Wahai Gen Z, Ini Pentingnya Fikih bagi Perempuan

Ilustrasi gen z muslimah. Dok Halal Weekly

Ikhbar.com: Sejumlah survei kerap melaporkan betapa tingginya tingkat religiositas masyarakat Indonesia. Hasil riset Pew Research Center pada 2020, misalnya, menyebut tingkat ketaatan beragama, khususnya Islam, penduduk Indonesia mencapai 96%. Kemudian survei Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Bimbingan Masyarakat Agama dan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Kementerian Agama (Kemenag) pada 2021 juga menyebut, tingkat kesalehan warga Indonesia selama pandemi Covid-19 mencapai 86%.

Pun hasil survei yang digelar Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 2022, sebanyak 86% responden menyatakan sangat taat kepada ajaran Islam.

Sayangnya, kian meningginya tingkat kereligiositasan itu tampaknya tidak dibarengi dengan pendalaman ajaran Islam secara saksama. Hal itu dibuktikan dengan masih banyaknya masyarakat, terutama dari generasi Z (kelahiran 1997-2009) yang kurang begitu memahami konsep fikih, terlebih yang berhubungan dengan perempuan.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur, Nyai Uswatun Hasanah Syauqie mengaku memiliki pengalaman yang cukup memprihatinkan terkait pemahaman generasi muda terhadap fikih perempuan. Hal itu bermula ketika ustazah muda itu bertemu kawan lamanya yang mengeluhkan kehidupan privat rumah tangga dengan suami yang hiperseksual.

“Sampai-sampai saya tersedak ketika dia melontarkan ‘Meskipun aku sedang haid, ayo saja tetap digarap. Katanya enak pelumas alami,” ungkap Ning Uswah, sapaan akrabnya, kepada Ikhbar.com, Jumat, 7 April 2023.

Demi keselamatan dunia akhirat

Menanggapi cerita tersebut, Ning Uswah pun memberikan penjelasan bahwa berhubungan badan dengan suami ketika menstruasi dihukumi haram.

“Dari kejadian itu bisa diambil kesimpulan, yang begitu dekat dengan kita saja terkadang masih banyak yang belum mengetahui bab fikih. Termasuk pemandangan yang lazim ketika kita melihat perempuan-perempuan ada yang tetap menggunakan pakaiannya untuk salat padahal terkena najis, kaifiyah (cara) wudu yang kurang tepat, tidak menghapus makeup ketika akan berwudu, dan sebagainya,” kata dia.

Nyai Uswatun Hasanah Syauqie. Dok Istimewa

Padahal, lanjut Ning Uswah, ajaran Islam menyebutkan bahwa ada dua hal yang bisa menyelamatkan manusia baik di dunia dan akhirat. “Pertama, memahami ilmu tauhid, dan kedua memahami fikih,” ungkapnya.

Menurut Ning Uswah, hal itu berdasarkan keterangan dalam QS. Al-Bayyinah: 5. Allah Swt berfirman:

وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ

“Mereka tidak diperintah, kecuali untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya lagi hanif (istikamah), melaksanakan salat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus (benar).”

“Maka fikih bab thaharah (bersuci) yang di dalamnya mencakup tentang pengertian hadas dan najis, termasuk bab haid, harus diperkuat untuk generasi muda Muslim,” katanya.

Ragam haid, nifas, dan istihadhah

Selain itu, Ning Uswah juga menyebut masih adanya sejumlah kesalahpahaman masyarakat terkait fikih perempuan.

Padahal, dia menyebut, ada banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang pengalaman biologis perempuan. Ayat-ayat tersebut di antaranya memosisikan haid sebagai adza (sakit), hamil sebagai pengalaman yang kurhan atau penuh susah payah serta wahnan ‘ala wahnin yang berupa lemah yang bertambah-tambah yang rasanya bahkan disetarakan dengan sakaratul maut.

“Atau pengalaman nifas dan menyusui yang fi ‘aamaini (kurun waktu dua tahun). Dan itu semua berkaitan dengan fikih perempuan,” katanya.

Di sana pun, kata Ning Uswah, dijelaskan tentang bagaimana hukum salat perempuan yang sedang haid dan nifas, puasa ibu hamil dan menyusui, serta hukum saat wiladah atau melahirkan. “Namun ada hal yang sering kali disalahpahami oleh masyarakat terkait pengalaman biologis perempuan, yakni seputar jenis dan status darah yang keluar dari vagina,” katanya.

Menurutnya, satu-satunya ayat dalam Al-Qur’an yang mengisahkan tentang pengalaman biologis perempuan berupa darah adalah QS. Al-Baqarah: 222. Allah Swt berfirman:

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

“Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah, ‘Itu adalah suatu kotoran.’ Maka, jauhilah para istri (dari melakukan hubungan intim) pada waktu haid dan jangan kamu dekati mereka (untuk melakukan hubungan intim) hingga mereka suci (habis masa haid). Apabila mereka benar-benar suci (setelah mandi wajib), campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”

“Ayat tersebut hadir sebagai respons baik Tuhan terhadap sejarah tabu menstruasi di seluruh dunia, termasuk pada saat itu di negara Arab yang awalnya mereka mengasingkan perempuan yang sedang haid dalam gubuk menstruasi (menstrual huts),” jelasnya.

Pada ayat itu, lanjut dia, terdapat term “adza” yang lazim diterjemahkan sebagai kotoran. Ini berarti, tegas Ning Uswah, yang kotor adalah darah haidnya, bukan tubuh perempuan yang sedang haid.

“Jadi, perempuan yang sedang haid tidak perlu dijauhi, apa lagi diasingkan. Mereka hanya tidak boleh disetubuhi,” jelas Ning Uswah.

Lebih lanjut Ning Uswah menjelaskan, dilihat dari sisi tafsirnya, lafal “adza” bisa juga dimaknai sebagai sesuatu yang bisa menimbulkan rasa sakit. Maka, katanya, kalimat i’tazil bukan sekadar bermakna ‘jauhilah perempuan’ dalam konteks pekerjaan seksual, melainkan ‘berikanlah waktu istirahat bagi perempuan’ untuk membahagiakan dirinya sendiri selama masa haid.

“Sebab, kita tahu sendiri bahwa sebelum haid sebagian perempuan ada yang merasakan premenstrual syndrome (sindrom prahaid), dismenore (nyeri haid), dan perasaan ketika haid. Belum lagi ketika menggunakan alat kontrasepsi, siklus haid bisa menjadi berubah hingga berpenharuh terhadap kondisi fisik,’ katanya.

Dari ayat tersebut pula, menurut Ning Uswah, para ulama kemudian mengembangkan hukum haid menjadi fikih darah perempuan secara keseluruhan, termasuk pembahasan nifas dan istihadah.

“Mempelajari fikih darah perempuan tidak hanya bertujuan mengetahui status hukum cairan yang dikeluarkan dari vagina, melainkan untuk menggali kabar gembira dari Allah bahwa perempuan dianugerahi kasih sayang yang begitu luar biasa dari segi biologis,” katanya.

“Alih-alih mengatakan perempuan naqishat din atau kurang agama sebab darah yang keluar dari vaginanya, justru Allah mengkhususkan perempuan dengan pengalaman biologisnya sebab ia merupakan induk dari sebuah kedaulatan negara,” pungkas Ning Uswah.

Baca artikel kami lainnya di Google News.