Ikhbar.com: Sebutan pelakor atau perebut laki orang kerap muncul dalam kasus perceraian yang mendera para selebritas belakangan hari. Pelakor sering kali diseret-seret sebagai kambing hitam. Sebutan itu dijejali dengan berbagai stigma negatif dan seakan dianggap sebagai pihak yang paling aktif berinisiatif dalam sebuah proses perselingkuhan.
Anggapan tersebut, tentu tidak sepenuhnya benar. Pasalnya, sebuah perselingkuhan pasti terjadi akibat adanya kesepakatan dua belah pihak, laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, tidak ada paksaan dalam perbuatan berkhianat terhadap pasangan tersebut.
Oleh sebab itu, Rasulullah Muhammad Saw mewanti-wanti para lelaki agar tidak centil kepada perempuan yang telah menikah. Larangan tersebut menyiratkan bahwa pihak yang berpotensi memulai perselingkuhan bisa laki-laki, mungkin juga perempuan. Hal itu termaktub dalam hadis riwayat Abu Hurairah yang mendengar Nabi Saw bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِها أو عَبْدًا عَلَى سَيِّدِه
“Rasulullah Saw bersabda, ‘Bukan bagian dari kami, orang yang menipu seorang perempuan atas suaminya atau seorang budak atas tuannya.”
Dalam hadis tersebut, Rasullah Saw mengecam perilaku lelaki yang mengganggu pernikahan perempuan yang telah bersuami dengan ancaman tidak diakui sebagai bagian dari umatnya.
Baca: Inara Rusli Tuntut Nafkah Mut’ah ke Virgoun hingga Rp10 M. Apa Itu?
Pada waktu yang lain, Rasulullah Saw memperingatkan perempuan agar mewawas diri dari perilaku merusak rumah tangga orang lain. Nabi Saw bersabda:
عن أبي هريرة يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قال لَا تَسْأَلِ المَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفِئَ مَا فِي إِنَائِهَا
“Dari Abu Hurairah yang sampai kepada Rasulullah Saw, beliau bersabda, ‘Janganlah seorang perempuan meminta perceraian saudaranya untuk membalik (agar tumpah isi) nampannya.”
Syekh Muhammad Abdurrahman Al-Mubarakfuri, dalam Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’it Tirmidzi mengutip Imam An-Nawawi bahwa perempuan yang dimaksud dalam hadis itu adalah pihak ketiga yang menghendaki menikah dengan lelaki yang telah beristri dengan terlebih dulu memintanya untuk menceraikan istrinya.
Larangan tersebut hadir karena Islam mengonsepsikan pernikahan sebagai mitsaqan ghalizha (perjanjian agung) yang berkaitan dengan semua sendi-sendi kehidupan, seperti ibadah, ketenangan hidup, dan reproduksi. Sehingga, apapun yang dapat merusak pernikahan dengan cara ilegal, berarti mengingkari tujuan pernikahan yang diajarkan Islam.