
Secara etimologis, kata “kurban” berasal dari bahasa Arab, “qaruba–yaqrubu–qurbanan,” yang berarti “dekat”. Konsep ini memiliki makna sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan melaksanakan sebagian perintah-Nya.
Dalam konteks syariat Islam, istilah kurban dikenal sebagai الأضحية (al-udhḥiyah), bentuk jamak dari kata “ḍaḥiyyah,” yang berasal dari akar kata “ḍuḥā” (waktu pagi menjelang siang) merujuk pada waktu pelaksanaan penyembelihan.
Baca: Begini Rupa Kambing Pengganti Nabi Ismail dalam Sejarah Kurban
Hukum
Pengertian kurban secara syar’i adalah menyembelih hewan tertentu dengan niat beribadah kepada Allah Swt pada hari Iduladha dan tiga hari setelahnya. Praktik ini menjadi bagian dari syiar Islam yang tidak hanya bernilai ritual, tetapi juga sosial dan spiritual.
Dari sisi hukum, ibadah kurban ditetapkan sebagai sunnah muakkad (sunah yang sangat dianjurkan). Mayoritas ulama dari Mazhab Syafi’i dan Maliki menetapkan kedudukannya sebagai ibadah sunah yang sangat ditekankan, sebagaimana diteladankan oleh Nabi Muhammad Saw, yang sejak awal disyariatkan hingga beliau wafat, tidak pernah meninggalkan ibadah tersebut di setiap hari Iduladha tiba.
Sebaliknya, Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa bagi seorang Muslim yang mampu dan tidak sedang dalam perjalanan (mukim), kurban bersifat wajib. Pendapat ini dikuatkan oleh sejumlah dalil hadis serta praktik sahabat, sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid.
Baca: Kebanyakan Orang Indonesia Kurban Apa? Ini Datanya
Keutamaan dan hikmah
Keutamaan ibadah kurban tak terhitung jumlahnya. Rasulullah Saw menjelaskan bahwa menyembelih hewan pada Iduladha merupakan amal yang paling dicintai oleh Allah pada hari tersebut.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ، إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا، وَأَشْعَارِهَا، وَأَظْلَافِهَا، وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ، فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
“Dari Aisyah Ra, Rasulullah Saw bersabda: ‘Tidak ada amalan anak Adam pada hari Iduladha yang lebih dicintai oleh Allah Swt selain menumpahkan darah (hewan kurban). Sesungguhnya hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kukunya. Sesungguhnya darah hewan itu akan sampai kepada Allah sebelum menetes ke tanah. Maka lapangkanlah jiwa untuk melakukannya.” (HR. Tirmizi dan Ibn Majah)
Kurban bukan hanya tentang penyembelihan hewan. Ia adalah simbol pengorbanan diri, keikhlasan, dan ketundukan pada perintah Ilahi. Bahkan, disebutkan bahwa hewan kurban itu kelak akan datang dalam bentuk utuh sebagai kendaraan bagi orang yang menyembelihnya saat melewati shirath al-mustaqim.
Abul ‘Ala al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan Tirmidzi menjelaskan bahwa kurban merupakan ibadah yang paling utama pada hari raya Iduladha. Hewan yang disembelih akan kembali kepada pemiliknya di akhirat dalam keadaan utuh, dan setiap bagian tubuhnya akan menjadi pahala.
Dalam hadis lain, Rasulullah Saw memberikan peringatan keras bagi yang enggan berkurban padahal memiliki kemampuan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda, ‘Barang siapa memiliki kelapangan rezeki, tetapi tidak mau berkurban, maka jangan sekali-kali mendekati tempat salat kami.” (HR. Ahmad dan Ibn Majah)
Peringatan ini menggambarkan betapa besar nilai ibadah kurban. Ia menjadi tolak ukur keikhlasan dan kepedulian. Tidak semata ritual, kurban juga menjadi simbol kepedulian sosial. Daging yang disembelih dibagikan kepada fakir miskin, tetangga, dan kerabat. Ibadah ini sekaligus menjadi momen berbagi yang menyatukan umat dalam suka cita Idul Adha.
Dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa nilai kurban tidak terletak pada fisik hewan, melainkan niat dan takwa:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamu yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37)
Baca: Tata Cara dan Bacaan Doa Menyembelih Hewan Kurban
Tata laksana
Syariat Islam memberikan panduan rinci tentang tata cara ibadah kurban. Mulai dari waktu penyembelihan, jenis hewan, usia minimal, hingga distribusi daging, semuanya telah ditentukan secara terperinci dalam literatur fikih.
Syekh Musthafa Dib Al-Bugha, dalam Al-Fiqh al-Manhaji menjelaskan, waktu penyembelihan dimulai setelah pelaksanaan salat Iduladha pada tanggal 10 Zulhijah hingga terbenam matahari tanggal 13 Zulhijah. Hewan yang disembelih harus merupakan hewan ternak, yaitu unta, sapi, kambing, atau domba. Setiap hewan kurban memiliki usia minimal yang berbeda:
- Domba: minimal usia satu tahun atau telah tanggal giginya.
- Kambing: minimal usia dua tahun.
- Sapi: minimal usia dua tahun.
- Unta: minimal usia lima tahun.
Jika usia hewan belum mencapai batas minimal sebagaimana disebutkan, maka kurbannya tidak sah. Sebaliknya, jika usianya sudah cukup atau bahkan lebih tua, kurban tetap sah asalkan kondisi hewan masih sehat dan dagingnya layak dikonsumsi.
Selain itu, hewan kurban harus sehat, tidak cacat, dan tidak kurus. Kriteria ini ditetapkan untuk menjaga kualitas dan kelayakan hewan sebagai persembahan kepada Allah Swt.
Dalam hal prioritas jenis hewan, terdapat perbedaan pandangan. Imam Malik mengutamakan kambing atau domba, disusul sapi, lalu unta. Sebaliknya, Imam Syafi’i menempatkan unta sebagai hewan kurban yang paling utama, kemudian sapi, dan terakhir kambing.
Allah Swt berfirman:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka.” (QS. Al-Hajj: 34)
Daging kurban dibagikan kepada tiga kelompok, yakni fakir miskin, kerabat, dan diri sendiri. Idealnya, mayoritas bagian disedekahkan. Konsumsi pribadi diperbolehkan, tetapi tidak berlebihan. Hakikatnya, ibadah ini bertujuan menggembirakan orang lain, terutama mereka yang jarang menikmati daging dalam kehidupan sehari-hari.
Distribusi daging menjadi refleksi solidaritas sosial umat Islam. Dalam suasana Iduladha, tidak boleh ada yang merasa terpinggirkan. Semua merasakan kegembiraan bersama.
Baca: Hukum Perempuan Menyembelih Hewan Kurban
Kriteria
Memilih hewan kurban tidak cukup hanya sehat dan memenuhi syarat umur. Dianjurkan untuk memilih yang terbaik dan tidak cacat. Allah Swt berfirman:
ذٰلِكَ وَمَنْ يُّعَظِّمْ شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ فَاِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Siapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah sesungguhnya hal itu termasuk dalam ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32)
Sebagai bentuk pengagungan syiar, pilihlah hewan yang gemuk, sehat, dan tidak memiliki cacat fisik. Dalam kajian fikih, ada empat jenis cacat yang membuat hewan tidak sah dijadikan kurban:
- Matanya jelas-jelas buta (picek).
- Dalam kondisi sakit yang nyata.
- Pincang parah.
- Sangat kurus hingga tidak berlemak.
Namun, tidak semua cacat membatalkan. Misalnya, hewan yang dikebiri atau patah tanduknya tetap sah untuk dikurbankan karena tidak mempengaruhi kualitas daging. Sebaliknya, hewan yang telinga atau ekornya putus tetap tidak sah karena termasuk cacat fisik yang mempengaruhi kondisi tubuh secara utuh.
Porsi dan adab
Secara syariat, pembagian hewan kurban juga memiliki ketentuan tersendiri. Untuk kambing atau domba, hanya diperbolehkan untuk satu orang. Sedangkan untuk unta, sapi, atau kerbau bisa dikurbankan atas nama tujuh orang. Ini berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah:
نَحَرْنَا مَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحُدَيْبِيَّةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
“Kami pernah menyembelih kurban bersama Rasulullah Saw pada tahun Hudaibiyah: seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi juga untuk tujuh orang.” (HR. Muslim, Abu Dawud, At-Tirmizi, dan Ibnu Majah)
Selain itu, saat menyembelih, pastikan alat yang digunakan tajam agar tidak menyiksa hewan. Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah Saw memberikan contoh yang penuh kelembutan saat menyembelih seekor domba:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ فَأُتِيَ بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ فَقَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ (يعني السكين) ثُمَّ قَالَ اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ.
“Dari Aisyah Ra, menginformasikan sesungguhnya Rasulullah Saw menyuruh untuk mendatangkan satu ekor domba kibas yang bertanduk. Kemudian domba itu didatangkan kepadanya untuk melaksanakan kurban. Beliau berkata kepada Aisyah, ‘Wahai Aisyah, ambilkan untukku pisau (golok).’ Nabi selanjutnya memerintahkan Aisyah, ‘Asahlah golok itu pada batu (asah).’ Aisyah kemudian melakukan sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah. Kemudian Nabi mengambil golok itu dan mengambil domba, kemudian membaringkannya, dan menyembelihnya sambil berdoa, ‘Dengan nama Allah, wahai Allah terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan umat Muhammad.’ Beliau berkurban dengan domba itu.”
Kurban adalah manifestasi dari ketundukan kepada Allah dan pengorbanan untuk kemanusiaan. Ia bukan hanya soal menyembelih hewan, tetapi juga menyembelih sifat egois dan kepentingan diri. Maka, pastikan niat dan pelaksanaannya sesuai syariat. Pilihlah hewan terbaik, sembelih dengan penuh kasih, dan niatkan sebagai bentuk cinta kepada Sang Khalik dan sesama manusia.