Ikhbar.com: Pasca umat Muslim hijrah, Makkah dan Madinah menjelma teritorial yang kian terpisah. Makkah tetap berjalan dengan warisan ketatanegaraannya yang dikuasai golongan kafir Quraisy, sedangkan Madinah, yang sebelumnya bernama Yatsrib, terus berkembang menjadi kota dengan tatanan baru di bawah kendali Nabi Muhammad Saw.
Dalam Ar-Rahiq al-Makhtum yang ditulis Syekh Shafiurrahman Al-Mubarakfuri diceritakan, di Madinah, Nabi Muhammad Saw kian menunjukkan kewibawaannya sebagai seorang pemimpin. Tidak hanya dipercaya sebagai poros persebaran akidah Islam, akan tetapi juga menjadi komandan politik ketatanegaraan, termasuk dalam hal geopolitik antarwilayah.
Salah satu contoh kecakapan Nabi Saw dalam penerapan taktik geopolitiknya terekam dalam sebuah peristiwa yang disebut dengan Perjanjian Hudaibiyah.
Baca: Menilik Isi Piagam Madinah, Dokumen Nasionalisme Umat dalam Sejarah Islam
Makkah tutup pintu
Hingga tahun keenam setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah Muhammad Saw dan kaum Muslim tidak pernah bisa kembali menapakkan kakinya di tanah Makkah. Terlebih lagi, pasukan Muslim Madinah dan kafir Quraisy Makkah sudah beberapa kali terlibat pertempuran. Puncaknya, usai pasukan Quraisy mengalami kekalahan dalam Peperangan Khandaq, setahun sebelumnya.
Namun, Nabi Saw tiba-tiba berkepentingan untuk mengajak kaum Muslimin untuk melaksanakan ibadah umrah. Hingga kemudian, Rasulullah Saw pun mulai menginstruksikan para sahabatnya agar melakukan persiapan untuk menempuh perjalanan ke Makkah. Nabi Saw menekankan, perjalanan itu adalah perjalanan ibadah. Tidak seorang pun dari rombongan diperkenankan membawa senjata.
“Dalam satu riwayat menyebut, ada 1.400 orang yang berangkat menuju Makkah pada Senin, di awal bulan Dzulqa’dah, tahun keenam hijriah tersebut,” tulis Al-Mubarakfuri.
Dan benar saja, kekhawatiran sebagian besar kaum Muslim yang telah memprediksi akan mendapatkan penolakan dari kaum musyrik Makkah pun terjadi. Di jarak kurang lebih 20 kilometer dari gerbang Tanah Suci, pasukan Muslim dicegat militer Quraisy.
Di sebuah wilayah bernama Hudaibiyah itu, tentara Quraisy bertanya perihal maksud dan tujuan kedatangan Nabi Muhammad Saw dan dan pasukannya ke Makkah. Nabi Saw menjawab secara lugas, bahwa tak ada kepentingan selain sekadar melaksanakan perintah ibadah.
Baca: Mengenal Fikih Siyasah, Panduan Politik Umat Islam
Blunder Quraisy
Di sisi lain, Makkah sebenarnya merasa tertekan, khawatir, dan diliputi ketakutan. Pasalnya, pasukan Muslim sudah bukan lagi kelompok kecil yang tidak dilengkapi kemampuan bertempur. Mereka semacam dilanda ketidakpercaya-dirian setelah terbukti dengan mata kepala sendiri saat harus kalah di medan peperangan.
Kelompok kafir Quraisy mengutus Suhail bin Amr. Ia diminta untuk membuatkan perjanjian damai. Namun, dengan poin-poin yang mereka susun secara sepihak.
Berikut adalah butir-butir Perjanjian Hudaibiyah antara kaum Muslim Madinah dan kafir Makkah:
- Muhammad harus kembali ke Madinah pada tahun ini juga dan tidak boleh masuk ke Makkah. Baru pada tahun berikutnya, kaum Muslimin diperbolehkan memasuki Makkah dan tinggal di sana selama tiga hari dengan syarat hanya boleh membawa senjata yang biasa dibawa pelaku perjalanan, yakni pedang-pedang yang harus tetap berada di dalam sarungnya. Jika sudah seperti itu, maka orang-orang Quraisy dilarang mengganggu mereka dalam bentuk tindakan apapun.
- Gencatan senjata berlaku selama 10 tahun. Kelompok Quraisy maupun Muslim wajib menahan diri demi terjaminnya rasa aman di antara kedua belah pihak.
- Kabilah yang ingin bergabung ke dalam kelompok Muhammad, maka dia boleh melakukannya. Begitu juga bagi yang ingin berafiliasi dengan Quraisy, juga diperkenankan. Oleh karena itu, kabilah yang bergabung dengan salah satu dari keduanya dianggap menjadi yang tidak terpisahkan. Dengan konsekuensi, segala bentuk kezaliman yang menyasar tiap-tiap kabilah dianggap sebagai kejahatan terhadap pihak tersebut.
- Siapa saja yang mendatangi Muhammad dari pihak Quraisy tanpa seizin dari walinya alias dengan cara melarikan diri, maka dia harus dikembalikan. Tetapi sebaliknya, jika yang datang atau melarikan diri itu berasal dari pihak Muhammad, maka dia tidak wajib dikembalikan.
Baca: Jaminan Keselamatan Tawanan Perang dalam Islam
Kecanggihan diplomasi Nabi
Usai membaca poin-poin perjanjian yang diajukan tersebut, tentu sebagian besar para sahabat Nabi Saw meradang. Mereka berkesimpulan bahwa Quraisy telah sengaja merumuskan sebuah perjanjian yang curang. Terutama terkait butir terakhir yang dinilai lebih menguntungkan mereka, dan merugikan pihak Muslim.
Namun, dengan begitu tenangnya, Rasulullah Saw memanggil Ali bin Abi Thalib untuk menuliskan perjanjian itu ke dalam lembaran yang lebih formal. Nabi Saw mendiktekan teksnya agar ditulis ulang Ali.
Hanya, ketika Nabi Muhammad Saw baru menyebutkan lafaz “Bismillahi Ar-Rahman Ar-Rahim,” yang harus ditulis Ali, Suhail menyela, “Apa itu ‘Ar-Rahman‘ dan ‘Ar-Rahim?’ Kami tidak mengerti. Cukup tuliskan saja ‘Bismika Allahumma.” Menurut Suhail, lafaz itu lebih bersifat umum karena hanya bermakna “Dengan menyebut nama Tuhan,” bukan dengan tambahan “Ar-Rahim dan Ar-Rahim” yang dianggapnya sudah berhubungan dengan identitas dan kepercayaan Muslim.
Dengan legawa, Nabi Saw pun menyuruh Ali agar menulis sesuai dengan apa yang Suhail sarankan. Namun, tidak hanya sampai di situ, utusan Quraisy itu kembali protes di saat Nabi Saw mendiktekan kalimat, “Inilah perjanjian damai yang dibuat oleh Muhammad Rasulullah.”
Dengan penuh rasa ketidak-terimaan, Suhail berkata, “Jika kami tahu bahwa engkau Rasulullah (utusan Allah), tentu kami tidak akan menghalang-halangimu menuju Masjidil Haram dan tidak akan memerangimu. Jadi, cukup tulis Muhammad bin Abdullah.”
Mendengar itu, Nabi bersabda, “Sesungguhnya aku adalah Rasulullah. Akan tetapi kalian mendustakanku.” Meski begitu, Rasulullah Saw tetap menyuruh Ali untuk menulis Muhammad bin Abdullah dengan menghapus kata “Rasulullah” sesuai dengan permintaan Suhail.
Akan tetapi, berbeda dari perintah sebelumnya, kali ini Ali memohon kepada Nabi Saw karena merasa sangat berkeberatan menghapus kata yang sangat berkaitan dengan keimanannya itu. Sehingga pada akhirnya, Nabi Saw sendiri yang menghapus dan menggantinya dari lembar perjanjian.
Baca: Sahabat Tidak Memanggil Nabi Hanya dengan Nama ‘Muhammad’
Sesuai perhitungan
Meskipun dinilai memberatkan dan merugikan pihak Islam, Nabi Saw memandang berbeda dari substansi perjanjian damai tersebut. Rasulullah Saw amat yakin bahwa kesepakatan tersebut membuka peluang yang sangat besar bagi kaum Muslimin untuk melancarkan dakwah yang selama ini sering terganggu dengan agenda peperangan dan pencegatan.
Nabi Saw juga memandang, pasal yang menyatakan bahwa penduduk Makkah yang kabur ke Madinah harus dikembalikan, tetapi tidak berlaku sebaliknya, juga merupakan hal yang sangat menguntungkan Islam.
Menurut Nabi Saw, orang yang beriman tidak mungkin akan kabur ke Makkah untuk minta perlindungan. Maka, jika ada yang kabur, dia bisa dipastikan sebagai orang kafir yang telah nyata kekafirannya. Apabila itu terjadi, tentu tidak akan merugikan umat Islam.
Berbeda dengan kaum Muslimin di Makkah yang hendak kabur, maka Madinah sebenarnya bukan satu satunya tujuan. Nabi Saw memberikan nasihat kepada seluruh sahabat bahwa bumi Allah Swt amatlah luas. Maka dia bisa keluar selain ke Madinah.
Dan benar saja, umat Islam yang sebelum Perjanjian Hudaibiyah hanya terdiri dari 3.000 orang, dua tahun kemudian membengkak menjadi belasan ribu orang.
Belum lagi, dalam perjalanannya, Perjanjian Hudaibiyah justru dilanggar sendiri oleh pihak Quraisy. Tepatnya pada tahun 8 Hijriah, Bani Bakr yang bersekutu dengan pasukan Quraisy menyerang Bani Khuza’ah, yang telah tercatat sebagai afiliasi umat Islam.
Hingga akhirnya, Perjanjian Hudaibiyah dianggap batal. Hingga umat Islam bisa mendatangi Makkah dengan membawa 10.000 pasukan, lalu meruntuhkan segala simbol keberhalaan dari sekeliling Ka’bah, dalam peristiwa agung yang disebut Fathu Makkah (Pembukaan/Penaklukan Makkah).