Ikhbar.com: Ketaatan seorang murid terhadap guru merupakan keharusan. Namun, kepatuhan yang baik itu mesti ditopang seperangkat kecerdasan. Jika tidak, pengabdian lewat relasi pencarian ilmu tersebut tidak akan bisa mencapai hasil yang sesuai harapan.
Demikian disampaikan anggota Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), KH Sobih Adnan, saat menyampaikan motivasi bertema “Pesantren Hebat, Pesantren Ramah Anak” dalam kegiatan Masa Ta’aruf Santri Al-Muntadhor (Matadhor) III, di Pondok Pesantren Al-Muntadhor Babakan, Ciwaringin, Cirebon, Rabu, 26 Juli 2023, kemarin.
“Jadi, seorang santri harus melakukan segala sesuatunya dengan penuh kesadaran, punya penalaran dan argumentasi yang kuat, setelah itu, barulah bisa secara tulus dan fokus dalam menjalankan hubungan guru-murid tersebut,” katanya.
Hal itu, lanjut Mudir Aam Ikhbar Foundation tersebut, persis yang telah diteladankan dalam kisah Yahya bin Yahya Al-Laitsy saat menekadkan diri untuk berguru kepada Imam Malik bin Anas.
Kegigihan Yahya
Dalam Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik, Qâdi ‘Iyâd menceritakan, di masa keemasan Islam, terdapat seorang remaja bernama Yahya bin Yahya Al-Laitsy yang tinggal di Kota Andalusia alias Spanyol. Lelaki yang dikenal giat belajar dan haus terhadap ilmu pengetahuan ini berkeinginan besar untuk belajar langsung dengan tokoh besar di masa itu, yakni Imam Malik bin Anas, yang berada di Kota Madinah.
“Singkat cerita, berangkatlah remaja bernama Yahya ini ke Madinah. Jarak Spanyol dan Madinah itu diperkirakan 6.300 kilometer, dan itu ia lakukan demi bisa berguru kepada sosok yang sangat ia kagumi tersebut,” kata Kiai Sobih.
Setibanya di Madinah, bertemulah Yahya dengan Imam Malik. Dan dia pun langsung dipersilakan untuk turut mengaji bersama ribuan santri lainnya.
Baca: Benarkah Bullying Justru Pererat Keakraban?
“Suatu ketika, tiba-tiba terdengar teriakan ‘Gajah! Ada gajah!’ dari luar majelis. Ribuan santri itu pun berhamburan keluar, dan Imam Malik mempersilakan mereka untuk melihat sebentar rombongan kafilah berkendara gajah yang kebetulan sedang melintas tersebut,” ungkap dia.
Anehnya, meski seluruh teman-temannya berhamburan melihat keberadaan binatang yang memang langka di kota itu, tetapi ada satu santri yang tetap bertahan dan fokus duduk di hadapan Imam Malik. Dialah Yahya bin Yahya Al-Laitsy.
Melihat hal tersebut, Imam Malik pun bertanya. “Wahai, Yahya, kenapa engkau tidak ikut keluar untuk melihat gajah? Bukankah hewan itu juga tidak ada di Andalusia?”
“Wahai Imam Malik, saya dari jauh datang ke sini bertujuan untuk belajar dan menimba ilmu darimu. Saya datang ke sini bukan untuk melihat gajah,” jawab Yahya.
“Berkat sikap teguh Yahya itulah, sejak saat itu, Imam Malik menjulikinya dengan panggilan ‘Al-Aqil’ artinya ‘yang cerdas,” kata Kiai Sobih.

Bukan melawan
Menurutnya, keteguhan Yahya untuk tetap duduk dan fokus meskipun Imam Malik mempersilakan para murid keluar bukan lah sebagai bentuk perlawanan.
“Al-Aqil tidak sedang melawan atau tidak mematuhi gurunya itu. Akan tetapi, dengan berseberangan dari perintah Imam Malik itu, berarti ia telah melaksanakan ketaatan dengan berlandaskan penalaran yang cerdas,” kata dia.
Menurut Kiai Sobih, inilah prinsip yang penting dimiliki setiap santri. Mereka harus belajar dari segala hal yang dilakukan kiai, termasuk mencerna dengan cerdas segala hikmah di balik perintah yang diberikan kepada mereka.
“Sebab, segala teladan yang diberikan kiai ialah ilmu. Itu yang membedakan pesantren dengan keumuman lembaga lainnya,” kata dia.