Ikhbar.com: Kemasyhuran nama Abu Abdillah Muḥammad bin Idris Asy-Syafi’i atau yang lebih dikenal dengan Imam Syafi’i tidak melulu membawa keuntungan bagi ulama kelahiran Gaza, Palestina, tahun 767 Masehi tersebut. Dalam beberapa kasus, ketenaran pendiri Mazhab Syafi’iyah itu juga justru diboncengi fitnah dan tuduhan tanpa dasar orang-orang tidak bertanggung jawab.
Dalam karyanya yang memuat 128 permasalahan fikih, Al-Umm, Imam Syafi’i menceritakan bahwa kelompok yang tidak menghendaki keberadaannya telah membuat laporan palsu kepada Khalifah Harun Al-Rasyid dengan menyebutnya sebagai salah satu sosok intelektual faksi Alawiyyun, pimpinan Abdullah bin Mahda Hasan Al-Mutsanna bin Husein As-Sibth yang dikabarkan hendak melakukan pemberontakan.
Baca: Gaza dalam Sebait Puisi Imam Syafi’i
Imam Syafi’i dituding melakukan kampanye hitam terhadap khalifah yang sah, serta difitnah telah mengompori masyarakat agar tidak mematuhi anjuran dan perundang-undangan yang ditetapkan pemerintah.
Mendengar aduan tersebut, Khalifah Harun Ar-Rasyid pun langsung memerintahkan bala tentaranya untuk menciduk para terduga pembangkang tersebut. Di antara nama-nama dalam dafar tersebut, ada Imam Syafi’i yang juga divonis pidana mati.
Tidak lama, pihak keamanan istana berhasil membawa sejumlah orang sesuai target operasi. Ketika ekskusi dilakukan dan telah sampai giliran Imam Syafii, ulama mujtahid itu berdoa, “Ya Allah, aku memohon kelembutan (kemudahan) kepada-Mu di dalam perkara yang di dalamnya takdir berlaku.”
Namun, sebelum dihukum penggal selayak orang-orang sebelumnya, Imam Syafi’i diminta Khalifah Harun Ar-Rasyid menghadap. Ketika telah bertatap muka, Imam Syafi’i berkata, “Assalamualaika, ya Amiral Mu’minin, wabarakatuh!”
Ulama paling disegani itu mengucapkan salam tanpa kalimat “Warahmatullah,” yang kian mengundang kemarahan khalifah.
“Waalaikassalam wa rahmatullah wa barakatuh,” kata Harun Ar-Rasyid.
“Engkau memulai sesuatu sunah yang engkau tidak diperintahkan untuk melakukannya. Lalu kami menjawab itu dengan kewajiban yang sudah ada sendirinya. Sesungguhnya aneh engkau bisa di majelisku tanpa perintahku,” sambung Khalifah.
Mendengar ucapan Khalifah Harun, Imam Syafi’i pun menyitir QS. An-Nur: 55, Allah Swt berfirman:
وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى الْاَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْۖ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِى ارْتَضٰى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ اَمْنًاۗ يَعْبُدُوْنَنِيْ لَا يُشْرِكُوْنَ بِيْ شَيْـًٔاۗ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan kebajikan bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; Dia sungguh akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridai; dan Dia sungguh akan mengubah (keadaan) mereka setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Siapa yang kufur setelah (janji) tersebut, mereka itulah orang-orang fasik.”
Dan Dialah Allah, lanjut Imam Syafi’i, adalah Zat yang jika berjanji pasti menepati. Dia sudah menempatkanmu di bumi-Nya serta membuatku aman setelah ketakutanku ketika engkau menjawab salamku dengan ucapanmu “Wa alaikassalam warahmatullah.”
“Rahmat Allah sudah melingkupi diriku berkat keutamaanmu, wahai Amiru Mukminin,” ucap Imam Syafi’i.
Khalifah Harun pun mulai menginterogasi, “Jadi apa alasanmu setelah jelas bahwa temanmu yang dimaksud adalah Abdullah bin Hasan, memberontak terhadapku dan dia diikuti orang-orang hina, sementara engkau menjadi pemimpin mereka?“
“Baiklah, karena engkau telah memintaku berbicara, maka aku akan menceritakan dengan adil. Hanya saja, berbicara sambil membawa beban besi (pasung) amatlah sulit. Kalau saja engkau cukup baik kepadaku untuk melepaskannya dari kakiku, agar aku berlutut seperti yang dilakukan moyangku terhadap moyangmu, tentu aku akan fasih membela diriku, tapi jika tidak begitu, maka tanganmulah yang lebih tinggi sementara tanganku rendah, dan Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji,” kata Imam Syafi’i.
Baca: Geliat Perempuan Mesir Teladani Ibunda Imam Syafi’i
Khalifah langsung menoleh kepada prajurit yang bernama Siraj dan memerintahkannya untuk melepaskan pasung itu. Setelah belenggu terlepas dari kedua kakinya, Imam Syafi’i kembali mengutip QS. Al-Hujurat: 6. Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu.”
“Duhai, Khalifah, demi Allah, aku sama sekali tidak termasuk kelompok yang engkau maksud. Sesungguhnya telah berdusta orang-orang yang menyampaikan berita kepadamu. Sesungguhnya aku menghormati Islam dan tanggung jawab nasab. Jadi cukuplah keduannya menjadi wasilah. Dan engkaulah yang paling berhak melaksanakan adab kitabullah. Engkau adalah keturunan paman Rasulullah Muhammad Saw, yang membela agama serta melindungi ajaran beliau,” lanjut Imam Syafi’i.
Wajah Khalifah Harun pun berubah semeringah setelah mendengar keterangan Imam Syafi’i itu. Lalu ia berkata, “Ketakutanmu memang harus hilang. Sesungguhnya kami selalu menjaga hak kekerabatan serta ilmu.”
Setelah itu, Sang Khalifah langsung mengeluarkan perintahnyan untuk membebaskan Imam Syafi’i dari segala tuduhan.