Ikhbar.com: Orang-orang yang hidup di masa Rasulullah Muhammad Saw, para sahabat, dan para pelanjutnya, yakni tabi’in, merupakan generasi terbaik yang pernah dimiliki umat Islam.
Keistimewaan itu muncul bukan hanya lantaran kesempatan mereka berjumpa dengan manusia paling mulia, akan tetapi juga tentang totalitas kesetiaan dan perilaku kesehariannya yang menerapkan akhlak nyaris sempurna.
Sehingga, kisah-kisah kemuliaan para tokoh itu patut untuk terus dijadikan teladan dan inspirasi hingga kini. Salah satunya, seperti kisah seorang bernama Syuraih bin Al-Harits, hakim yang dikenal sangat jujur, adil, dan tegas tanpa pandang bulu, dalam Shuwar min Hayat at-Tabi’in, karya Syekh Abdurrahman Ra’fat Al-Basya.
Baca: 5 Hakim Agung pada Masa Rasulullah
Siapa Syuraih?
Syuraih bin Al-Harits ialah seorang qadhi atau hakim yang menjadi teladan sepanjang masa. Syuraih diangkat sebagai hakim oleh Khalifah Umar bin Khattab. Rekam jejak Syuraih menyita perhatian Khalifah Umar di kala ia dinilai tegas dalam menangani kasus sengketa kuda yang melibatkan Sang Amirul Mukminin sendiri.
Nama Syuraih juga terkenal hingga era Khalifah Ali bin Abi Thalib. Hakim yang dikenal anti-kompromi itu jugalah yang memvonis Khalifah Ali kalah dalam sengketa baju perang bersama seorang Yahudi.
Syuraih menjadi qadhi di pengadilan selama 60 tahun sejak era Khalifah Umar hingga Muawiyah. Syuraih baru mengajukan pensiun pada awal pemerintahan Hajjaj bin Yusuf sebagai wali di Irak.
Atas keprofesionalnya itu, Syuraih pun mendapatkan julukan sebagai Al-Qadhi. Sosok yang lahir pada 593 M itu wafat pada 697 M atau bertepatan dengan 78 H.
Selain sebagai seorang qadhi, Syuraih juga dikenal sebagai ahli fikih, periwayat hadis, serta tabi’in atau ulama yang berasal dari Hadhramaut. Ia masuk Islam pada zaman Nabi Saw dan pindah ke Madinah pada zaman Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Syuraih juga tercatat telah meriwayatkan banyak hadis dari sahabat-sahabat utama Rasul.
Baca: Risalah al-Qadha, Kode Etik Hakim era Khalifah Umar bin Khattab
Memenjarakan anaknya sendiri
Bukti ketegasan Syuraih tampak di saat putranya berkata, “Wahai ayah, aku sedang memiliki masalah dengan suatu kaum. Aku berharap ayah mempertimbangkannya. Jika kebenaran ada di pihakku, maka putuskanlah di pengadilan, tetapi jika kebenaran ada di pihak mereka, maka usahakanlah jalan damai.”
Setelah itu, sang anak menceritakan semua masalahnya. Lantas, dengan tegas, Syuraih berkata, “Ajukan masalahmu ke pengadilan!”
Anak Syuraih pun mendatangi orang yang berselisih dengannya dan mengajak mereka untuk memperkarakan masalah tersebut ke pengadilan.
Sidang pengadilan akhirnya digelar dan berjalan dengan lancar. Meski palu hakim berada dalam kuasa ayahnya, ternyata vonis akhir tidak memenangkan putra Syuraih.
Sesampainya di rumah, putra Syuraih berkata, “Wahai ayah, keputusanmu telah membuatku malu. Demi Allah, kalau saja sebelumnya aku tidak bermusyawarah denganmu, tentulah aku tidak menyalahkanmu.”
“Wahai putraku, demi Allah aku mencintaimu lebih dari dunia dan seisinya. Tetapi, bagiku Allah lebih agung dari itu semua dan dari dirimu. Aku khawatir jika aku beritahukan terlebih dahulu bahwa kebenaran berada di pihak mereka, maka engkau akan mencari jalan damai dan itu merugikan sebagian hak mereka. Oleh sebab itu, aku putuskan perkara seperti yang kau dengar tadi,” ungkap Syuraih.
Dalam pengadilan itu, pihak putra Syuraih diwajibkan memberikan jaminan kepada pemenang sidang. Nahasnya, si penjamin kabur hingga tidak bisa lagi terlacak. Akibatnya, sesuai aturan, putra Syuraih adalah nama berikutnya yang harus merelakan diri sebagai jaminan.
Hingga, tanpa pandang bulu, Syurai memenjarakan putra tercintanya karena dianggap tidak menjalankan putusan pengadilan.