Ikhbar.com: Sistem peradilan telah dikenal sejak masa lampau. Kekuatan utama penegakkan hukum bertumpu pada sebuah tim yang menyandang status sebagai hakim.
Dalam ajaran Islam, hakim memiliki tanggung jawab dan tugas suci untuk memutuskan perkara berbasis keadilan, pencegahan kezaliman, dan sarat muatan amar ma’ruf nahi munkar.
Sejarah peradilan Islam tumbuh seiring sejalan dengan persebaran dakwah dan perluasan wilayah pasca kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Perkembangan paling cemerlang ditemukan pada masa khalifah Islam kedua, Umar bin Khattab.
Dalam Abqariyah Umar ibnu al-Khattab, Abbas Mahmoud Al-Aqqad menceritakan, Khalifah Umar orang yang pertama kali memisahkan secara tegas antara wilayah kekuasaan ekskutif dan yudikatif. Peraturan itu dikuatkan dengan terbitnya Risalah al-Qadha, atau semacam kode etik bagi para hakim yang bertugas di masa itu.
Risalah al-Qadha adalah sebuah surat yang berisi instruksi Khalifah Umar bin Khattab kepada para hakim, khususnya untuk Abu Musa Al-Asy’ari tentang etika dalam pengadilan. Risalah ini mempunyai nilai yang sangat tinggi hingga kemudian menjadi rujukan hukum di bidang peradilan bagi banyak negara Muslim.
Baca: 5 Hakim Agung pada Masa Rasulullah
Berikut adalah isi lengkap instruksi Khalifah Umar yang ditulis pada abad 14 H tersebut:
استوفى عمر بن الخطاب – رضي الله عنه – في عهده إلى أبى موسى الأشعري شروط القضاء وبين أحكام التقليد، فقال فيه: أما بعد فإن القضاء فريضة محكمة وسنة متبعة فافهم إذا أدلي إليك فإنه لا ينفع تكلم بحق لا نفاذ له، وأس بين الناس في وجهك وعدلك ومجلسك؛ حتى لا يطمع شريف في حيفك ولا ييأس ضعيف من عدلك. البينة على من ادعى واليمين على من أنكر والصلح جائز بين المسلمين إلا صلحاً أحل حراماً أو حرم حلالاً. ولا يمنعك قضاء قضيته أمس فراجعت اليوم فيه عقلك وهديت فيه لرشدك أن ترجع إلى الحق؛ فإن الحق قديم لا يبطله شئ ومراجعة الحق خير من التمادي في الباطل الفهم الفهم فيما تلجلج في صدرك ما ليس في كتاب الله تعالى ولا سنة نبيه ثم اعرف الأمثال والأشباه وقس الأمور بنظائرها واجعل لمن ادعى حقاً غائباً أو بينة أمداً ينتهي إليه، فمن أحضر بينة أخذت له لحقه واستحلل القضية عليه فإن ذلك أنفى للشك وأجلى للعمى. والمسلمون عدول بعضهم على بعض إلا مجلوداً في حد أو مجرباً عليه بشهادة زور أو ظنيناً في ولاء أو نسب، فإن الله عفا عن الأيمان ودرأ بالبينات. وإياك والقلق والضجر والتأفف بالخصوم فإن الحق في مواطن الحق يعظم الله به الأجر ويحسن به الذكر والسلام.
Baca: Menilik Isi Piagam Madinah, Dokumen Nasionalisme Umat dalam Sejarah Islam
“Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu menuliskan risalah untuk Abu Musa Al-Asy’ari tentang syarat-syarat peradilan:
1. Sesungguhnya menyelesaikan perkara adalah fardu yang kuat sekaligus sunah yang harus diikuti
2. Pahamilah, apabila diajukan kepadamu suatu perkara, maka segera putuskan jika ia telah memiliki kejelasan (kedudukannya). Karena tidak ada artinya bicara soal keadilan tanpa disertai dengan sebuah penegakan hukum
3. Sama ratakanlah manusia (pihak-pihak yang berperkara) dalam majelismu, dalam pandanganmu, dan dalam keputusanmu, sehingga orang yang berpangkat tidak akan mengharapkan penyelewenganmu dan yang lemah tidak sampai putus asa dalam mendambakan keadilanmu
4. Bukti itu (wajib) atas penggugat (penuduh), sedangkan sumpah itu wajib atas pihak yang menolak (gugatan/tuduhan)
5. Dan boleh mengadakan perdamaian di antara kaum Muslimin, kecuali perdamaian dalam menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan yang halal
Baca: Khalifah Umar Tolak Fasilitas Negara
6. Dan barang siapa yang mendakwakan suatu hak yang tidak ada di tempatnya atau suatu bukti, maka berilah tempo kepadanya sampai ia dapat membuktikannya, maka berikanlah haknya itu. Tetapi kalau ia tidak mampu membuktikannya, maka ia berhak mengkalahkannya kerena yang demikian itu lebih mantap bagi keuzurannya dan lebih menampakkan barang yang tersembunyi
7. Dan janganlah sekali-kali menghalang-halangi kepadamu suatu keputusan yang telah engkau jatuhkan hari ini, kemudian engkau tinjau kembali, lalu engkau memperoleh petunjuk agar engkau kembali kepada kebenaran. Karena sesungguhnya kebenaran itu (harus) didahulukan, dan tidak dapat dibatalkan oleh apapun. Sedangkan kembali kepada kebenaran itu lebih baik dari pada terus bergelimang dalam kebatilan
8. Orang-orang Islam itu dianggap adil sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. Kecuali orang yang pernah memberikan kesaksian palsu atau orang yang pernah dijatuhi hukuman had atau orang yang diragukan asal-usulnya karena sesungguhnya Allah yang mengetahui rahasia-rahasia manusia dan menghindarkan hukuman atas mereka kecuali dengan adanya bukti-bukti atau sumpah-sumpah
9. Kemudian, pahamilah dengan sungguh-sungguh tentang perkara yang diajukan kepadamu, yang tidak terdapat (ketentuan hukumnya) di dalam Al-Qur’an dan Sunah Nabi Saw. Kemudian bandingkanlah perkara itu dan perhatikanlah perkara yang serupa (hukumnya dengan perkara-perkara itu), kemudian pegangilah mana (hukum) yang menurut pendapatmu lebih diridai Allah dan lebih mendekati kebenaran.
10. Hindarkanlah dirimu dari amarah, pikiran yang kacau, rasa jemu, menyakiti orang yang berperkara, dan bersikap keras pada waktu menghadapi mereka. Karena memutuskan perkara di tempat yang benar adalah termasuk pekerjaan yang dipahalai oleh Allah dan akan membawa nama baik. Maka barang siapa memurnikan niatnya dengan mencari kebenaran walaupun merugikan diri sendiri, maka Allah Swt akan memberinya kecukupan. Dan barang siapa mengaku-ngaku (memiliki keahlian) yang tidak ada pada dirinya, maka pasti Allah akan membuka rahasia kejelekannya itu. Karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal dari hamba-Nya kecuali amal yang didasari dengan ikhlas. Lalu bagaimanakah persangkaanmu tentang pahala dari Allah, baik yang akan segera diberikan maupun yang berada di dalam perbendaharaan rahmat-Nya.”
Secara garis besar, Risalah al-Qadha yang diterbitkan Khalifah Umar bin Khattab menjelaskan kewajiban diberlakukannya sistem peradilan yang baik, penjelasan pokok-pokok penyelesaian di muka sidang, serta asas-asas penting yang berkenaan dengan pelaksanaan peradilan Islam yaitu, asas keotentikan, asas pengembangan, asas pembatalan suatu keputusan perkara, asas imparsialitas, prinsip ketulusan dan niat baik, dan asas kejujuran. Prinsip-prinsip itulah yang kemudian terus diadopsi dalam sistem peradilan modern, terutama dalam upaya-upaya penegakkan hukum Islam.