Ikhbar.com: Dunia sedang menghadapi gelombang ketidakpastian ekonomi. Krisis energi, ketegangan geopolitik, dan fluktuasi harga pangan menunjukkan bahwa sistem ekonomi global rapuh dan sangat rentan terhadap konflik politik dan perebutan kepentingan.
Inflasi merangkak naik di berbagai negara, jurang ketimpangan makin melebar, dan dominasi ekonomi negara kuat atas negara berkembang kian terasa.
Salah satu contoh nyata adalah perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina yang telah berlangsung sejak 2018. Konflik ini bukan sekadar soal tarif atau lisensi teknologi, tetapi mencerminkan perebutan supremasi ekonomi global.
Dunia terseret dalam pusaran tarik-menarik kepentingan dua negara adidaya ini. Dan dampaknya tak terelakkan, termasuk bagi negara-negara di Asia Tenggara dan dunia Muslim.
Menghadapi realitas tersebut, umat Islam tidak boleh kehilangan orientasi. Terlebih lagi, sejarah mencatat bahwa umat Islam di masa lampau sejatinya sudah teruji dalam menghadapi krisis ekonomi, embargo, bahkan perang dagang dalam konteks yang sangat keras dan penuh tekanan.
Sirah Nabawiyah dan sejarah Khulafaur Rasyidin menyimpan banyak ibrah yang masih sangat relevan hingga hari ini.
Baca: Tetap Tenang di Tengah Perang Dagang
Krisis ekonomi dan perang dagang di masa Nabi
Salah satu episode penting dalam sejarah Islam adalah peristiwa boikot ekonomi yang dilakukan kaum Quraisy terhadap Bani Hasyim dan kaum Muslimin awal di Makkah. Dalam Sirah Ibnu Hisyam, dikisahkan bahwa kaum Quraisy menulis perjanjian pemboikotan yang disepakati semua kabilah di Makkah, melarang interaksi jual-beli, pernikahan, dan hubungan sosial dengan Rasulullah Muhammad Saw dan pengikutnya.
Mereka diisolasi di Syi’b Abi Thalib (lembah Abu Thalib) selama hampir tiga tahun.
Kondisi ini pun menyebabkan kelaparan parah, hingga mereka terpaksa memakan daun-daunan dan kulit hewan. Namun, ketahanan komunitas dibangun dengan solidaritas, kesabaran, dan bantuan dari pihak-pihak yang masih bersimpati. Strategi sabar dan kolektif inilah yang membuat umat Islam tetap bertahan dalam tekanan ekonomi berat.
Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah Saw tidak hanya membangun sistem spiritual dan sosial, tetapi juga struktur ekonomi yang mandiri. Salah satu langkah visioner adalah membangun pasar bebas dari dominasi pedagang Yahudi yang saat itu menguasai pasar utama.
Menurut Al-Samhudi dalam Wafa al-Wafa bi Akhbar Dar al-Mustafa, Rasulullah Saw mendirikan pasar yang kemudian dikenal sebagai Suuq Anshar atau sering disebut Pasar Madinah, yang bebas riba, penimbunan, dan praktik curang lainnya.
Beliau menegaskan prinsip ekonomi yang etis dan adil. Dalam konteks ini, ukhuwah antara Muhajirin dan Anshar menjadi tulang punggung solidaritas ekonomi. Sebagaimana dijelaskan dalam Tarikh Ibnu Katsir, mereka bukan hanya berbagi tempat tinggal, tapi juga berbagi aset, ladang, dan pekerjaan.
Baca: Jejak Islam dalam Sejarah Ekonomi-Bisnis Dunia
Ketahanan ekonomi di masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, tahun ke-18 Hijriyah, terjadi krisis kelaparan dan kekeringan yang dikenal sebagai Am Ar-Ramadah (Tahun Abu). Menurut Tarikh al-Tabari, kekeringan panjang menyebabkan kelaparan massal di Hijaz dan sekitarnya.
Umar segera mengeluarkan kebijakan darurat, dengan mendatangkan bantuan dari Mesir, Syam, dan Irak, serta membuka gudang-gudang Baitul Mal.
Khalifah Umar bahkan menahan diri dari makan daging dan minyak sampai rakyatnya terbebas dari kelaparan. Langkah ini menunjukkan kepemimpinan berbasis empati dan responsif terhadap krisis ekonomi.
Selain itu, sistem tata kelola ekonomi Islam dibangun secara sistematis. Baitul Mal berperan sebagai pusat distribusi kekayaan negara, bukan sebagai tempat penumpukan kekayaan elit. Dilarang keras praktik monopoli dan riba, sebagaimana ditegaskan dalam berbagai ayat Al-Qur’an, misalnya QS. Al-Baqarah: 275–279 dan ditegakkan secara hukum oleh para khalifah.
Sistem hisbah (pengawasan pasar) dijalankan untuk memastikan transaksi yang adil dan melindungi konsumen dari eksploitasi. Kitab Al-Kharaj karya penasihat ekonomi Harun Al-Rasyid, Abu Yusuf, menekankan pentingnya keadilan fiskal, dan larangan atas penguasaan sumber daya secara zalim.
Baca: Abu Yusuf, Ekonom Muslim Perumus Pajak Berkeadilan
Relevansi historis
Ketimpangan ekonomi global hari ini, dengan 1% populasi menguasai lebih dari separuh kekayaan dunia (Oxfam, 2023), mengingatkan pada pentingnya sistem distribusi kekayaan yang adil sebagaimana diajarkan Islam. Baitul Mal di era Khulafaur Rasyidin menjadi contoh konkret bagaimana surplus negara bisa didistribusikan ke daerah yang mengalami kekurangan.
Di tengah krisis pangan dan energi saat ini, belajar dari tata kelola sumber daya ala Umar bin Khattab yang memprioritaskan kebutuhan dasar rakyat. Ketika Umar mengetahui ada rakyatnya yang kelaparan, ia merasa bertanggung jawab langsung.
Pasar Madinah juga memberi pelajaran tentang pentingnya kemandirian ekonomi. Bukan melawan dengan kekerasan, tetapi membangun alternatif dengan menciptakan sistem ekonomi yang bersih dari praktik eksploitatif, berbasis kejujuran dan solidaritas.
Baca: Ibnu Khaldun Bocorkan Ciri-ciri Negara Bangkrut
Islam tidak mengajarkan sistem ekonomi yang kapitalistik maupun sosialis, tetapi menawarkan prinsip dasar yang bersifat moral dan struktural, yakni keadilan, kejujuran, larangan riba, penolakan terhadap monopoli, serta keberpihakan pada yang lemah. Prinsip-prinsip ini tertuang dalam Al-Qur’an, Hadis, dan dipraktikkan dalam sejarah Islam klasik.
Kemandirian ekonomi umat harus dibangun melalui wirausaha sosial, koperasi syariah, pasar yang adil, dan sektor produksi berbasis kebutuhan lokal. Negara perlu hadir bukan hanya sebagai regulator, tetapi sebagai pelindung distribusi kekayaan. Sejarah mengajarkan bahwa kepemimpinan yang adil dan empatik adalah kunci utama dalam menghadapi krisis.