Ikhbar.com: Manusia, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama untuk menunaikan ketaatan kepada Allah Swt. Akan tetapi, secara umum, masih banyak ditemukan tafsir ayat kitab suci Al-Qur’an maupun hadis yang memiliki kecenderungan untuk lebih mengunggulkan kaum laki-laki ketimbang perempuan.
Praktisi fikih perempuan, Nyai Uswatun Hasanah Syauqi mengatakan, dominasi tafsir yang terkesan maskulin itu pada akhirnya membuat kaum perempuan seolah-olah kehilangan sifat kemandirian, bahkan otoritasnya terhadap diri sendiri.
“Sejak kecil, perempuan diperintahkan untuk taat kepada orang tua. Setelah dewasa dan menikah, ketaatan ini beralih kepada suami. Seolah-olah perempuan tidak memiliki otoritas untuk dirinya sendiri,” kata Ning Uswah, sapaan akrabnya, dalam Hiwar Ikhbar bertema Pernikahan dan Posisi Perempuan dalam Fikih Berkeadilan, Senin, 15 Mei 2023.
Menurut Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar, Mojokerto, Jawa Timur tersebut, kesan maskulin yang muncul pada penafsiran ayat-ayat pernikahan itu disebabkan banyak faktor. Di antaranya adalah konteks tradisi masyarakat di masa lampau.
“Tafsir itu kemudian diserap dan berlaku dalam aturan fikih, sehingga wajah fikihnya semakin terasa maskulin,” kata Ning Uswah.
Pengertian fikih
Ning Uswah mendefinisikan, fikih merupakan produk hukum syariah praktis yang digali dari sejumlah dalil primer.
Mengutip penjelasan Imam Syafi’i, Ning Uswah menjabarkan fikih sebagai:
العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
“Produk hukum-hukum syari’ah amaliyah yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci.”
Fikih ini, lanjut Ning Uswah, dirumuskan oleh para ulama terdahulu berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadis, ditambah dengan pertimbangan konteks yang berlaku di masa itu.
“Cara ulama menginterpretasikan dalil banyak yang masih terkesan maskulin karena terkait dengan budaya orang zaman dahulu,” ungkapnya.
Ayat perkawinan populer
Menurut Ning Uswah, salah satu ayat Al-Qur’an yang kerap dipakai untuk menerjemahkan tentang pernikahan dalam Islam adalah QS. Ar-Ruum: 21. Allah Swt berfirman:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”
“Saking populernya, ayat ini kerap dibacakan oleh qari di acara pernikahan, bahkan terjemahannya sering tercetak dalam undangan,” ujar Ning Uswah.
Sayangnya, kata Ning Uswah, masih banyak yang menerjemahkan atau menafsirkan lafal “Azwaajan” pada ayat tersebut sebagai istri-istri.
“Seharusnya memang diartikan ‘pasangan.’ Sehingga pengertiannya, tanggung jawab untuk menjadikan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah itu tidak cuma menjadi tanggung jawab istri,” jelasnya.
Ning Uswah yakin, bahwa motivasi Al-Qur’an melalui ayat tersebut adalah mewujudkan rumah tangga berkeadilan. Sementara nuansa maskulinitas itu timbul lantaran di masa lampau, perempuan memiliki kedudukan yang sangat rendah, bahkan tidak dianggap. Lantas, Al-Qur’an turun justru untuk membebaskan perempuan dari ketidakadilan tersebut.
“Namun, yang perlu diyakini pula adalah bahwa perbedaan itu hanya terkait cara ulama menafsirkan ayat suci, tidak lantas menunjukkan salah dan bener. Semuanya benar. Cuma kita punya opsi untuk memilih cara penafsiran yang dianggap lebih maslahat,” tegasnya.