Ikhbar.com: Sepanjang sejarah Islam, banyak perempuan memainkan peran penting dalam berbagai bidang, termasuk kesehatan dan kedokteran. Meski catatan sejarah tidak selalu mendokumentasikan kiprah mereka secara luas, peran mereka tetap berkontribusi besar dalam perkembangan peradaban.
Beberapa dari mereka bahkan menjadi perintis di bidangnya dan mendapatkan pengakuan dari Nabi Muhammad Saw serta para sahabatnya.
Pakar sejarah kedokteran sekaligus Dewan Bradford serta Anggota pendiri Masyarakat Internasional untuk Sejarah Kedokteran Islam (ISHIM), Sharif Kaf Al-Ghazal dalam “Muslim Female Physicians and Healthcare Providers in Islamic History (2021)” menjelaskan bahwa kalangan perempuan telah lama terlibat dalam praktik medis sejak masa Nabi Muhammad Saw. Mereka tidak hanya bertugas sebagai perawat di medan perang, tetapi juga sebagai tabib, pendidik, dan pengelola layanan kesehatan.
Selain itu, banyak dari mereka mengembangkan keterampilan medis yang mencakup teknik bedah dasar, penggunaan tanaman obat, dan metode pengobatan yang kelak menjadi dasar perkembangan ilmu kedokteran Islam.
Berikut adalah 5 dokter perempuan yang telah menorehkan peran pentingnya di masa Nabi Muhammad Saw:
Baca: Rufaidah Al-Aslamiyah, Perempuan Pelopor Paramedis Perang
1. Rufaidah Al-Aslamiyyah
Rufaidah Al-Aslamiyyah dikenal sebagai perawat Muslim pertama dalam sejarah Islam. Ia adalah seorang perempuan dari Bani Aslam yang sejak muda telah belajar ilmu pengobatan dari ayahnya, Saad Al-Aslamy, yang juga seorang tabib.
Dalam berbagai pertempuran, termasuk Perang Badar dan Perang Khandaq, Rufaidah mendirikan tenda medis untuk merawat para prajurit yang terluka.
Tenda ini dapat dianggap sebagai bentuk awal rumah sakit lapangan dalam sejarah Islam.
Rufaidah juga berperan dalam pelatihan tenaga medis perempuan lainnya. Ia melatih sejumlah perempuan untuk menjadi perawat dan tenaga medis, termasuk dalam pertolongan pertama dan perawatan luka.
Salah satu peristiwa paling terkenal adalah saat ia mengobati luka Saad bin Mu’adz atas permintaan Nabi Muhammad Saw, sebagaimana diriwayatkan dalam Sahih Bukhari.
Selain keterampilan medisnya, Rufaidah juga dikenal sebagai seorang yang penuh empati. Ia tidak hanya menangani pasien dari kalangan prajurit, tetapi juga membantu masyarakat miskin, yatim piatu, dan penyandang disabilitas.
Dalam perkembangan dunia kedokteran Islam, namanya terus dikenang, bahkan beberapa institusi medis modern, seperti Royal College of Surgeons di Irlandia menjadikan Rufaidah sebagai nama penghargaan untuk mahasiswa kedokteran berprestasi.
Baca: Kerap Dianggap tak Ada, Ini Daftar Ilmuwan Perempuan Muslim Dunia
2. Al-Shifa binti Abdullah
Al-Shifa binti Abdullah Al-Qurashiyah merupakan salah satu perempuan terpelajar di masa awal Islam. Ia tidak hanya mahir dalam ilmu pengobatan tetapi juga dikenal sebagai guru pertama bagi perempuan Muslim.
Al-Shifa memiliki keahlian dalam pengobatan penyakit kulit dan dipercaya oleh Nabi Muhammad Saw untuk mengajarkan pengobatan kepada para perempuan Muslim.
Selain di bidang medis, Al-Shifa juga memiliki peran dalam administrasi publik. Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, ia ditunjuk sebagai pengawas pasar (hisbah), sebuah posisi penting yang mengawasi perdagangan dan regulasi kesehatan publik.
Al-Shifa dikenal memiliki metode khusus dalam pengobatan infeksi dan penyakit kulit yang banyak diterapkan di Madinah pada masa itu.
Baca: Daftar Politikus Perempuan dalam Sejarah Peradaban Islam
3. Nusaybah binti Harith Al-Ansari (Ummu ‘Atiyyah)
Nusaybah binti Harith, yang juga dikenal sebagai Ummu ‘Atiyyah Al-Ansariyyah, berperan besar dalam dunia medis Islam. Ia aktif dalam membantu prajurit yang terluka di medan perang, memberikan perawatan pertama, dan memastikan kebutuhan medis terpenuhi.
Nusaybah juga dikenal memiliki hubungan dekat dengan keluarga Nabi Muhammad Saw dan meriwayatkan lebih dari 40 hadits yang dikutip dalam Sahih Bukhari dan Muslim.
Selain keterlibatannya dalam perawatan medis, Ummu ‘Atiyyah juga memiliki keahlian dalam ritual pemulasaraan jenazah. Ia adalah orang yang bertanggung jawab dalam memandikan dan menyiapkan jenazah putri Nabi, Zainab, sebelum dimakamkan.
Baca: Alkimia, bukan Kimia, Cara Barat Singkirkan Peran Ilmuwan Islam
4. Nusaybah binti Ka’ab Al-Maziniyah (Ummu ‘Umara)
Nusaybah binti Ka’ab atau lebih dikenal sebagai Ummu ‘Umara adalah seorang perempuan yang mahir dalam ilmu medis sekaligus merupakan pejuang yang gagah berani. Ia berpartisipasi dalam Baiat Aqabah yang mempertemukan Nabi Muhammad Saw dengan 70 laki-laki dan 2 perempuan dari Yatsrib (Madinah) sebelum peristiwa hijrah.
Dalam Perang Uhud, Ummu ‘Umara dengan sigap membantu merawat prajurit yang terluka, sekaligus melindungi Nabi Saw dengan senjatanya. Dikatakan bahwa ia mengalami luka berat dalam pertempuran tersebut, tetapi tetap bertahan demi membela Islam.
Nusaybah juga tercatat ikut dalam pertempuran melawan Nabi palsu, Musailamah Al-Kadzdzab, dan mengalami cedera parah hingga kehilangan salah satu tangannya.
Baca: Mengenal Ziryab, Seniman Muslim Pengubah Selera Musik hingga Busana di Eropa
5. Ummu Sinan Al-Islamiyyah
Ummu Sinan Al-Islamiyyah adalah salah satu perempuan yang meminta izin langsung kepada Nabi Muhammad Saw untuk ikut serta dalam Perang Khaibar. Ia ingin membantu pasukan Muslim dengan memberikan pertolongan medis dan menyuplai air bagi para prajurit di garis depan. Nabi mengizinkannya, sehingga ia menjadi bagian dari tim medis di perang tersebut.
Keterlibatan Ummu Sinan dalam dunia medis menunjukkan bagaimana peran perempuan dalam sektor kesehatan sangat dihargai di masa awal Islam. Ia adalah bagian dari kelompok perempuan yang mendedikasikan diri untuk kemanusiaan dan kesehatan masyarakat.
Baca: Al-Zahrawi, Dokter Muslim Penemu Kosmetik dan Skincare
Dari Rumah Sakit hingga Kunjungan ke Pasien
Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa perempuan telah berpraktik di bidang medis sejak awal perkembangan Islam dan bahkan terus berlanjut setelahnya. Salah satu contoh paling awal adalah tenda medis Rufaidah Al-Aslamiyyah, yang dianggap sebagai rumah sakit lapangan pertama dalam sejarah Islam. Nantinya, konsep ini berkembang menjadi sistem rumah sakit yang lebih maju.
Di Andalusia, seorang dokter dan ahli bedah terkenal, Al-Zahrawi mengandalkan tenaga kesehatan perempuan untuk membantunya dalam bidang obstetri dan kesehatan. Saat ini, profesi mereka dikenal sebagai bidan. Pada periode selanjutnya, terdapat catatan bahwa putri dari Shehabuldin Al-Saigh bekerja di Rumah Sakit Al-Mansouri di Mesir, yang merupakan rumah sakit terbesar pada masanya. Ia bahkan menduduki posisi tinggi di institusi tersebut.
Selain bekerja di rumah sakit, dokter perempuan juga melakukan kunjungan ke rumah pasien. Dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, sejarawan Imam At-Thabari mencatat sebuah peristiwa di mana seorang dokter laki-laki bernama Abu al-Hasan didatangi seorang pasien perempuan yang mengalami infeksi luka di bahunya. Namun, ia berkata kepadanya:
“Saya adalah seorang kahal (dokter spesialis mata), tetapi ada dokter perempuan yang akan merawat Anda.”
Pasien tersebut akhirnya menemui dokter perempuan yang dimaksud dan menerima perawatan darinya. At-Thabari memandang Bimaristan (rumah sakit Islam) sebagai layanan kesehatan publik yang terbuka bagi semua lapisan masyarakat.
Selain dokter perempuan, bidan juga memainkan peran penting dalam sistem medis Islam. Mereka secara rutin melakukan kunjungan ke rumah-rumah pasien untuk membantu persalinan dan merawat bayi yang baru lahir.
Ibn Al-Hajj dalam Al-Madkhal menggambarkan kehidupan perempuan Muslim di Kairo pada abad ke-13 dan ke-14, termasuk bagaimana keluarga-keluarga mengatur kedatangan bidan untuk membantu proses persalinan serta merawat ibu dan bayi setelah melahirkan.
Peran tenaga kesehatan perempuan dalam Islam, baik di rumah sakit maupun melalui layanan kesehatan rumah, menunjukkan bahwa perempuan memiliki kontribusi besar dalam bidang medis dan kesehatan masyarakat sejak masa awal peradaban Islam.