Assalamualaikum. Wr. Wb.
Ning Uswah dan redaksi Ikhbar.com, perkenalkan, saya Fatma dari Bogor, Jawa Barat.
Setiap Ramadan, saya selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi keluarga, terutama dalam menyiapkan hidangan berbuka puasa dan sahur. Namun, sering terdengar anggapan bahwa ibu rumah tangga menjadi lebih boros selama bulan puasa. Mereka dianggap terlalu banyak berbelanja, mengikuti tren, atau menyiapkan menu yang berlebihan. Padahal, keputusan mengenai belanja dan pengeluaran bukan hanya menjadi tanggung jawab ibu rumah tangga, melainkan bagian dari kesepakatan dalam keluarga.
Bagaimana Islam memandang hal ini? Apakah adil jika hanya perempuan yang disalahkan atas gaya hidup konsumtif selama Ramadan? Bagaimana sebaiknya menyikapi anggapan semacam ini agar tetap bijak dalam mengelola keuangan keluarga?
Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Baca: Terasa Berat Menanggung Pekerjaan Rumah Tangga saat Ramadan? Ini Tips Ning Uswah untuk Perempuan
Jawaban:
Waalaikumsalam. Wr. Wb.
Kak Fatma di Bogor, Jawa Barat. Terima kasih atas pertanyaannya.
Tanpa disadari, baik laki-laki maupun perempuan, terkadang memang terjebak dalam perilaku konsumtif, terutama selama bulan Ramadan. Misalnya, saat ngabuburit, banyak orang mengumpulkan beragam makanan dan minuman, tetapi yang dikonsumsi saat berbuka hanya sebagian kecil. Selain itu, dorongan membeli barang sering kali muncul bukan karena kebutuhan nyata, melainkan karena godaan tampilan menarik atau diskon yang menggoda.
Banyak yang beranggapan bahwa sajian berbuka dan sahur haruslah istimewa, seolah-olah sebagai bentuk “balas dendam” setelah seharian menahan lapar dan dahaga. Padahal, waktu berbuka sangat terbatas, dan menghabiskan sumber daya secara berlebihan hanya akan menghasilkan kepuasan sesaat yang tidak sebanding dengan usaha yang dikeluarkan.
Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam Ar-Rahmah fi Thib wa Al-Hikmah memberikan nasihat yang sangat bijak: “Makanlah saat lapar dan berhentilah sebelum kenyang.” Nasihat ini mengingatkan bahwa makan secukupnya adalah kebutuhan dasar untuk menjaga kesehatan, bukan sebagai ajang memenuhi gaya hidup berlebihan.
Setidaknya, terdapat tiga prinsip utama dalam Islam yang dapat diterapkan untuk menghindari perilaku konsumtif di bulan Ramadan:
Baca: Ikhbar TV Hadirkan Sinikbar Spesial Ramadan, Podcast Dakwah Kekinian untuk Gen Z
Pertama, niat yang benar dalam konsumsi. Segala bentuk konsumsi hendaknya berlandaskan niat yang baik, yaitu untuk memenuhi kebutuhan tubuh dan menjaga kesehatan, bukan sekadar mengejar kepuasan pribadi. Dengan niat yang benar, setiap tindakan menjadi bagian dari ibadah kepada Allah dan bukan sekadar memenuhi keinginan duniawi semata.
Kedua, menghindari sikap berlebihan. Islam mengajarkan untuk tidak berlebihan dalam mengonsumsi sesuatu karena pemborosan adalah perbuatan yang tidak disukai Allah Swt.
Allah Swt berfirman:
كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“…makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)
Ayat ini mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan dalam segala hal, termasuk dalam urusan konsumsi. Berlebihan bukan hanya membawa dampak buruk bagi tubuh dan jiwa, tetapi juga bagi lingkungan sekitar.
Ketiga, berbagi dengan yang membutuhkan. Mesti selalu dipahami bahwa dalam sebagian dari rezeki yang diterima memiliki hak bagi mereka yang membutuhkan. Hal itu sebagaimana firman Allah Swt:
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan pada harta benda mereka ada hak yang diketahui untuk orang miskin yang meminta-minta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adh-Dhariyat: 19)
Ayat ini menegaskan bahwa keberkahan harta terletak pada kemampuan berbagi dengan sesama. Dengan berbagi, tidak hanya meringankan beban orang lain, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial dan mendatangkan keberkahan dalam kehidupan.
Baca: Aneka Redaksi Doa Berbuka Puasa
Namun, permasalahan dalam kehidupan sosial tidak sesederhana itu. Sebagai seorang ibu, tentu ada keinginan untuk menyajikan yang terbaik bagi keluarga.
Terlebih di bulan Ramadan, perempuan sering kali menjadi garda terdepan dalam mengurus kebutuhan dapur.
Naluri keibuan yang penuh kasih sayang mendorong mereka untuk terus berikhtiar, memastikan keluarga bersemangat saat sahur dan menikmati hidangan berbuka.
Meski demikian, tanggung jawab mengelola keuangan keluarga sebaiknya diemban bersama antara suami dan istri. Islam menekankan pentingnya saling pengertian dan komunikasi dalam rumah tangga. Keputusan terkait pengeluaran, termasuk di bulan Ramadan, idealnya didasarkan pada musyawarah dan kesepakatan bersama. Jika muncul tuduhan atau kritik terhadap gaya hidup istri, maka suami sebagai qawwamun (pemimpin) memiliki tanggung jawab untuk membela, melindungi, dan menjaga kehormatan istrinya.
Allah Swt berfirman:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْۗ
“Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya.” (QS. An-Nisa’: 34)
Hubungan suami-istri diibaratkan seperti dua kaki yang berjalan beriringan—tidak saling mendahului, tetapi menyesuaikan ritme gerak. Keduanya harus membangun komunikasi yang baik dan saling mendukung. Suami istri juga dianalogikan sebagai pakaian bagi satu sama lain—saling melindungi, melengkapi, dan menutupi kekurangan. Hal itu, sebagaimana firman Allah Swt:
هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّۗ
“Mereka (istri) adalah pakaian bagimu (suami) dan kamu (suami) adalah pakaian bagi mereka (istri).” (QS. Al-Baqarah: 187)
Baca: Puasa Ramadan Jadi Berat tanpa Mental yang Kuat, Ini Tipsnya!
Jika ada yang mengkritik gaya hidup selama Ramadan, penting untuk menyampaikan bahwa pengeluaran tersebut merupakan hasil kesepakatan bersama dalam rangka menghormati dan memuliakan bulan suci. Rezeki yang digunakan untuk membahagiakan keluarga di bulan Ramadan, jika disertai niat baik, insyaallah akan membawa berkah. Apalagi jika pengeluaran tersebut bertujuan meningkatkan semangat ibadah dalam keluarga.
Namun, apabila dalam proses tabayyun (klarifikasi) atas tuduhan pengeluaran berlebihan tidak mendapat dukungan dari suami atau keluarga, bersabarlah dan biarkan hal tersebut berlalu. Kesabaran akan membentuk kepribadian yang kuat dan menjadikan fokus tetap tertuju pada kesalehan spiritual. Sebagaimana ketika Nabi Muhammad Saw dimusuhi oleh kaumnya sendiri, Allah Swt menurunkan firman-Nya dalam surah An-Nahl ayat 126 sebagai bentuk penghiburan:
وَلَىِٕنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِّلصّٰبِرِيْنَ
“Sungguh, jika kamu bersabar, hal itu benar-benar lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (QS. An-Nahl: 126)
Memang, terkadang orang lain menginginkan standarnya menjadi acuan bagi orang lain. Padahal, Allah Swt menganugerahkan setiap individu otoritas untuk memutuskan segala sesuatu sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Dalam Islam, yang lebih utama adalah niat dan tujuan di balik setiap amalan. Jika seorang ibu menyiapkan makanan dengan niat memberi makan keluarga agar mereka dapat melaksanakan ibadah dengan baik, maka hal tersebut adalah keputusan yang terpuji.
Puasa Ramadan, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw, tidak hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga mengendalikan hawa nafsu dan menjauhi keinginan berlebihan yang seringkali mendorong perilaku konsumtif.
Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
مَن صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan dengan penuh iman dan mengharapkan pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini mengajarkan bahwa puasa tidak hanya berkaitan dengan menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga dengan niat yang tulus dan pengharapan akan pahala. Ramadan adalah waktu yang tepat untuk memperbaiki hubungan dengan Allah, menjaga kesucian jiwa, serta menghindari pemborosan dan perilaku yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Dalam konteks konsumsi, puasa mengingatkan setiap individu untuk lebih bijaksana dalam memilih apa yang dikonsumsi, baik dalam hal makanan, minuman, maupun barang lainnya. Jangan sampai puasa hanya menjadi rutinitas fisik, tetapi harus menjadi pelatihan spiritual yang membawa pada kedamaian batin dan keseimbangan hidup.
Baca: 5 Dokter Perempuan Berpengaruh di Masa Nabi
Manusia sering kali terjebak dalam godaan duniawi yang membangkitkan hawa nafsu. Namun, dengan menjalani puasa Ramadan secara sadar dan penuh keikhlasan, diri dilatih menjadi pribadi yang lebih sabar, bijaksana, dan bertanggung jawab dalam setiap tindakan, termasuk dalam pola konsumsi dan mengatasi stigma konsumtif. Kesempatan ini dapat dimanfaatkan untuk merefleksikan diri, memperbaiki niat, dan menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan serta rasa syukur kepada Allah Swt.
Semoga Ramadan kali ini menjadi waktu yang penuh berkah, dengan kemampuan mengontrol diri dan menjalani pola konsumsi yang sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Wallahu a’lam bis-shawab.
Wassalamualaikum. Wr. Wb
Penjawab: Nyai Uswatun Hasanah Syauqi, Praktisi Fikih Nisa, Sekretaris Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), serta Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur.
Bagi pembaca Ikhbar.com yang memiliki pertanyaan seputar fikih ibadah maupun muamalah, hukum waris Islam, keuangan dan ekonomi syariah, tata kelola zakat, dan sejenisnya, bisa dilayangkan melalui email redaksi@ikhbar.com dengan judul “Konsultasi.”
Setiap as’ilah atau pertanyaan yang masuk, akan dibedah melalui tim maupun tokoh-tokoh yang cakap di bidangnya dengan sumber-sumber rujukan valid dalam literatur keislaman.