Ikhbar.com: Isu pemindahan ibu kota tak pernah redup dalam peta perubahan dunia. Terlepas dari rencana Indonesia memindahkan titik administrasinya ke Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, di Kalimantan Timur, banyak negara telah tercatat sejarah telah melakukan langkah serupa.
Pemindahan ibu kota seolah menjadi ritme evolusi politik dan struktural di berbagai penjuru dunia.
Sebagai ilustrasi, Kazakstan memiliki catatan menarik melalui penelitian Anna van der Gallen dalam Kazakhtan’s New Capital and Legitimacy (2019). Mereka berani menggeser pusat kekuasaan dari Almaty ke Akmola (kini Astana) pada 1997 yang berada di antah-berantah, jauh dari kota-kota sub-urban.
“Fakta ini menandai bahwa pemindahan ibu kota bukanlah fenomena terisolasi, melainkan bagian dari narasi perubahan yang terus berputar,” tulis Anna, dikutip pada Jumat, 11 Agustus 2023.
Baca: Mengenal Ismail Al-Jazari, Ilmuwan Muslim Pencipta Robot Pertama di Dunia
Pemindahan ibu kota dalam peradaban Islam
Dalam arus sejarah Islam, sebuah gagasan cemerlang terkait perpindahan pusat pemerintahan ini pun kerap muncul. Dalam Islam: Dari Rashidun ke Kekhalifahan Abbasiyah (2010), Yuri Galbinst menyebut Khalifah Al-Mansur sebagai figur terpenting dalam sejarah suksesi pemindahan ibu kota. Pada masanya, pergeseran pusat pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad pada 762 M menciptakan perubahan kuasa dalam peradaban Islam.
Menurut dia, pemindahan ibu kota tak sekadar berarti pindahnya gedung-gedung pemerintahan. Sebaliknya, ini mencakup transformasi mendalam pada cara negara bersinggungan dengan wilayah dan dinamika masyarakat berhadapan dengan pemerintah.
“Alasan pemindahan yang dilakukan di bawah kuasa Al-Mansur ini adalah karena kedekatan lokasi Baghdad dengan Iran yang merupakan basis kekuatan Abbasiyah,” ungkap Yuri.
Pada periode ini juga, Al-Mansur mengadopsi sebuah jawatan yang berasal dari kultur pemerintahan Persia, yaitu wazir. “Posisi Ini dibentuk untuk mendelegasikan otoritas pusat kepada amir lokal,” tulisnya.
Relasi yang dekat dengan Persia bukan tanpa sebab. Imperium tersebut merupakan mitra oposisi Abbasiyah dalam menggulingkan Umayyah.
“Oleh karenanya, periode pertama pemerintahan Daulah Abbasiyah ini disebut dengan masa pengaruh Persia pertama, yang berlangsung antara 750–847 M,” tulisnya.
Selain tentang relokasi pusat pemerintahan, periode Al-Mansur juga dikenal sejarah sebagai era perkembangan ilmu pengetahuan.
Era Abbasiyah menjadi zaman keemasan Islam sebagai kekuatan adidaya dunia. Pada zaman itulah Harun Al-Rasyid memerintah selama 23 tahun pada 786 – 809.
Uniknya, setelah berkuasa sepuluh tahun, Al-Rasyid memindahkan kembali ibu kota dari Baghdad ke Raqqah, tepatnya pada 796, dengan alasan dinamika geopolitik.
Perjanjian damai Abbasiyah dengan Bizantium dilanggar Raja Nikephoros I dan hubungan baik Abbasiyah dengan Dinasti Tang di Cina menyebabkan Al-Rasyid memimpin langsung penyerangan ke Bizantium pada 806. Setelah Al-Rasyid wafat, ibu kota dikembalikan ke Baghdad mulai 809 hingga 1258.
Munculnya kekuatan adidaya baru, Mongol, yang dipimpin Genghis Khan menaklukkan sebagian besar wilayah Eurasia, termasuk Cina dan beberapa wilayah Abbasiyah. Akhirnya, Hulagu Khan meluluhlantakkan ibu kota itu pada tahun 1258.
Bangsa Mamluk yang selama ini menjadi tulang punggung tentara Abbasiyah dan juga tentara Dinasti Ayyubi di Mesir, lalu memindahkan ibu kota Abbasiyah dari Baghdad ke Kairo pada 1261-1517.
Baca: Mendoakan Negara Aman Lebih Utama ketimbang Meminta Terhindar dari Kekafiran
Sejak mula
Dalam perjalanan sejarah Islam, perkara pemindahan ibu kota juga menjadi tajuk yang cukup sensitif sejak masa awal penyebarannya. Misalnya, ketika kaum Muslimin berhasil membebaskan Makkah, sejumlah sahabat yang tergabung dalam kelompok Anshar khawatir jika Rasulullah Muhammad Saw yang sangat mereka cintai itu akan menetap di Makkah dan tidak kembali ke Madinah.
Kekhawatiran kaum Anshar ini pernah terkuak saat Baiat Aqabah. Mereka sempat memaknai perjanjian itu sebagai pertanda dari akhir kejayaan hijrah. Baru, setelah 19 hari di tanah kelahirannya, Rasulullah Saw kembali ke Madinah dan menetap di sana hingga wafat.
Nabi Saw bersabda, “Tidak ada lagi hijrah setelah kemenangan di Makkah. Yang ada hanyalah niat yang tulus melakukan kebajikan disertai jihad perjuangan mewujudkannya. Bila tiba panggilan jihad, penuhilah.”
Lahir di Makkah, bergeser ke Madinah, lalu syiar Islam terus berkembang dan meluas hingga menyentuh hampir ke seluruh wilayah di dunia.