Terasa Berat Menanggung Pekerjaan Rumah Tangga saat Ramadan? Ini Tips Ning Uswah untuk Perempuan

Ilustrasi kaum ibu menyiapkan sahur untuk keluarga. Dok SHUTTERSTOCK

Assalamualaikum. Wr. Wb.

Ning Uswah, perkenalkan saya Siti Kurniasih dari Cirebon, Jawa Barat.

Bulan Ramadan menjadikan aktivitas saya dan keumuman perempuan sebagai ibu rumah tangga terasa semakin meningkat. Kami harus menyiapkan menu berbuka puasa, bangun lebih awal saat dini hari untuk memasak, membangunkan keluarga, serta menyiapkan sahur.

Saya ingin bertanya, adakah tips agar kesehatan kami para ibu rumah tangga tetap prima selama bulan puasa? Seperti apa saran ideal yang penting diperhatikan oleh kami sekeluarga selama Ramadan, terutama yang bersumber dari Al-Quran dan sunah? Terima kasih.

Wassalamualaikum. Wr. Wb.

Baca: 25 Ucapan Selamat Ramadan dalam Bahasa Arab dan Terjemahannya

Jawaban:

Waalaikumsalam. Wr. Wb.

Kak Kurniasih di Cirebon, Jawa Barat, terima kasih atas pertanyaannya.

Perempuan dengan status apapun memang rentan mengalami pengalaman sosial berupa beban ganda. Sejak dulu, pemandangan umum yang ditemukan sehari-hari adalah ibu dan anak perempuan terlihat lebih aktif di dapur.

Perempuan dalam pergumulan sosial berada pada level-level tertentu. Pertama, dia menjadi objek, yakni sebagai makhluk domestik.

Kedua, perempuan sebagai subjek sekaligus objek, yaitu menjalani aktivitas publik sekaligus dibebankan menjadi pekerja domestik. Hal tersebut tercermin melalui kata-kata semisal, “Kamu boleh bekerja asalkan urusan suami dan anak-anak sudah beres.” Sementara kaum laki-laki, tidak begitu dibebankan syarat dan ketentuan tersebut.

Padahal, yang mesti dipahami adalah tugas-tugas rumah tangga merupakan tanggung jawab berdua, suami dan istri.

Pada level teratas, perempuan bisa menjadi subjek penuh dalam kehidupan tanpa stigma negatif yang melulu menjadikannya sebagai pekerja domestik atau sebagai subjek pasif. Sebab, Rasulullah Muhammad Saw telah mencontohkan rumah tangga yang mubadalah (prinsip kesalingan).

Sayyidah Khadijah merupakan perempuan yang mandiri, berdikari, pemilik tubuhnya sendiri setelah Allah Swt, istri terkasih yang tidak hanya mengurusi pekerjaan rumah tangga, tetapi juga berdagang dan berdakwah bersama Rasulullah Saw. Sedangkan Nabi Muhammad Saw adalah suami yang tidak segan melakukan pekerjaan rumah tangga di sela-sela aktivitasnya di luar untuk bekerja dan berdakwah. Semuanya seimbang dan Rasulullah Saw tidak pernah melabeli zona perempuan sebatas sumur, dapur, dan kasur.

Ketika Ramadan datang dan menyelimuti bumi, perempuan tampak semakin menjadi sosok hangat yang paling diperhitungkan dan menjadi induk dari segala kehidupan. Mulai dari pemimpin di ruang publik dan domestik, hingga geliat perekonomian dan sosial di tengah masyarakat.

Puasa, mungkin bisa menjadi hal yang tampak biasa saja ketika dilaksanakan oleh Muslim laki-laki. Dispensasi diperbolehkan untuk tidak berpuasa bagi laki-laki pun muncul karena alasan alamiah keterbatasan tubuh manusia, yang hal itu juga bisa dialami perempuan. Misalnya, karena sakit, gangguan kesehatan mental, usia yang sudah renta, serta lelah dan payah sebagai musafir (pelaku perjalanan).

Akan tetapi, ada sesuatu yang berbeda dan khusus dirasakan hanya oleh Muslim perempuan. Yakni, berupa pengalaman biologis, tetapi mereka masih harus menyempurnakan puasanya sebab alasan-alasan yang disebut uzur atau alasan syar’i.

Teks-teks dalam Al-Qur’an dan hadis mengkhususkan perempuan dalam pelaksanaan ibadah puasa Ramadan. Dalil tentang haid, hamil, wiladah (melahirkan), nifas, dan tentang menyusui menunjukkan bahwa perempuan memang didesain istimewa agar spirit puasanya tetap menyala. Seluruh tubuh perempuan diperhitungkan dan dimuliakan Tuhan.

Baca: Karyawan Pria di Jepang Meringis Kesakitan saat Ikuti Simulasi Haid, Perusahaan: Demi Hormati Perempuan

Tidak ada syariat Islam yang berdampak menyakiti tubuh manusia, termasuk puasa. Oleh karena itu, perempuan tidak diperbolehkan puasa ketika haid, meskipun harus mengqadlanya di lain hari. Perempuan yang hamil dan menyusui juga memperoleh rukhsah (keringanan) dari Tuhan untuk tidak berpuasa.

Hal-hal tersebut merupakan urusan syariat yang benar-benar harus ditaati perempuan, bahkan kapan pun ada kesempatan meng-qadla, perempuan dengan sigap menyelesaikan utang-utang puasanya kepada Tuhan dengan penuh tanggung jawab.

Belum lagi, dengan mata kepala sendiri kita kerap melihat bahwa perempuan memang begitu mendominasi ranah sosial selama Ramadan. Saat ngabuburit, misalnya, kebanyakan penjual dan pembeli takjil atau makanan untuk berbuka puasa adalah perempuan. Kerja-kerja domestik seperti berbelanja di pasar, memasak, bahkan mengasuh anak saat berpuasa juga dirangkap oleh perempuan.

Tidak bisa pula kita mengelak bahwa sedari dulu hingga sekarang, keumuman perempuan menjadi orang yang paling terakhir beristirahat di waktu malam hanya untuk memastikan magic jar (penanak nasi) menyala di tombol cook (memasak) demi persiapan sahur, sekaligus menjadi orang yang pertama terjaga demi menyiapkan hidangan dan membangunkan seluruh anggota keluarga.

Baca: Jam Berapakah Keumuman Masyarakat Indonesia Makan Sahur? Ini Datanya

Kita juga sering menemukan kasus ketika perempuan sedang berpuasa, tiba-tiba harus mengalami haid justru di waktu-waktu ketika telah mendekati azan magrib. Bagaimana pun kisah tak terduganya, mereka tetap mengqadlanya dengan tulus-ikhlas. Betapa semangat Ramadan perempuan menyala dan berkibar di tengah gempuran tafsir “perempuan kurang agama.”

Padahal, bagaimana mungkin perempuan bisa disebut sebagai naqishat din atau kurang agama, sedangkan agamalah yang memerintahkan perempuan haid, hamil, nifas, dan menyusui untuk tidak berpuasa.

Jangan ragu untuk meminta bantuan secara baik-baik kepada suami agar bisa saling bekerja sama dalam mewujudkan Ramadan yang lebih membahagiakan dalam rumah tangga. Namun, jika hal tersebut mustahil dilakukan baik oleh suami atau keluarga yang lainnya, tidak apa-apa, tetapi jangan lupa untuk menyayangi diri sendiri dengan memperhatikan kesehatan jiwa dan asupan tubuh selama berpuasa, bekerja semampunya, dan bahagia semaksimalnya demi mengejar rida Allah di bulan Ramadan.

Hanya akan menyakiti diri sendiri jika kita terlalu memikirkan orang-orang yang tidak cukup mendukung dan sadar tentang pengalaman khas biologis dan peran perempuan, baik di ranah domestik maupun sosial.

Demi mendapat keberkahan dan terjaganya kesehatan selama berpuasa, maka perhatikan tips berbuka puasa ala Rasulullah, yakni:

  1. Menyegerakan berbuka puasa

Nabi Saw menyegerakan berbuka puasa ketika matahari tampak telah tenggelam. Rasulullah bersabda:

لا يزال الناس بخير ما عجلوا الفطر

“Manusia selalu dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (Muttafaq ‘Alaih)

  1. Membaca basmalah dan makan dengan tangan kanan

Mengucap basmalah sebelum makan adalah sunah yang senantiasa dilakukan Nabi Saw. Umar bin Abi Salamah bercerita, dahulu Umar berada di rumah Rasulullah Saw, dan ia didapati mengambil makanan dari atas nampan dengan tangan bergantian, kiri lalu kanan. Nabi Saw pun bersabda menasehatinya:

سَمِّ اللَّه، وكُلْ بِيَمِينكَ، وكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

“Bacalah basmalah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dengan mengambil yang terdekat darimu.” (HR. Bukhari)

  1. Memakan kurma atau meminum air

Saat berbuka dan sebelum mendirikan salat Magrib, Nabi Saw memakan kurma berjumlah ganjil. Jika tidak ada kurma, Rasulullah berbuka dengan air putih.

  1. Membaca doa setelah berbuka puasa

Dalam Fath Al-Mu’in dan I’anah At-Thalibin dijelaskan urutan berbuka puasa adalah membaca basmalah terlebih dahulu, lalu membatalkan puasa dengan minum air putih atau memakan kurma, setelah itu baru berdoa. Berbeda dengan keterangan dalam Busyra al-Karim, diperbolehkan berdoa sebelum membatalkan puasa, meski yang afdal adalah tetap dengan mendahulukan berbuka sebelum membaca doa.

Yang lebih penting untuk diingat adalah bahwa doa orang berpuasa hingga waktu berbuka adalah doa yang mustajab.

Ada berbagai macam redaksi doa yang bisa dibaca ketika berbuka puasa. Disebutkan di antaranya dalam kitab Adzkar An-Nawawi:

ذَهَبَ الظَّمأُ، وابْتَلَّتِ العُرُوقُ، وَثَبَتَ الأجْرُ إِنْ شاءَ اللَّهُ تَعالى

Dzahaba azh-zhama’u wa ibtallatil-‘uruqu wa tsabatal-ajru in sya’allahu ta’ala.

“Dahaga telah pergi, urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan, insya Allah.” (HR Abu Abu Dawud, Kitab ash-Shaum).

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَعَلى رِزْقِكَ أفْطَرْتُ

Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu.

“Ya Allah, aku berpuasa hanya untuk-Mu dan aku berbuka dengan rezeki-Mu.”

الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذي أعانَنِي فَصَمْتُ، وَرَزَقَنِي فأفْطَرْتُ

Alhamdulillahilladzi a’aananii fashamtu, wa razaqanii faafthartu.

“Segala puji bagi Allah yang menolongku maka aku dapat berpuasa, dan yang telah memberiku rezeki sehingga aku dapat berbuka.”

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْنا، وَعلى رِزْقِكَ أَفْطَرْنا، فَتَقَبَّلْ مِنَّا إنَّكَ أنْتَ السَّمِيعُ العَلِيمُ

Allahumma shumnaa, wa ‘alaa rizqika aftharnaa, fataqabbal Minna innaka antas samii’ul ‘aliim

“Ya Allah, karena Kamu kami berpuasa, dan dengan rezeki-Mu kami berbuka, maka terimalah (puasa) kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”

اللَّهُمَّ إني أسألُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كل شئ أنْ تَغْفِرَ لي

Allahumma inni as’aluka birahmatika allati wasi’at kulla sya’i an taghfira lii.

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu agar Engkau mengampuni aku.”

Baca: Doa Menyambut Kedatangan Bulan Ramadan

Lantas, di antara redaksi doa tersebut, mana yang benar dan sesuai sunah? Jawabannya, semuanya benar dan sesuai dengan syariat. Jadi pilih saja salah satu tanpa perlu memperselisihkannya.

  1. Mendirikan salat Magrib, baru kemudian makan besar

Rasulullah Saw menunaikan salat Maghrib, kemudian makan besar setelahnya. Tetapi apabila makanan utama telah tersedia sebelum salat, maka boleh terlebih dahulu untuk menyantap makanan tersebut dengan tanpa tergesa-gesa. Nikmatilah secara tenang sambil mensyukuri atas nikmat berbuka puasa yang dianugerahkan Allah Swt. Di samping itu, bayangkanlah meraih kegembiraan goal puasa, yakni bertemu Allah Swt. Rasulullah bersabda:

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ

“Orang yang berpuasa akan meraih dua kegembiraan, kegembiaran ketika berbuka puasa/berhari raya, dan kegembiraan ketika bertemu Tuhannya.” (HR Muslim).

Ramadan hendaklah dimaknai dengan bulan bangkitnya semangat perempuan dalam menegakkan syariat. Seolah-olah lapar dan dahaga tiada dirasa demi memastikan sempurnanya puasa secara pribadi maupun bagi keluarga keseluruhan.

Pelita Ramadan sejak zaman turunnya perintah puasa hingga kini adalah perempuan-perempuan, berupa peran serta kekhasan tubuhnya yang senantiasa diperhatikan Tuhan. Kodrat ini mestinya mampu menumbukan kesadaran bagi semua orang untuk lebih menghargai dan memuliakan perempuan.

Perempuan yang tangguh semacam itu merupakan sosok beriman yang derajatnya dinaikkan oleh Allah Swt. Sebab, ia menjadi subjek penuh kehidupan sebagai pelindung keluarga dalam memelihara perintah-perintah Allah Swt. Allah Swt berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6).

Wallahu a’lam bis sawab.

Wassalamualaikum. Wr. Wb

Penjawab: Nyai Uswatun Hasanah Syauqi, Praktisi Fikih Nisa, Sekretaris Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), serta Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur.

Bagi pembaca Ikhbar.com yang memiliki pertanyaan seputar fikih ibadah maupun muamalah, hukum waris Islam, keuangan dan ekonomi syariah, tata kelola zakat, dan sejenisnya, bisa dilayangkan melalui email redaksi@ikhbar.com dengan judul “Konsultasi.”

Setiap as’ilah atau pertanyaan yang masuk, akan dibedah melalui tim maupun tokoh-tokoh yang cakap di bidangnya dengan sumber-sumber rujukan valid dalam literatur keislaman.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.