Ikhbar.com: Ada banyak fakta menarik yang sekaligus mampu mengernyitkan dahi terkait bagaimana sejarah manusia dalam menempatkan posisi perempuan. Termasuk, di dalam khazanah pemikiran Islam.
Salah satu dari fakta tersebut adalah tentang derajat perempuan yang seolah-olah disetarakan dengan binatang ketika memasuki pembahasan fikih yang berhubungan dengan proses reproduksi, terutama pasal tentang haid.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur, Nyai Uswatun Hasanah Syauqie menjelaskan, hal itu salah satunya bisa ditemukan dalam Al-Fatawil Kubra al-Fiqhiyyah karya Imam Ibnu Hajar Al-Haitami. Di dalamnya disebutkan bahwa ada delapan hewan yang bisa menstruasi atau haid, yakni perempuan, kelelawar, dlabuk, kelinci, unta, cicak, kuda, dan anjing.
“Padahal itu karya ulama sekaliber Ibnu Hajar Al-Haitami, penganut madzhab Syafi’i yang ahli hadis, ahli fikih, ahli ilmu kalam, ahli tafsir, dan sejarawan, bukan santri Syekh Gugel (Google) semacam kita,” katanya, sedikit berseloroh, Selasa, 11 April 2023.
Meski begitu, sosok yang karib disapa Ning Uswah itu menduga ada sejumlah faktor yang menjadikan beberapa ulama masa itu menempatkan perempuan seolah-olah satu barisan dengan kelompok hewan. “Pertama, dalam redaksi aslinya ‘Tsamaniyah fi jinsiha al haidl‘ atau delapan kelompok (hewan) yang haid, namun, tidak secara gamblang menyebutkan bahwa delapan jenis binatang itu termasuk perempuan,” kata Ning Uswah.
“Hanya saja perinciannya disatukan dengan binatang, maka seolah-olah derajat perempuan sejajar dengan binatang urusan anatomi tubuh yang bisa mengeluarkan darah haid,” sambung dia.
Ning Uswah mengatakan, bagaimana mungkin seorang ulama menyejajarkan perempuan dengan binatang. Sebab, Al-Qur’an sendiri justru menegaskan bahwa manusia merupakan sebaik-baik ciptaan Tuhan. Allah Swt berfirman:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ
“Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Pengaruh sosio-kultural
Ning Uswah menyebut, paradigma yang mengesankan rendahnya posisi perempuan itu juga terbentuk karena pengaruh sosio-kultur masyarakat, sesuai tempat dan masanya.
“Pada masyarakat Arab dahulu, perempuan tidak dianggap manusia. Kalau pun dianggap manusia, maka dia adalah obyek dari laki-laki. Dan kalau pun bukan dianggap sebagai obyek laki-laki, maka dia adalah subyek, tetapi nomor dua setelah laki-laki (subordinat),” katanya.
Maka, menurutnya, tidaklah heran jika pada zaman dahulu perempuan sampai dianggap naqishat ad-din atau kurang agama. “Kalimat ‘Sufaha (orang yang belum sempurna akalnya)’ di dalam Al-Qur’an pun masih ada yang menafsirkannya sebagai perempuan,” katanya.
Menurut Ning Uswah, sistem sosial patriarki di masa itu lazim menganggap laki-laki sebagai makhluk mulia, sementara perempuan dianggap nista. “Laki-laki dianggap manusia seutuhnya karena dia tidak mengalami pengalaman biologis dengan mengeluarkan darah, dia tidak mendapatkan rukhsah (keringanan) berupa tidak salat dan tidak puasa. Laki-laki menjalani ibadah dengan penuh. Maka lazimlah kita menemui banyak sekali kitab-kitab klasik yang ditulis ulama yang masih menganggap perempuan sebagai obyek, perempuan adalah sumber fitnah,” katanya.
“Dalam kitab-kitab fikih yang membahas ketentuan salat saja, masih mengklasifikasikan level ke-good looking-an perempuan dalam menghukumi boleh tidaknya salat di masjid, perempuan yang cantik dihukumi makruh salat di masjid, dan naik level menjadi haram jika ditambah cantik dan suka berdandan,” lanjutnya.
Di luar itu, terang Ning Uswah, sebenarnya banyak sekali hadis-hadis bermuatan keadilan yang hakiki bagi perempuan. Akan tetapi, kurang populer dan jarang dimuat dalam literatur klasik.
“Contohnya, lebih banyak narasi yang mengatakan bahwa istri harus taat pada suami, tempat terbaik bagi perempuan atau istri adalah di rumah, istri dilarang keluar rumah tanpa izin suami meskipun dalam keadaan darurat. Bahkan hadis yang berstatus lemah pun turut melegitimasi tentang hukum terlarangnya seorang perempuan yang mengunjungi orang tuanya saat sakaratul maut jika tanpa izin suami,” ungkapnya.
Menambahkan keterangan alternatif
Padahal, kata Ning Uswah, ada satu hadis sahih yang justru tidak memperkenankan seorang suami membatasi gerak para istri. Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
إِذَا اسْتَأذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ إِلَى المَسَاجِدِ فَأْذَنُوْا لَهُنَّ
“Jika para istri kalian minta izin untuk pergi ke masjid, maka izinkanlah mereka.” (HR. Muslim).
“Selain itu, masih sedikit pemuka agama yang berceramah di mimbar dengan membawa misi keadilan bagi perempuan. Nafsu patriarkis mereka senantiasa menyampaikan kisah-kisah ini tanpa diimbangi dengan dalih kasih sayang yang berimbang pada posisi perempuan,” katanya.
“Misalnya, akal sehat mestinya sulit menerima bagaimana mungkin ayahnya sakit tapi enggan menemuinya hanya karena tidak dapat izin suaminya?” sambung Ning Uswah.
Agar mampu memahami narasi-narasi patriarkis, konservatif, dan misoginis tersebut dengan bijak, perlu dilakukan penambahan keterangan yang lebih rahmah (kasih sayang) dan ramah perempuan. Pemikiran ulama perempuan yang adil gender patut disampaikan.
“Pada masa Nabi, misalnya, ada kisah unik tentang kemanusiaan perempuan yang diperjuangkan Ummul Mukminin, Ummu Salamah. Saat itu dikumandangkan di masjid seruan untuk mendatangi masjid dengan kalimat ‘Yaa ayuuha an-nas (wahai sekalian manusia),’ Maka bergegaslah Ummu Salamah mendatangi masjid, ketika sampai di masjid ia ditanya oleh seorang sahabat “Wahai Ummu Salamah, mengapa kamu datang kemari? Panggilan ini untuk laki-laki?’ Ummu Salamah pun menjawab ‘Loh, tadi panggilannya kan untuk manusia, aku kan juga manusia?,” kisahnya.
Ummu Salamah merupakan istri Nabi Muhammad Saw yang senantiasa menyuarakan kemanusiaan perempuan. Sekali waktu, ia bertanya kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah, kenapa kami para perempuan ini tidak pernah disebutkan dalam Al-Qur’an?.”
“Maka suara Ummu Salamah ini terdengar sampai langit sehingga turun Qs. Ali Imran: 195 tentang perempuan yang berhijrah, QS. Al-Ahzab: 33 tentang penyebutan perempuan secara khusus di samping penyebutan laki-laki, dan QS. An-Nisa: 32 tentang perempuan yang juga berhak mendapatkan harta warisan yang awalnya perempuan dijadikan obyek waris,” kata Ning Uswah.
Dia juga menjelaskan, dalam kajian tafsir Al-Qur’an, dikenal istilah tadarruj atau proses untuk mencapai target final (ijmal) dalam suatu ideal moral dalil. “Pada proses tadarruj inilah kita bisa mengonter atau melawan apa yang ada di dalam kitab klasik tersebut tanpa menafikan isinya, apalagi menganggap kitab kuning tersebut sudah tidak relevan lagi,” ungkapnya.
“Kita sangat boleh, kok, untuk tidak menyepakati tafsiran-tafsiran yang terkesan konservatif, misoginis, atau patriarkis. Maka mencari alternatif lain dari interpretasi teks-teks Islam klasik yang selama ini dibaca dengan cara pandang maskulin merupakan bentuk representasi Islam yang rahmah,” kata Ning Uswah.