Ikhbar.com: Umat Islam dianjurkan untuk melaksanakan walimah usai melangsungkan akad nikah. Kesunahan itu muncul sebagai penanda rasa syukur kepada Allah Swt atas segala nikmat yang telah dianugerahkan.
Walimah merupakan amanat dari Nabi Muhammad Saw bagi mempelai maupun tuan hajat untuk menyediakan hidangan bagi para tamu undangan. Masyarakat Indonesia mempraktikkan kesunahan itu melalui pelaksanaan resepsi pernikahan melalui serangkaian acara sakral maupun hiburan.
Baca: Daftar Menu Hidangan dalam Resepsi Pernikahan Rasulullah
Namun, seiring berjalannya waktu dan kian padatnya penduduk di desa, apalagi perkotaan, pelaksanaan kegiatan yang lazim disebut hajatan itu terpaksa dilakukan dengan menutup akses jalan yang biasa dilalui banyak orang lantaran kekurangan lahan. Meskipun blokade itu dilakukan dengan melengkapi izin dari tetangga maupun aparatur pemerintah setempat, bagaimana hal itu jika ditimbang dari pemahaman hukun Islam? Adakah solusi yang lebih baik yang ditawarkan dari hukum fikih?
Tim Ahli Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat, Kiai Ghufroni Masyhuda menyebut hukum awal menutup jalan sehingga mengganggu pengguna di dalamnya dihukumi haram.
“Dalam banyak literatur fikih sejatinya telah ditegaskan bahwa jalanan umum tidak boleh digunakan untuk apapun yang bisa mengganggu orang lain,” kata Kiai Ghufron, sebagaimana dalam artikel konsultasi berjudul “Hukum Memblokir Jalan untuk Hajatan,” dikutip pada Senin, 15 April 2024.
Baca: Hukum Menggelar Hajatan di Bulan Syawal
Kiai Ghufron mengutip pandangan tersebut, di antaranya, dari I’anatut Thalibin:
(فرع) يحرم على كل احد غرس شجر فى شارع، مثله كل ما يضر المار فى مروره
“(Keterangan cabang) haram bagi setiap orang menanam pohon di tengah jalan dan melakukan sesuatu yang bisa mengganggu orang yang melintas.”
وانما حرم ذلك لانه قد تزدحم المارة
“Sebab diharamkannya perkara tersebut karena hal itu bisa mengganggu atau mempersempit ruang pengguna jalan.”
Meskipun begitu, lanjut Kiai Ghufron, masih terdapat sejumlah kelonggaran sehingga penggunaan badan jalan itu berpotensi dihukumi diperbolehkan.
“Penjelasan itu, seperti yang tertera dalam dan Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarhi al-Manhaj,” kata Kiai Ghufron.
(فصل) الطريق النافذ لا يتصرف فيه ببناء ولا بما يضر مارا الى ان قال (قوله ولا بما يضر مارا) نعم يغتفر ضرر يحتمل عادة كعجن طين إذا بقي مقدار المرور للناس وإلقاء الحجارة فيه للعمارة إذا تركت بقدر مدة نقلها وربط الدواب فيه بقدر حاجة النزول والركوب
“Jalan umum itu tidak boleh digunakan untuk membuat bangunan dan tidak boleh digunakan untuk hal-hal yang membahayakan atau mengganggu orang lewat. Namun, dimaafkan beberapa kemadlaratan (hal yang mengganggu) yang dianggap lumrah oleh masyarakat, seperti mengolah tanah liat jika masih menyisakan ruang yang bisa dilewati atau meletakkan batu pembangunan kadar sementara waktu proses pemindahan kelahan bangunan. Begitu juga dengan memarkir kendaraan di pinggir jalan untuk sekadar menaikkan dan menurunkan penumpang.”
“Dari penjelasan tersebut, bisa dipahami bahwa menggunakan jalan umum untuk resepsi pernikahan dihukumi boleh karena penggunaanya tidak bersifat permanen alias hanya sementara,” kata Kiai Ghufron.
Baca: Diundang Hajatan tetapi tidak Datang? Ini Hukumnya menurut Fikih
Namun, sosok yang juga Anggota Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cirebon tersebut tetap memberikan catatan dan syarat lebih detail kebolehan penggunaan tersebut sesuai kacamata fikih.
“Pertama, tidak menggunakan seluruh badan jalan. Sisakan area yang kira-kira cukup untuk dilalui pengguna jalan yang lain, baik pejalan kaki maupun pengguna kendaraan,” katanya.
Kedua, pelaksanaan resepsi pernikahan di jalanan umum harus sudah menjadi tradisi yang dimaklumi masyarakat setempat.
“Artinya, tidak memicu konflik dan kontroversi di tengah masyarakat,” jelas Kiai Ghufron.
Ketiga, harus tersedia jalan alternatif atau status jalan bukan al-darb (jalan buntu).
“Keempat, mendapatkan izin dari otoritas atau aparat setempat,” kata Kiai Ghufron.
Meskipun berpotensi diperbolehkan, tetapi Kiai Ghufron tetap menyarankan agar sebaiknya resepsi dilakukan di tempat yang tidak mengganggu aktivitas masyarakat.
“Dengan tujuan, jangan sampai kepentingan pribadi mampu mengalahkan atau mengganggu hak masyarakat umum,” tegasnya.