Ikhbar.com: Sebuah nama yang ditempelkan pada seseorang maupun benda tidaklah bebas nilai. Di dalamnya tersimpan sebabak harapan, doa, bahkan tujuan yang sesekali bersifat politis.
Sebagai sebuah istilah, penamaan pada sesuatu menjadi titik penentu bagaimana seseorang bisa memenangkan target yang dituju. Salah satunya, penggunaan kata “alkimia” dan “kimia” yang cenderung dimaknai berbeda dalam istilah sains.
Dalam dunia ilmu pengetahuan, nama “alkimia” lebih masyhur dan dianggap sah digunakan ketimbang lafal “kimia,” tanpa tambahan “al.”
Baca: Dari Al-Farghani hingga Al-Biruni, Para Ilmuwan Muslim Peletak Dasar Astronomi Dunia
Bermula dari kata sandang
Professor emeritus teknik mesin dan sains dari University of Manchester, Salim TS. Al-Hassani menyebut ada dua penyebab hal tersebut bisa terjadi. Pertama, bias linguistik. Kedua, bermula dari gerakan anti-Islam di antara ilmuwan Eropa atau Barat.
“Alkimia hanyalah turunan dari sebuah kata yang berasal dari Bahasa Arab, yaitu kimmiya (berarti kuantitas). Dari sinilah nama ‘alkimia’ digunakan untuk menyebut ilmu kimia, dengan didahului kata sandang ‘al,’ setara ‘the,” kata Al-Hassani, dikutip dari Muslim Heritage, pada Senin, 28 Agustus 2023.
Padahal, lanjut Al-Hassani, kata sandang “al” tidak berlaku pada penyebutan ilmu-ilmu lain. Contohnya, Al-Tib (ilmu pengobatan), dengan alasan nama itu bukanlah istilah yang berhubungan dengan ilmu kedokteran yang digunakan hari ini. Atau, Al-Riyadhiyat, istilah yang digunakan dalam menyebut ilmu matematika.
“Entah bagaimana. Seharusnya kata ‘al-kimia‘ diterjemahkan secara harfiah sebagai kimia, bukan tetap alkimia. Misalnya, dalam Bahasa Prancis menjadi ‘la chimie” dan bukan ‘l’alchimie.’ Dan anehnya, penerjemahan ala Barat ini diikuti oleh para sarjana Muslim yang tampaknya tidak percaya diri,” katanya.

Alchemicum Arabicum jilid pertama ,
Kitab Penjelasan Simbol (Kitab Hall Ar-Rumuz) karya Muhammad Ibnu Umail (Living Human Heritage Publications, Daimon Verlag, 2002). Dok MUSLIM HERITAGE
Pendiri Foundation for Science, Technology, and Civilization (FSTC) di Inggris Raya itu melanjutkan, alasan kedua lebih banyak dipakai istilah alkimia ketimbang kimia adalah karena adanya nuansa anti-Muslim. Menurut Al-Hassani, tujuan para ilmuwan Barat mengadopsi hal tersebut adalah demi membedakan produk-produk yang mereka hasilkan dan yang lahir di dunia Islam.
“Tujuan mereka adalah untuk menghindari kimia yang umum dan bersifat eksperimental sebagai ilmu Islam,” lanjutnya.
“Konsekuensinya, pengistilahan alkimia sengaja dilakukan orang-orang Barat guna mengaitkan metode keilmuan kimia para peneliti Islam yang mereka tuding berbasis pada hoaks maupun okultisme, yakni kepercayaan kepada hal-hal gaib,” sambung Al-Hassani.
Baca: Kerap Dianggap tak Ada, Ini Daftar Ilmuwan Perempuan Muslim Dunia
Kimia Yunani vs Islam
Padahal, lanjut Al-Hassani, kimia sebagai ilmu pengetahuan yang berbasis pada eksperimen untuk mengubah satu zat menjadi materi lain di laboratorium merupakan metode yang justru dilakukan dan dikenalkan ilmuwan Muslim.
“Sementara orang-orang Yunani memperjuangkan spekulasi dan analisis metafisika tentang proses kimia, orang-orang Muslim mengandalkan eksperimen. Pendekatan seperti ini telah diperjuangkan sejak awal, khususnya oleh Al-Razi, yang kini dijuluki sebagai bapak kimia modern,” ungkapnya.

Menurut Al-Hassani, peran ilmuwan Muslim itu paling sederhana bisa dibaca dalam The Civilization of Islam (1980). Lewat buku itu, Jean Mathe merangkum dengan baik pencapaian para ahli kimia Muslim. Merekalah yang menemukan zat alkohol, asam nitrat, sulfat, perak nitrat, dan kalium.
“Mereka juga menentukan berat benda dan menguasai teknik sublimasi, kristalisasi, dan distilasi. Kimia Muslim juga banyak digunakan dalam industri, termasuk tincture (konsentrat ekstrak herbal yang dibuat menggunakan alkohol dan potongan tanaman) dan aplikasinya dalam penyamakan kulit dan tekstil, penyulingan tanaman dan bunga, pembuatan parfum dan farmasi,” ungkapnya.
Bahkan, karya-karya ahli kimia Islam, Jabir bin Hayyan, menjadi rujukan andalan para kimiawan Eropa.
“Meskipun para ilmuwan seperti Al-Kindi, terutama dalam kritiknya terhadap `kimia’ Yunani, dan Ibnu Sina, dalam Kitab al-Shifa (kitab penyembuhan) juga menaruh perhatian pada subjek ini, serta meskipun ada puluhan ilmuwan Muslim lainnya yang terlibat dalam sains, tetapi setidaknya ada tiga ahli kimia Muslim yang benar-benar dikenal dalam perkembangan ilmu kimia, yaitu Jabir, Al-Razi, dan Al-Majriti,” kata Al-Hassani.
Dari tiga nama itu, berikutnya akan mengerucut pada Al-Razi. Menurut Al-Hassani, Al-Razi merupakan seorang rasionalis murni, bukan ilmuwan yang tidak masuk akal. Dia hanya percaya pada hasil eksperimen dan bukti nyata dan tidak sekalipun memunculkan kesimpulan yamg bersifat spekulatif.
“Al-Razi menghilangkan aspek-aspek simbolis dan gaib yang mengganggu apa yang disebut alkimia itu. Justru dialah yang membangun fondasi yang begitu kokoh bagi kimia modern,” tegas Al-Hassani.