Ikhbar.com: Tawanan perang kerap menjadi pihak yang paling dirugikan dalam konflik yang terjadi di sepanjang sejarah peradaban manusia. Mereka sering menerima perlakuan yang tidak manusiawi bahkan kekejaman di luar batas selama berada dalam penahanan pihak lawan.
Oleh karena itu, Islam memberikan perhatian khusus atas jaminan keselamatan yang menjadi hak tawanan perang. Dalam QS. Al-Insan: 8, Allah Swt berfirman:
وَيُطْعِمُوْنَ الطَّعَامَ عَلٰى حُبِّهٖ مِسْكِيْنًا وَّيَتِيْمًا وَّاَسِيْرًا
“Mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan.”
Semangat melindungi para tawanan itu dilandaskan pada sifat Allah Swt yang Maha Pengampun. Dalam QS. Al-Anfal: 70, Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّمَنْ فِيْٓ اَيْدِيْكُمْ مِّنَ الْاَسْرٰٓىۙ اِنْ يَّعْلَمِ اللّٰهُ فِيْ قُلُوْبِكُمْ خَيْرًا يُّؤْتِكُمْ خَيْرًا مِّمَّآ اُخِذَ مِنْكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada para tawanan perang yang ada di tanganmu, ‘Jika Allah mengetahui ada kebaikan di dalam hatimu, niscaya Dia akan menganugerahkan kepada kamu yang lebih baik daripada apa (tebusan) yang telah diambil dari kamu dan Dia akan mengampuni kamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Baca: Gencatan Senjata di Gaza Ditunda, Ini Penyebabnya
Empat sikap Nabi
Imam Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qursyi Ad-Damasyqi atau yang masyhur dengan nama Imam Ibnu Katsir, dalam Al-Bidayah wa an-Nihayah menjelaskan, Rasulullah Muhammad Saw pernah memperlakukan tawanannya dengan empat cara.
Pertama, mengeksekusi mati. Akan tetapi, tindakan ini diposisikan sebagai opsi paling akhir dan jarang dilakukan oleh Nabi Saw.
Berkaca dari peristiwa Perang Badar, misalnya, dari sekian jumlah tawanan perang yang ditahan pasukan Muslim, hanya dua orang yang dieksekusi mati. Sementara sebagian besar lainnya dibebaskan baik dengan syarat maupun tidak.
Dua orang yang dikenai vonis mati itu adalah Nadhr bin Harits dan Uqbah bin Abu Mu’aith. Mereka berdua dieksekusi karena telah melakukan kejahatan perang di luar batas toleransi.
Kedua, membebaskan dengan tebusan. Rasulullah Saw sangat memperhatikan kondisi ekonomi setiap tawanannya. Oleh karena itu, jumlah tebusan yang dibebankan kepada tawanan perang cukup bervariasi tergantung dengan jumlah harta yang mereka miliki.
Oleh Nabi Muhammad, biaya tebusan yang masuk kemudian dikelola untuk memenuhi kebutuhan pasukan Muslim. Di antara tawanan perang yang dilepas dengan tebusan adalah Abu Wada’ah dan Zararah bin Umair dengan biaya 4.000 dirham, Al-Abbas bin Abdul Muthalib (100 uqiyah), serta Aqil bin Abu Thalib (80 uqiyah).
Tebusan tidak hanya bisa dilakukan dengan membayar dengan sejumlah uang atau harta. Dalam beberapa kasus, tebusan bisa dilakukan dengan teknik pertukaran antar-tawanan perang. Dalam kasus ini, pernah dilakukan dengan membebaskan Abu Amr bin Abu Sufyan untuk ditukar dengan pembebasan Sa’ad bin an-Nu’man bin Akal yang sebelumnya ditahan pihak kafir Quraisy.
Ketiga, membebaskan dengan syarat kerelaan memberikan pendidikan bagi pasukan Muslim. Rasulullah Saw mafhum jika tidak semua tawanannya memiliki harta benda yang melimpah. Oleh karena itu, Nabi Saw memiliki cara tersendiri untuk mengatasi persoalan itu. Bagi tawanan perang yang memiliki kemampuan membaca dan menulis, maka mereka bida dibebaskan dengan syarat mau mengajari umat Islam atau anak-anak Anshar tentang kemampuan tersebut.
Keempat, membebaskan tanpa syarat apapun. Rasulullah Saw juga pernah membebaskan sejumlah tawanannya tanpa tebusan sama sekali. Keputusan itu diambil atas berbagai pertimbangan dan masukan yang dihimpun Rasulullah Saw dari para sahabat.
Salah satu tawanan perang yang dibebaskan tanpa syarat dan tebusan adalah Abul Ash bin Ar-Rabi. Pada saat itu, sosok yang kelak menjadi menantu Nabi Saw karena menikahi Zainab itu belum masuk Islam. Abul Ash berada di barisan kaum musyrik ketika Perang Badar hingga kalah dan tertawan.
Meskipun begitu, sejatinya Rasulullah Saw berkeinginan untuk membebaskan seluruh tahanan perang tanpa syarat. Nabi Saw berkata, “Seandainya Al-Muth’im bin Adi (pembesar pasukan kafir Quraisy) masih hidup, kemudian ia berbicara kepadaku tentang para tawanan ini, pasti aku akan melepaskan mereka untuknya.” Al-Muth’im adalah merupakan salah seorang yang ikut berjasa dalam membatalkan perjanjian boikot yang dilancarkan kaum musyrik kepada Bani Hasyim.
Sikap baik Rasulullah terhadap para tawanan itulah yang kemudian pada akhirnya dibalas mereka dengan menyatakan diri untuk memeluk Islam.
Baca: Koalisi Politik dalam Sejarah Nabi
Perang bukan tujuan
Dalam sejarah Islam, Rasulullah Saw tidak pernah sekalipun menginisiasi untuk memulai peperangan. Semua pertempuran yang terjadi antara pasukan Muslim dan kafir Quraisy dilandasi semangat mempertahankan diri.
Selain itu, Rasulullah Saw juga tercatat sebagai pelopor yang memasukkan aturan-aturan manusiawi dalam peperangan. Hal itu tercermin dari berbagai hadis yang mengatur batas-batas tindakan pasukan Muslim di tengah pertempuran.
Nabi Saw bersabda:
“Janganlah kalian membunuh anak-anak, perempuan, dan orang lanjut usia atau orang sakit.” (HR. Abu Dawud)
Dalam riwayat lain, Nabi Saw juga melarang pasukan Muslim para pemuka agama dari pihak lawan. Rasulullah Saw bersabda, “Jangan membunuh para rahib di kuil, dan jangan membunuh mereka yang duduk di tempat ibadah.” (HR. Imam Ahmad).
Dua hadis lainnya yang cukup mewakili semangat kemanusiaan Nabi Saw dalam peperangan adalah sebagai berikut:
“Janganlah kalian merusak desa dan kota, jangan merusak ladang dan kebun, dan jangan menyembelih ternak.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud).
“Janganlah kalian menghendaki bertemu dengan musuh. Berdoalah kepada Allah Swt agar diberikan keamanan dan keselamatan. Tetapi ketika kalian (terpaksa) menghadapinya, bersabarlah.” (HR. Muslim).