Ikhbar.com: Masa muda adalah waktu yang paling berharga. Pasalnya, di tahap inilah seseorang masih memiliki kesempatan untuk merancang dan mempersiapkan diri agar mendapatkan masa depan yang lebih baik.
Demikian disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren KHAS Kempek Putri, Cirebon, Jawa Barat, Ny. Hj. Tho’atillah Ja’far saat memberikan sambutan “Seminar Santri Putri: Membangun Perempuan Berkarakter dan Berprestasi” yang digelar dalam rangka peringatan Haul Ke-34 KH Aqiel Siroj dan Sesepuh Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, Jawa Barat.
“Masa muda mesti dihiasi dengan banyak nilai-nilai kebaikan. Tidak hanya itu, masa muda juga merupakan cermin untuk menyadari bahwa dalam menjalani kehidupan sangat dibutuhkan kekuatan tekad dan kemandirian,” katanya, dikutip dari tayangan Youtube KHAS Kempek, Selasa, 22 Agustus 2023.
Selain itu, lanjut Nyai Tho’ah, sapaan akrabnya, masa-masa muda juga penting untuk diisi dengan pendalaman karakter melalui sikap-sikap keteladanan dan kesabaran.
“Soal kesabaran ini, bisa kita ambil inspirasi dari kisah Imamuna Syafi’i. Pada suatu hari, Imam Syafi’i sedang mengajar para santrinya. Namun, salah satu muridnya, Syekh Rabi’, tampak tidak memahami apa yang diajarkan gurunya itu,” katanya.
Baca: Nyai Tho’ah Kempek: Kebersihan Lingkungan Sumbang Kekhusyukan Ramadan
Hal itu terbukti di saat Imam Syafi’i menanyai murid-muridnya di akhir sesi pelajaran. Satu persatu Imam Syafi’i menanyai para santrinya demi memastikan pelajaran yang ia sampaikan mampu diterima dengan baik.
“Rabi’, apakah sudah paham? tanya Imam Syafi’i. Kemudian, Syekh Rabi’ menjawab, ‘Belum, wahai guru,” kisah Nyai Tho’ah.
Dengan penuh kesabaran, lanjut Nyai Tho’ah, Imam Syafi’i pun mengulangi materi yang sebenarnya telah rampung disampaikan itu. Setelah selesai, Syekh Rabi kembali ditanya, “Sudah paham?” Tapi, lagi-lagi, satu murid itu menjawab dengan jujur bahwa dirinya belum memahami sama sekali apa yang telah disampaikan Imam Syafi’i.
Mendengar jawaban itu, Imam Syafi’i terus-menerus mengajarkan materi tersebut, bahkan, konon, kejadian itu diulang dan berulang hingga 39 kali. Namun, murid Imam Syafi’i yang satu ini terus mengaku tak kunjung paham dan mengerti.
“Karena merasa tidak enak hati kepada gurunya, Syekh Rabi’ pun mundur perlahan dan meninggalkan majelis tanpa izin,” kata Nyai Tho’ah.
Di hari yang ke sekian, Imam Syafi’i merasa kehilangan. Imam Syafi’i bertekad mendatangi Syekh Rabi’ setelah jam belajar. Tetapi, salah satu santri memohon agar dia diberi izin untuk mengabarkan kepada Rabi bahwa sang guru mulia itu mencarinya.
“Tetapi sebelum diminta, Syekh Rabi’ lebih dulu sowan ke ndalem (kediaman) Imam Syafi’i. Kini, Imam Syafi’i berinisiatif untuk mengajari Syekh Rabi’ secara lebih pribadi. Karena, barangkali, dia selama ini merasa malu kepada kawan-kawan sekelasnya,” kata putri Abuya KH Ja’far Aqiel Siroj tersebut.
Sayangnya, lewat pengajaran khusus itu pun, Syekh Rabi’ mengaku tetap tidak memahami materi yang diajarkan Imam Syafi’i. Hingga akhirnya, Imam Syafi’i berkata, “Muridku, sebatas inilah kemampuanku mengajarimu. Jika kau masih belum paham juga, maka berdoalah kepada Allah agar berkenan mengucurkan ilmu-Nya untukmu. Saya hanya menyampaikan ilmu. Allah-lah yang memberikan ilmu. Andai ilmu yang aku ajarkan ini sesendok makanan, pastilah aku akan menyuapkannya kepadamu.”
Baca: Ketaatan Butuh Kecerdasan, Hikmah Gajah di Majelis Imam Malik
Mendengar nasihat yang diberikan gurunya itu, Syekh Rabi’ pun mulai berdoa di setiap waktu agar Allah Swt berkenan memberikan ke-futuh-an (membukakan pikirannya) guna memahami setiap pelajaran yang telah disampaikan Imam Syafi’i. Sejak saat itu pula, dia menjadi santri yang paling rajin bermunajat, dan tanpa dia tahu, namanya pun selalu disebut dalam doa-doa Imam Syafi’i.
“Setelah dilaksanakan secara istikamah dan tak kenal lelah, Allah Swt pun mengabulkan doa-doa Syekh Rabi’. Tiba-tiba dia menjadi santri paling cerdas meskipun hal itu muncul dan menggemparkan kabar seangkatannya setelah menyandang status sebagai alumni. Syekh Rabi’ dikenal menjadi perawi hadis dengan jumlah hafalan yang kaya. Bahkan, ia tercatat sebagai seseorang yang paling dipercaya dalam membantu Imam Syafi’i menuliskan kitab Al-Umm dan Ar-Risalah,” kata Nyai Tho’ah.