Ikhbar.com: Ajaran Islam menyebut tradisi melamar atau meminang dengan istilah khitbah, maknanya, permintaan.
Praktisi fikih nisa, Nyai Uswatun Hasanah Syauqi menjelaskan, kata khitbah terserap dari kalimat khathiba, yakhthibu, khithbatun. Khitbah kerap diartikan sebagai permintaan seorang laki-laki kepada perempuan untuk dijadikan istri sesuai adat yang berlaku di masyarakat.
“Tetapi terhadap khitbah ini, sebagian masyarakat masih belum memiliki kesadaran yang menyeluruh dan berkeadilan. Sebab, pembahasan tentang khitbah yang disajikan para ulama masih menjadikan perempuan atau calon istri sebagai objek,” kata Ning Uswah, sapaan akrabnya, Rabu, 26 April 2023.
Ning Uswah menyebut, hal itu, seperti yang tertulis dalam Bulugh al-Maram. Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَـاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ.
“Apabila salah seorang di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa memandang bagian yang menarik untuk dinikahi, maka hendaklah ia lakukan.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Bak barang dagangan
Menurut Ning Uswah, para ulama pun sepakat bahwa yang meminang boleh memandang pinangannya. Meskipun, para imam mujtahid seperti Imam Malik dan Imam Syafii memberikan batasan melihat calon istri, baik secara langsung atau diwakilkan oleh utusannya, melalui telapak tangan dan bagian wajah.
“Tetapi, alasannya, karena wajah sudah cukup sebagai bukti kecantikannya dan dua tangan cukup untuk bukti bagaimana keindahan dan kehalusan kulit badannya,” katanya.
Tidak hanya berhenti di situ, Ning Uswah menyebut ‘pertunjukan’ itu bahkan sampai pada anjuran untuk mengetahui bagaimana bau mulut, bau ketiak, bau badan, serta bagaimana bentuk rambut sang calon pengantin perempuan.
Anjuran itu, kata dia, juga mengambil dari hadis yang diriwayatkan Ahmad Hakim dan Thabrani, yang artinya “Nabi Saw pernah mengutus seseorang untuk mendatangi perempuan (yang dikhitbah). Beliau berkata, “Lihatlah urat kentirnya dan ciumlah kuduknya.” Dalam riwayat lain juga dituliskan “Dan ciumlah gigi depannya”. (HR. Ahmad, Hakim, Tabrani dan Baihaqi).
“Beberapa penjelasan tentang khitbah yang kita dengar juga kita amati dalam masyarakat selama ini memang masih menjadikan perempuan ibarat sebuah produk yang akan dibeli, maka harus dilihat-lihat dulu, diteliti hingga detail,” kata Ning Uswah.
“Banyak yang melupakan bahwa sekali pun produk tersebut dipajang, kita tidak tahu bagaimana kualitas pembelinya? Apakah calon pembeli mampu membeli produk tersebut? Atau, apakah pantas calon pembeli memiliki produk tersebut?” lanjutnya.

Adil menempatkan hadis
Maka, kata Ning Uswah, dibutuhkan sebuah pandangan yang adil dalam menempatkan sebuah hadis. “Ketika perempuan diteliti bagaimana fisik dan perangainya saat dikhitbah, maka berlaku juga untuk laki-laki ketika mengkhitbah. Ia juga harus diteliti bagaimana fisik dan perangainya,” kata Ning Uswah.
Menurut Ning Uswah, hal itu selaras dengan semangan QS. Al-Baqarah: 228 yang menjelaskan bahwa para perempuan juga mempunyai hak yang seimbang dengan laki-laki menurut cara yang baik.
وَالْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْۤءٍۗ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ اَنْ يَّكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللّٰهُ فِيْٓ اَرْحَامِهِنَّ اِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ وَبُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِيْ ذٰلِكَ اِنْ اَرَادُوْٓا اِصْلَاحًا ۗوَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru‘. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.”
Ning Uswah menjelaskan, Khalifah Umar bin Khattab menganjurkan kepada para perempuan yang dikhitbah untuk membuat syarat kepada calon suami, sebagaimana istinbath Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni.
“Syarat tersebut, misalnya, istri tidak akan dibawa pergi dari kampungnya/negaranya, tidak berpergian bersama istri, tidak akan menikah lagi (dipoligami), dan tidak akan menyakiti calon istri,” jelas Ning Uswah.
Tidak hanya Sahabat Umar, katanya, hal itu juga ditekankan Saad bin Waqqas Muawiyah, Amru bin Ash, Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Tawas, Azuai, Ishaq, dan ulama Mazhab Hanbali. Mereka menyepakati pendapat diperbolehkannya calon istri mengajukan syarat pranikah. Dan apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, pernikahan dapat di-fasakh (diputus/dibatalkan).
“Namun, hal ini masih menjadi unpopular opinion (tidak populer) tentang khitbah di kalangan kita. Padahal, prosesi khitbah bertujuan untuk saling mengetahui bagaimana kondisi si calon suami dan calon istri. Khitbah juga bertujuan untuk mengetahui watak masing-masing, bagaimana perilaku masing-masing dan untuk mendeteksi apakah ada kecenderungan satu sama lain untuk dapat mewujudkan pernikahan dengan hati dan perasaan yang lebih mantap,” ujar sosok yang juga pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur itu.
Menurutnya, generasi milenial dan Z mungkin lebih akrab dengan istilah pre-merriage talk atau pembicaraan yang mendalam tentang prospem pernikahan. “Hal ini, memang tidak jauh beda dengan pengertian khitbah, yang merupakan akar dari kata al-khitbah dan al-khatbu. Al-khitab berarti pembicaraan, makna eksplisit yang bisa kita tangkap adalah pembicaraan tentang pernikahan,” katanya.
Di dalam Al-Qur’an, kata Ning Uswah, perintah khitbah harus dilaksanakan dengan makruf atau cara yang baik. “Demi mewujudkan khitbah yang sesuai nilai-nilai kemakrufan Al-Qur’an, maka, hendaklah dilaksanakan dengan seadil-adilnya. Khitbah tidak hanya mempertimbangkan selera calon suami, tetapi juga keinginan calon istri.” pungkas Ning Uswah.