Ikhbar.com: Peristiwa Isra Mikraj yang serbacepat tidak dilalui Nabi Muhammad Saw tanpa persiapan. Oleh malaikat Jibril AS, Rasulullah terlebih dahulu dibawa ke suatu tempat untuk dibedah dadanya persis ketika masih berusia kanak-kanak. Hanya saja, kali ini, Jibril dan sejumlah malaikat lainnya memasukkan pendar-pendar cahaya keimanan, kebijaksanaan, dan keimanan secara lebih dalam.
Setelah itu, Nabi Muhammad Saw diantar Jibril menuju tunggangan khusus bernama Buraq. Pada mulanya, Buraq terlihat begitu liar, namun, Jibril segera menenangkannya hingga menjadi kendaraan terjinak. Dan perjalanan suci itu pun dimulai.
Bentuk dan kecepatan laju Buraq
Menurut banyak riwayat, Rasulullah memulai isra alias perjalanan malam dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjid Al-Aqsha di Palestina dengan menaiki Buraq.
أُتِيتُ بِالْبُرَاقِ، وَهُوَ دَابَّةٌ أَبْيَضُ طَوِيلٌ فَوْقَ الْحِمَارِ، وَدُونَ الْبَغْلِ، يَضَعُ حَافِرَهُ عِنْدَ مُنْتَهَى طَرْفِهِ ، قَالَ: فَرَكِبْتُهُ حَتَّى أَتَيْتُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ ، قَالَ: فَرَبَطْتُهُ بِالْحَلْقَةِ الَّتِي يَرْبِطُ بِهِ الْأَنْبِيَاءُ
“Didatangkan kepadaku Buraq, seekor tunggangan putih, lebih tinggi dari keledai dan lebih rendah dari baghal. Ia berupaya meletakkan telapak kakinya di ujung pandangannya. Setelah menungganginya, maka Buraq itu berjalan membawaku hingga sampai ke Baitul Maqdis. Aku ikat (tambat) tunggangan itu di tempat biasanya para Nabi menambatkan tunggangannya (Buraq).” (HR. Muslim)
Penyebutan Buraq diambil dari lafal barq, yang berarti kilat. Buraq ialah kendaraan yang didatangkan dari surga sebagai alat transportasi supercepat. Kecepatan Buraq disebut melampaui kecepatan cahaya yang sebesar 186 ribu mil atau 300 kilometer/detik.
Dalam riwayat lain disebutkan:
عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِالْبُرَاقِ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ مُسَرَّجًا مُلَجَّمًا لِيَرْكَبَهُ فَاسْتَصْعَبَ عَلَيْهِ وَقَالَ لَهُ جِبْرِيلُ مَا يَحْمِلُكَ عَلَى هَذَا فَوَاللَّهِ مَا رَكِبَكَ أَحَدٌ قَطُّ أَكْرَمُ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْهُ قَالَ فَارْفَضَّ عَرَقًا
“Dari Qatadah, dari Anas, sesungguhnya Nabi Muhammad didatangkan Buraq yang sudah dipersiapkan pelananya untuk ditunggangi, namun, Buraq sulit dikendalikan (liar). Kemudian Jibril dengan sigap mengendalikannya seraya berkata kepada Buraq, ‘Apa yang menyebabkan engkau bersikap demikian (liar)? Demi Allah, tidak ada orang paling mulia yang akan menunggangi engkau kecuali beliau (Nabi Muhammad). Setelah itu Buraq mengucurkan keringatnya (karena malu).” (HR. Ahmad)
Rasulullah Saw juga bersabda:
أُتِيتُ بِالْبُرَاقِ فَرَكِبْتُ خَلْفَ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ ، فَسَارَ بِنَا إِذَا ارْتَفَعَ ارْتَفَعَتْ رِجْلَاهُ ، وَإِذَا هَبَطَ ارْتَفَعَتْ يَدَاهُ
“Aku telah disediakan Buraq, aku pun duduk di belakang Jibril dan berangkatlah bersama. Setiap kali naik maka kedua kakinya yang belakang sejajar dengan kedua kaki depannya, dan setiap kali turun kedua kaki depannya sejajar dengan kedua kaki belakangnya.” (HR. Al-Hakim)
Mengulang fungsi Buraq
Buraq berperan penting dalam peristiwa agung yang dijalani Nabi Muhammad Saw. Meski tak sampai mengantar hingga ke puncak pertemuan dengan Allah Swt, namun, Buraq menjadi media penting dalam riwayat penerimaan perintah kewajiban salat bagi umat Islam.
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali atau Imam Al-Ghazali dalam Asrar Ash-Shalah wa Muhimmatuh menjelaskan, fungsi Buraq sebagai pengantar Rasulullah Saw dalam menerima perintah salat bisa dijadikan semangat dalam memeraih kekusyukan.
Menurut Al-Ghazali, ada enam cara untuk merancang Buraq demi menggapai kekhusyukan salat. Pertama, Hudhurul-qalb atau kehadiran hati. Proses ini dilakukan dengan cara mengosongkan hati dari segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan apa yang sedang dikerjakan. Sebaliknya, kehadiran hati bisa ditempuh dengan cara himmah (fokus) dengan terus membangun kesadaran bahwa akhirat lebih utama dan abadi ketimbang hal ihwal urusan duniawi.
Kedua, Tafahhum. Yakni upaya pemahaman hati secara mendalam tentang makna yang terkandung dalam setiap ucapan dan gerakan salat. Caranya dengan menghadirkan hati serta memusatkan pikiran dalam salat sekaligus menolak segala jenis angan-angan atau bayangan yang kerap mengganggu dan melintasi kepala.
Ketiga, Ta’zhim. Yaitu pengagungan dan penghormatan yang ditimbulkan oleh dua jenis makrifat (pengetahuan khusus), yakni makrifat tentang keagungan dan kebesaran Allah Swt dan makrifat terhadap kehinaan dan kerendah-dirian (nafsu) bahwa ia adalah budak yang dikendalikan oleh kekuatan di luar dirinya sendiri.
Keempat, Haibah. Haibah ialah rasa takut seseorang yang bersumber dari perasaan ta’zhim. Haibah kepada Allah Swt bisa muncul karena adanya makrifat tentang besarnya kemampuan (kodrat), keperkasaan, kekuatan, dan kehendak Allah Swt.
Kelima, Raja’ atau pengharapan yang penyebabnya adalah makrifat terhadap luthf (kelembutan), kasih sayang, dan kedermawanan Allah Swt.
Terakhir, Haya’ atau rasa malu yang bersumber pada perasaan hati saat mengingat berbagai kelalaian dan dosa yang telah dilakukan.