Ikhbar.com: Sebagian Muslim di Indonesia masih ada yang beranggapan bahwa kitab suci Al-Qur’an ditulis secara seragam. Nyatanya, tidak. Ada banyak jenis mushaf yang beredar di dunia dengan dasar dan pakem penulisan yang berbeda-beda. Salah satunya, Mushaf Maghribi yang banyak dicetak dan dipakai di Maroko, Libia, Tunisia, Aljazair, dan sejumlah negara Muslim di wilayah Afrika Utara lainnya.
Demikian diungkap Ustaz H. Sibli Nasrulloh kepada Ikhbar.com. Alumnus Pascasarjana di Universitas Mohamed V, Rabat, Maroko itu mengatakan, pengetahuan ini penting dimiliki umat Islam demi memperkuat prinsip moderasi sekaligus agar lebih terbiasa dalam menghadapi perbedaan dan keberagaman.
“Pada 2018 lalu, misalnya, saya pernah melihat netizen Indonesia meng-upload salah satu cover mushaf kemudian menulis keterangan bahwa penulisan Al-Qur’an tersebut salah. Dan itu viral,” kisah Kang Sibli, sapaan akrabnya, pada Ahad, 9 April 2023.
Dalam unggahan itu, lanjut Kang Sibli, jilid mushaf tersebut tertulis lafaz “الفران” yang menurut warganet Indonesia keliru karena menggunakan huruf “ف (fa)” dan semestinya memakai “ق (qaf)” sehingga dibaca “القران” atau Al-Qur’an, bukan Al-Fur’an.
“Padahal itu tidak salah. Sebab, itu adalah Mushaf Maroko yang memang lazim ditulis dengan menggunakan khat atau gaya penulisan maghribi,” katanya.
Menurut dia, khat maghribi memang menuliskan huruf qaf dengan bertitik satu, selayak huruf fa dalam mushaf yang beredar di Indonesia.
Contoh lainnya, khat tersebut juga tidak membubuhi titik pada huruf ya dan nun ketika keduanya berharakat dan berada di akhir kalimat.
Perbedaan lainnya adalah terletak pada jumlah ayat. Jika Mushaf Al-Qur’an yang diterbitkan di Indonesia memililki sebanyak 6.236 ayat karena mengikuti pendapat Kufiy, maka Mushaf Maghribi terdiri dari 6.214 ayat mengikuti pendapat Ahlul Madinah.
“Dari cara penulisannya, mushaf ini mengacu Imam Khalil bin Ahmad. Mengapa jumlah ayatnya berbeda? Ya karena menyesuaikan fikih Mazhab Mailiki, yang misalnya, tidak menganggap basmalah sebagai permulaan QS. Al-Fatihah,” katanya.
“Bahkan, Mushaf Maghribi tidak hanya jenis khatnya, namun, juga qiraatnya,” tegas Kang Sibli.
Menurutnya, keragaman tersebut menunjukkan betapa pentingnya bagi setiap Muslim untuk mempelajari mushaf dalam berbagai versi qiraat. “Yang mungkin gaya tulisannya berbeda dari yang kita tahu selama ini,” sambung dia.
Riwayat Mushaf Maghribi
Ustaz Sibli memaparkan bahwa Mushaf Maghribi mengacu pada qiraat Imam Nafie bin Abi Nuaim Al-Madani dari riwayat Imam Abu Said Utsman bin Said Al-Misri atau Imam Warsy.
“Sanad (rentetan periwayat)-nya tersambung dari Imam Nafie sampai ke Ibnu Abbas dan Abu Hurairah, lalu dari Abdullah bin Ayasy dari Ubay bin Ka’ab Al-Anshari hingga tersambung dari Rasulullah Muhammad Saw,” katanya.
Menurut dia, Mushaf Maghribi telah disesuaikan dengan Mushaf Imam Nafie sebagaimana diungkapkan muridnya yang bernama Al-Ghazi bin Qais Al-Qurtubi.
“Al-Ghazi mencocokkan mushafnya sendiri dengan mushaf yang dimiliki Imam Nafie sebanyak 13 kali. Imam al Ghazi adalah orang yang pertama kali masuk Maroko dengan membawa qiraat Nafie,” jelasnya.
Melahirkan keberagaman hukum
Kang Sibli menerangkan, guna mengetahui macam-macam jenis mushaf Al-Qur’an, maka seseorang juga perlu mengetahui tentang keberagaman dalam ilmu qiraat (aliran dalam membaca Al-Qur’an).
Menurutnya, ilmu qiraat lahir karena Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam pada kenyataannya memiliki sedikit perbedaan dalam segi cara membacanya.
“Rasulullah sebagai tokoh sentral mempunyai cara sendiri agar kitab tunggal ini bisa dibaca oleh umatnya yang berasal dari berbagai suku,” kata Kang Sibli.
Menurutnya, hal itu mengacu pada hadis Rasulullah Muhammad Saw:
عن ابن عباس رضي الله عنهما: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «أقرأني جبريل على حرف، فراجعته، فلم أزل أستزيده ويزيدني، حتى انتهى إلى سبعة أحرف».
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda, ‘Jibril membacakan kepadaku atas satu huruf, maka aku kembali kepadanya, maka aku terus-menerus minta tambah dan ia menambahi bagiku hingga berakhir sampai tujuh huruf.” (HR. Bukhari Muslim).
Kemudian hadis lain:
ان هذا القرأن انزل على سبعة احرف فاقرأوا ما تيسر منه.
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah kamu mana yang mudah dari padanya.” (HR. Bukhari Muslim)
“Terhadap kalimat ‘ala sab’ati ahruf‘ atau ‘atas tujuh huruf’ itu setidaknya melahirkan sebanyak 35 pendapat yang berbeda-beda di antara para ulama,” katanya.
Meskipun begitu, Kang Sibli menyebut kalimat tersebut oleh sebagian besar ulama diartikan sebagai tujuh item perbedaan. Yakni perbedaan sebuah kalimat isim dari mufrad ke jamak, perbedaan tasrif sebuah fiil dari fiil madli ke fiil amar, perbedaan i’rab, perbedaan ada tidaknya sebuah huruf, perbedaan taqdim dan takdir, perbedaan pergantian huruf, dan perbedaan logat/dialek suatu kelompok masyarakat seperti imalah.
Lulusan Pondok Pesantren KHAS Kempek, Cirebon Jawa Barat yang juga pernah mengenyam pendidikan di Institut Imam Nafie, Tanger, Maroko itu menjelaskan, setiap qiraat itu juga bisa menghasilkan i’rab (perubahan bunyi vokal akhir kalimat) yang berbeda.
“Dari perbedaan i’rab itu pun kemudian berpotensi menghasilkan tafsir yang berbeda pula hingga dilanjut konsekuensi hukum yang beragam. Contohnya, hukum membasuh kaki saat berwudu,” katanya.
Ustaz Sibli menjelaskan, perbedaan itu terjadi saat menafsirkan QS. Al-Maidah: 6. Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah. Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menjadikan bagimu sedikit pun kesulitan, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu agar kamu bersyukur.”
“Perbedaannya ada qiraat yang membaca ‘wa arjulakum‘ dan ada yang ‘wa arjulikum.’ Pendapat pertama beralasan mengatafkan lafal ‘arjul‘ pada ‘wujuhakum‘ sehingga i’rab-nya menjadi nashab. Sedangkan pendapat kedua mengatafkannya pada ‘bi ruusikum,’ i’rab-nya menjadi jer,” katanya.
“Alhasil jika mengikuti pendapat yang pertama, maka berarti wajib membasuh kaki saat berwudu. Sedangkan pendapat kedua menghasilkan hukum bahwa kaki cukup diusap sama seperti kita mengusap sebagian rambut kepala,” jelasnya.