Ikhbar.com: Mahasiswi Universitas Perempuan Dongduk di Seoul, Korea Selatan (Korsel) menggelar aksi protes besar-besaran sejak 11 November 2024 lalu. Poster dan coretan dengan slogan-slogan tajam memenuhi dinding serta jalan kampus. Salah satu seruan tersebut berbunyi, “Kami lebih baik mati daripada membuka pintu bagi laki-laki.”
Aksi ini dipicu rencana universitas untuk mengizinkan mahasiswa laki-laki masuk ke beberapa jurusan tertentu. Protes tersebut kini berkembang menjadi perdebatan lebih luas mengenai keberadaan ruang khusus perempuan di Korsel, negara yang memang masih menghadapi kesenjangan gender yang cukup signifikan.
Sejak dimulai, aksi ini telah melibatkan pendudukan gedung utama kampus, blokade ruang kelas, hingga memaksa kegiatan belajar-mengajar dilakukan secara daring. Bahkan, pameran kerja yang direncanakan batal digelar.
“Kami tidak punya pilihan selain menyuarakan keberatan karena keputusan sepihak universitas dibuat tanpa melibatkan mahasiswi yang belajar dan tinggal di sini,” ungkap salah satu pendemo yang enggan disebutkan namanya, sebagaimana dikutip dari Harian Kyunghyang Shinmun, Rabu, 27 November 2024.
Baca: Pernikahan di Korsel semakin Jarang
Universitas tersebut berdiri sejak awal abad ke-20 sebagai salah satu jalur pendidikan tinggi bagi perempuan dalam masyarakat yang sangat patriarkal. Hingga saat ini, lembaga ini dipandang penting untuk mengembangkan potensi perempuan di negara yang masih sangat didominasi laki-laki.
Menurut laporan World Economic Forum, Korsel menempati peringkat ke-94 dari 146 negara dalam kesetaraan gender. Perempuan hanya memegang 20% kursi parlemen dan mengisi 7,3% posisi eksekutif di 500 perusahaan terbesar di negara tersebut.
Profesor antropologi budaya di Universitas Yonsei, Yoonkyeong Nah menyebut aksi protes ini mencerminkan kekhawatiran perempuan muda di Korea terhadap keselamatan mereka di ruang publik.
“Maraknya kejahatan seperti pengambilan gambar ilegal, penguntitan, hingga kejahatan seksual digital, termasuk pornografi deepfake, membuat banyak perempuan merasa tidak aman,” katanya.
Baca: Kekalahan Kamala Harris Bukti Kesetaraan Gender di AS hanya ‘Omon-omon’?
Universitas perempuan, meskipun tujuan utamanya bukan menciptakan ruang aman, dianggap menawarkan lingkungan belajar yang lebih nyaman dan bebas ancaman.
Soal awal konflik, ketegangan ini bermula ketika mahasiswa mengetahui bahwa pihak universitas sedang membahas rencana mengubah jurusan seni pertunjukan dan desain menjadi pendidikan campuran. Pihak administrasi menyatakan bahwa keputusan ini masih sebatas wacana dengan alasan kebutuhan praktis, seperti keberadaan aktor laki-laki dalam seni pertunjukan, serta untuk menjaga daya saing jangka panjang.
Pada pekan lalu, perkuliahan kembali berjalan setelah universitas menyetujui penangguhan sementara rencana tersebut. Namun, negosiasi kampus dengan perwakilan mahasiswi pada Senin, 26 November 2024 kemarin tidak mencapai kesepakatan. Mahasiswi menolak mengakhiri protes terkecuali jika universitas mencabut sepenuhnya rencana tersebut.
Sementara itu, Presiden Universitas Dongduk, Kim Myung-ae menyebut aksi protes itu sebagai tindakan ilegal yang melanggar hak pendidikan. Ia juga memperingatkan akan mengambil langkah tegas.
Konflik tersebut pada akhirnya berubah menjadi isu politik yang memecah belah. Pemimpin partai konservatif yang berkuasa, Han Dong-hoon menegaskan bahwa mereka yang memicu kerusuhan harus bertanggung jawab atas kerusakan properti. Sementara itu, seorang politisi konservatif lainnya, Lee Jun-seok mengecam protes tersebut sebagai tindakan tidak beradab.
Tidak hanya itu, kepala sebuah badan sumber daya manusia milik negara bahkan menyarankan untuk memboikot lulusan universitas tersebut dalam proses perekrutan. Ia secara terang-terangan menyatakan, “Saya tidak akan pernah menerima menantu dari universitas itu.”
Di sisi lain, politisi oposisi menuduh pihak konservatif menggunakan protes ini untuk mengalihkan perhatian dari masalah politik mereka sendiri, termasuk tuduhan intervensi dalam pencalonan pemilu. Mantan anggota parlemen, Jang Hye-young menilai langkah tersebut sebagai bentuk serangan terhadap perempuan yang hanya memperburuk situasi perempuan Korsel.
Aksi protes ini juga memicu reaksi keras dari kelompok anti-feminis. Kelompok New Men’s Solidarity, yang dikenal memperjuangkan hak laki-laki mengancam akan mempublikasikan data pribadi para pengunjuk rasa. Ancaman ini menimbulkan kekhawatiran serius terkait keselamatan mahasiswi.
Seorang YouTuber perempuan dengan lebih dari 60.000 pengikut, yang mendukung protes tersebut, terpaksa menutup akunnya setelah menjadi korban pelecehan seksual dan pemalsuan identitas.
Baca: Hapus Batasan Umur, Kontestan Miss Universe Korea Berusia 81 Tahun Ini Curi Perhatian
Meski begitu, Presiden Dewan Mahasiswi Universitas Dongduk, Choi Hyun-ah menegaskan bahwa mahasiswa tidak ingin digunakan sebagai alat politik.
“Mereka yang menggambarkan ini sebagai konflik gender hanya memanfaatkan kami untuk mendukung pandangan mereka sendiri,” ujarnya.
“Keberadaan universitas perempuan adalah tentang memperjuangkan hak pendidikan perempuan. Jika berubah menjadi pendidikan campuran, tidak ada lagi alasan keberadaan kami,” pungkasnya.