Ikhbar.com: Siapa tak kenal Ibnu Khaldun? Sejarawan Muslim asal Tunisia pada abad 14 Masehi itu tak pernah padam nama berkat salah satu karyanya yang fenomenal, Muqaddimah.
Namun, siapa sangka, ternyata sosok bernama lengkap Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Alhan bin Muhammad bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Khaldun, itu juga memiliki rekam jejak di dunia politik dan kekuasaan.
Demikian diungkapkan Pengasuh Griya Ngaji Halimatus Sa’diyah (GNHS), KH Idris Sholeh dalam program “Senja di Bulan Suci Ramadhan” dalam saluran YouTube GNHS Center, dikutip pada Rabu, 20 Maret 2024.
Kiai Idris, sapaan karibnya, menyebut Ibnu Khaldun sosok yang luar biasa. Ia juga dikenal sebagai akademisi yang sukses dengan keilmuan yang menjadi rujukan bagi orang-orang setelahnya.
“Beliau (Ibnu Khaldun) juga tokoh sukses dalam karier politik pada zamannya. Beliau menjadi politisi yang sangat disegani baik oleh teman maupun lawan,” ungkap Kiai Idris.
Baca: Pentingnya Belajar Sejarah menurut Ibnu Khaldun hingga Arkoun
Nama lain
Pertama-tama, Kiai Idris mengungkapkan sejumlah julukan lain bagi Ibnu Khaldun yang datang dari kolega sesama ulama di zamannya. Salah satunya, sebagai Al-Maliki Al-Maghribi, yang diberikan oleh kawan-kawannya untuk membedakan para ulama yang berasal dari Mesir.
“Di sisi lain, panggilan itu muncul karena beliau itu memang ulama bermazhab Maliki,” katanya.
Sedangkan nama belakang Ibnu Khaldun, yakni “Al-Hadrami” adalah bukti kebersambungan tokoh yang lahir pada bulan Ramadan tahun 732 Hijriah atau 27 Mei 1332 itu dengan kabilah Hadramaut, Yaman.
“Beliau juga menyandang nama belakang ‘Tunisi‘ karena dilahirkan di Tunisia yang juga menjadi tempat tinggal terakhir bagi keluarganya,” kata Kiai Idris.
Baca: Khianat Barat terhadap Peradaban Islam
Perjumpaan politik
Pada awal tahun 764 H, Ibnu Khaldun pergi ke Andalusia guna menghadap Raja Granada, Sultan Abi Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Yusuf dari Bani Ahmar. Perkenalan Ibnu Khaldun dengan sang raja, tiada lain berkat seorang kawan yang menjadi salah satu petinggi di kerajaan tersebut, yakni Muhammad bin Abdullah bin Sa’id bin Abdullah bin Sa’id bin Ali bin Ahmad As-Salmani Al-Khathib atau yang masyhur disapa Lisanuddin Ibnu Al Khatib.
“Ibnu Khaldun memiliki hubungan yang sangat dekat dengan seorang perdana menteri di Granada, yakni Lisanuddin Al-Khatib. Selain sebagai politisi, ia juga dikenal sebagai sastrawan hebat. Bahkan di kemudian hari, Al-Khatib juha banyak menulis tentang teori kedokteran, hukum, dan fikih,” ungkap Kiai Idris.
“Bahkan dia menulis tentang virus, yang mewabah dan menyebar di wilayah Andalusia saat itu,” sambung sosok yang juga pengajar di Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah, Jakarta Selatan tersebut.
Lisanuddin Ibnu Khatib, lanjut Kiai Idris, bahkan mendapatkan julukan Zul Wuzaratain karena memegang dua kekuasaan sekaligus. Yakni sebagai perdana menteri dan panglima perang.
Pengalaman Lisanuddin Al-Khatib ini yang diduga turut memperkuat pengaruh dan ketokohan Ibnu Khaldun di dunia perpolitikan. Persahabatan mereka tetap terjaga hingga keduanya sama-sama menjadi pejabat negara.
“Ketika Ibnu Khaldun sudah menjabat wazir di Kerajaan Maroko, Ibnu Al-Khattib pun menyempatkan diri datang bertamu,” kata Kiai Idris.
Di dalam banyak sumber lain juga disebutkan bahwa pengalaman politik Ibnu Khaldun tidaklah sederhana. Ia menyaksikan bahkan terlibat dalam berbagai gejolak, baik ketika di Andalusia maupun di Afrika Utara. Selama kurang lebih 30 tahun, Ibnu Khaldun menjelajahi kehidupan politik di berbagai negara-kota, berpindah dari satu raja ke raja berikutnya. Ibnu Khaldun pernah menjabat sebagai menteri tingkat tinggi, sekretaris negara, administrator, duta besar, hingga penasihat untuk para penguasa di Tunisia, Fez, Bejaia (Bougie), Tlemcen, dan Granada.