Ikhbar.com: Pernikahan adalah komitmen sepasang anak manusia untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Selain tekad menjalankan aturan yang diterapkan syariat, idealnya, tiap-tiap dari calon pasangan memiliki kejelasan batas-batas hak dan tanggung jawab yang harus ditaati usai resmi berstatus sebagai suami-istri.
Demikian disampaikan praktisi fikih nisa, Nyai Uswatun Hasanah Syauqi. Menurutnya, salah satu yang bisa diterapkan sesuai konteks fikih adalah sighat taklik.
“Sighat taklik ini penting. Sebab, menjadi semacam kontrak pranikah. Dalam istilah fikih digolongkan pada talaq mu’allaq, yakni talak yang digantungkan pada sesuatu,” katanya, kepada Ikhbar.com, Jumat, 28 April 2023.
Dalam hukum perkawinan di Indonesia, fokus sighat taklik yang diucapkan ketika akad nikah umumnya menyasar pada empat hal, yakni, jatuh talak jika sang suami meninggalkan istri, tidak memberikan nafkah, menyakiti, dan tidak peduli.
“Jika dalam akad nikah diucapkan sighat taklik, maka apabila suami melakukan hal-hal tersebut otomatis akan menjadi fasakh atau batal pernikahannya,” kata sosok yang juga pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur tersebut.
“Namun, lagi-lagi, usaha pemerintah untuk menyertakan sighat taklik ketika akad nikah juga merupakan unpopular opinion (tidak populer). Masyarakat masih menganggap hal tersebut tidaklah penting,” sambung Ning Uswah, sapaan akrabnya.
Bahkan, sambung Ning Uswah, proses itu ditolak dengan berbagai alasan. Sehingga pada 7 September 1996, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memutuskan bahwa kewajiban membaca sighat taklik di depan penghulu tidak dibutuhkan lagi.
Baca: Saat Dilamar, Fikih Membolehkan Perempuan Memilih, Bukan hanya Dipilih
“Padahal menggunakan sighat taklik dan perjanjian pranikah mampu menjamin hak-hak perempuan dan melindungi mereka dari perlakuan sewenang-wenang suami. Jika pun masih ada sebuah pernikahan yang membacakan sighat taklik talak, itu masih dianggap hanya sebagai simbolik. Realitasnya, tidak benar-benar dijalankan dan tidak ada kontrol dari lembaga yang menaungi pernikahan di Indonesia,” ungkapnya.
Minimnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya perjanjian pranikah tak ayal membuat daftar panjang deretan pernikahan yang tidak harmonis, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), serta penelantaran anggota keluarga.
“Belum lagi, para istri kesulitan untuk mengajukan (menggugat) perceraian dengan alasan takut terkena dosa. Bahkan, dibubuhi dalil tidak mencium bau surga bagi istri yang mengajukan gugatan cerai,” pungkasnya.
Berikut adalah salah satu bentuk redaksi sighat taklik talak yang biasa dibaca seorang suami setelah akad nikah:
Sesudah akad nikah, saya ….bin… berjanji dengan sesungguh hati bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya yang bernama …binti ….dengan baik (mu‘asyarah bil ma‘ruf) menurut ajaran syariat agama Islam.
Selanjutnya saya mengucapkan shighat taklik atas istri saya itu sebagai berikut:
Sewaktu-waktu saya (1) meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut, (2) atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya; (3) atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu; (4) atau saya membiarkan (tidak mempedulikan) istri saya itu enam bulan lamanya. Kemudian istri saya tidak rida dan mengadukan kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya itu dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar uang sebesar Rp10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.
Kepada pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima uang pengganti itu dan kemudian menyerahkannya kepada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Cq. Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaaan Syariah untuk keperluan ibadah sosial.