Ikhbar.com: Siapa kuat, dia berkuasa, boleh semena-mena, bertindak sesuka hatinya. Begitulah gambaran masyarakat Arab jauh sebelum risalah Islam datang dibawa Rasulullah Muhammad Saw.
Baca: Hukum Menutup Akses Jalan saat Hajatan
Jenis-jenis perkawinan Jahiliyah
Dalam Ar-Rahiq al-Makhtum, Syekh Safiurrahman Al-Mubarakfuri menggambarkan betapa semrawurnya tata laku sosial bangsa Jahiliyah. Kala itu, mereka terbagi ke dalam beberapa kelas dan kasta.
“Hubungan seseorang dengan keluarga di kalangan bangsawan sangat diunggulkan, diprioritaskan, dihormati, dan dijaga, sekali pun harus dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah,” tulis Al-Mubarakfuri.
Menurutnya, bangsa Arab kala itu juga memiliki tradisi khas, terutama terkait kebebasan hubungan antara laki-laki dan perempuan.
“Kami tidak bisa menggambarkannya secara detail, kecuali hanya melalui ungkapan-ungkapan yang keji, buruk, dan menjijikkan,” ungkap Syekh Al-Mubarakfuri.
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dari Sayyidah Aisyah, Al-Mubarakfuri membeberkan empat jenis perkawinan di masa Jahiliyah.
“Pertama, pernikahan secara spontan. Seorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali perempuan, lalu dia bisa menikahinya setelah menyerahkan mas kawin seketika itu pula,” sebut Al-Mubarakfuri.
Kedua, seorang laki-laki bisa berkata kepada istrinya yang baru suci dari haid, “Temuilah Si Fulan dan berkumpullah (bersetubuh) bersamanya!”
Baca: Daftar Menu Hidangan dalam Resepsi Pernikahan Rasulullah
Lalu, si suami itu tidak mengumpulinya (berhubungan seksual), bahkan, sama sekali tidak menyentuhnya, hingga ada kejelasan bahwa istrinya hamil dari orang yang disuruh mengumpulinya itu. Jika sudah jelas kehamilannya, maka suami bisa mengambil kembali istrinya.
“Yang demikian ini dilakukan karena dia menghendaki kelahiran seorang anak yang baik dan pintar (sesuai anggapan kecerdasan terhadap lelaki lain yang diperbolehkan menyetubuhi sang istri). Pernikahan semacam ini disebut nikah istibdha,” kata Syekh Al-Mubarakfuri.
Jenis pernikahan berikutnya alias yang ketiga adalah poliandri, yaitu perkawinan dengan jumlah hampir sepuluh orang untuk satu perempuan.
Setelah si wanita itu hamil dan melahirkan bayinya, selang beberapa hari kemudian dia mengundang suami-suaminya. Lantas, perempuan itu akan menunjuk satu orang di antaranya untuk dinyatakan sebagai sosok terpilih sebagai ayah dari si bayi.
“Dia menunjuk siapa pun yang dia sukai di antara mereka seraya menyebutkan namanya, lalu laki-laki itu bisa mengambil bayi tersebut,” kata ulama peraih gelar kehormatan dari konferensi Liga Muslim Dunia pada 1978 itu.
“Jenis pernikahan keempat, dari sekian banyak laki-laki boleh mendatangi wanita yang dikehendakinya yang juga disebut pelacur. Biasanya mereka memasang bendera khusus di depan pintunya sebagai tanda bagi laki-laki yang ingin mengumpulinya,” sambungnya.
Jika si perempuan tersebut telah hamil dan melahirkan, dia mengundang semua laki-laki yang pernah tidur bersamanya kemudian diselenggarakan sebuah undian untuk menentukan hak asuh anak tersebut.
“Dia (si laki-laki) tidak bisa menolak hal itu. Setelah Allah mengutus Muhammad, semua bentuk pernikahan ini dihapus dan diganti dengan pernikahan ala Islam,” kata Al-Mubarakfuri.
Baca: Diundang Hajatan tetapi tidak Datang? Ini Hukumnya menurut Fikih
Islam mengangkat derajat perempuan
Setelahnya, ajaran Islam merombak segala tradisi Jahiliyah yang sangat merendahkan perempuan. Islam lebih menekankan pernikahan dengan prinsip muasyarah bil ma’ruf atau menjalin hubungan dengan cara yang baik.
Salah satu prinsip tersebut diungkapkan dalam QS. An-Nisa: 19, Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa. Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Pergaulilah mereka dengan cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya.”
Rasulullah Muhammad Saw sendiri telah mencontohkan bahwa pernikahan merupakan sarana untuk mengatur hubungan seksual secara legal dengan mengedepankan kepentingan dan tujuan yang sama di antara pasangan, tidak mengandung unsur yang memarjinalisasikan salah satu dari keduanya, apalagi memperlakukan kekejaman.
Dalam QS. Al-Baqarah: 228 dengan lebih jelas disebutkan bahwa:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ
“Mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut.”