Assalmualaikum. Wr.Wb.
Ning Uswah dan Tim Redaksi Ikhbar.com, semoga sehat selalu. Amin.
Perkenalkan, saya Rina Ramadhani, dari Bogor, Jawa Barat. Saya ingin bertanya, konon, perceraian merupakan sesuatu yang dibenci Allah Swt. Namun, belakangan, banyak artis maupun publik figur yang memutuskan secara baik-baik untuk berpisah dengan pasangannya. Akan tetapi, yang menarik adalah kini mereka mengaku merasa lebih adem, bahkan bisa bekerja sama dengan lebih baik dalam menemani pertumbuhan anak-anak mereka. Tidak seperti sebelumnya yang katanya selalu disertai cekcok.
Menurut Ning Uswah, apakah memang jalan seperti itu menjadi lebih baik ketimbang tetap bertahan tetapi tanpa sedikit pun nuansa sakinah, mawadaah, dan rahmah? Atau seperti apa batasan seseorang itu dihalalkan untuk memikirkan proses perceraian? Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Baca: Suami Selingkuh, Bertahan atau Gugat Cerai?
Jawaban:
Waalaikumsalam. Wr. Wb.
Menjadi publik figur memang harus pandai menjaga attitude (sikap), Selain sebagai objek tontonan, publik figur juga harus sadar telah menjadi trendsetter (pusat rujukan tren dan sejenisnya). Maka, tak heran jika mereka juga sering diekspos media hingga menerobos ranah privasi, termasuk gonjang-ganjing rumah tangga.
Masyarakat umum alias yang tidak menyandang status publik figur pun akan merasa gerah jika kehidupan rumah tangganya dikabarkan negatif. Jika kasus dari penanya adalah contoh publik figur yang memilih tidak menjadikan keretakan rumah tangganya sebagai engagement atau persoalan, maka perlu diapresiasi. Hal tersebut bisa dianggap sebagai bentuk dari pertahanan diri mereka dalam menjaga marwah dirinya sendiri dan keluarga.
Dalam hidup bermasyarakat, sebaiknya seseorang menghindarkan diri dari kebiasaan melihat atau mendengar berita tentang aib orang lain, terlebih mencari tahu tentang problematika rumah tangga mereka. Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurat: 12).
Baca: Judi Online Picu Perceraian, Datanya Terkerek hingga 142%
Namun, di luar dari perkara itu, dalam sebuah pernikahan, perselisihan faktanya memang kerap terjadi. Mulanya, perbedaan di antara dua anak manusia bisa menjadi daya tarik dan dirasa bisa saling melengkapi hingga kemudian memutuskan untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Akan tetapi, setelah menjalani proses perkawinan, semakin lama akan terasa bahwa perbedaan-perbedaan itu kadang tidak menyatukan, tapi justru menjauhkan. Saling membenci, saling melemparkan kata-kata yang menyakitkan, bahkan diam-diam punya kekasih lain, menjadi akar permasalahan yang kerap dijumpai.
Setiap suami-istri sejatinya punya permasalahan tersendiri, yang sudah barang tentu berbeda dari pasangan lain. Namun, ada satu tema penting yang kurang lebih sama, yakni mereka memasuki perkawinan dengan modal cinta yang besar, berpengharapan untuk bahagia di sepanjang perkawinan, tetapi kemudian kecewa karena perjalanan rumah tangga mereka tidak semulus yang dibayangkan.
Cinta terhadap pasangan pun kemudian dirasakan memudar, bahkan berubah menjadi benci dan kemarahan. Banyak pasangan yang mengertikan cinta terbatas pada emosi yang dirasakan serta kasih sayang yang mereka dapatkan dari pasangan. Inilah yang membuat hubungan perkawinan menjadi rapuh, karena cinta mereka secara cepat atau perlahan berubah menjadi emosi yang terasa biasa-biasa saja.
Sebabnya banyak, ada yang tertumpuk oleh peran sebagai suami dan istri, tanggung jawab mengurus anak, rutinitas keseharian, dan konflik-konflik yang tidak mudah diatasi. Kemudian ketika problematika perkawinan terasa kian menekan, mereka mulai berpikir untuk meninggalkan dengan alasan, biasanya, sudah mati rasa. Cinta yang dulu sudah hilang, lalu memutuskan berpisah.
Talak alias perpisahan bukanlah suatu hal yang mutlak dibenci oleh Allah Swt. Talak, justru sesekali menjadi solusi yang dianugerahkan Allah Swt bagi manusia demi bisa menyiasati kondisi rumah tangga yang dinilai sudah tidak bisa menghadirkan nilai-nilai maslahat di dalamnya.
Dalam fikih pernikahan, terdapat istilah ‘uyub atau penyakit fisik yang berimplikasi terhadap rusaknya pernikahan. ‘Uyub terdiri dari tujuh jenis, yaitu junun (gila), judzam (kusta/lepra/penyakit kulit menular), baras (sopak/penyakit yang menyebabkan hilangnya warna kulit dalam bentuk bercak), al-ritq (tersumbatnya lubang vagina), al-qarn (benjolan pada kemaluan perempuan), al-‘unnah (impotensi), dan al-jabbu (terpotongnya penis). Apabila ‘uyub terjadi pada salah satu pasangan sehingga menghalangi kenikmatan dalam hubungan seksual, maka dalam Islam menetapkan hak khiyar (memilih) bagi suami istri atau hak memutuskan untuk meneruskan atau menyudahi perkawinan tersebut.
Baca: Hukum Ceraikan Istri karena tak Ada Bercak Darah di Malam Pertama
Namun, penyebab perpisahan yang diperbolehkan oleh syariat tidak hanya pada urusan fisik dan perkara hubungan seksual semata. Ada juga penyebab lain, yakni nusyuz. Nusyuz bisa terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Nusyuz terjadi apabila salah satu pihak dari suami atau istri tidak berkenan melaksanakan kewajiban atau durhaka terhadap pasangannya.
Nusyuz tergambar dalam banyak kasus dengan kondisi yang juga beragam. Contoh nusyuz dari pihak istri adalah ketika sang perempuan tidak mau berbuat baik kepada suami dengan keluar rumah untuk bermaksiat. Istri yang keluar rumah demi menemui hakim untuk menuntut hak dari suami, mencari nafkah sendiri ketika sang suami mengalami kesulitan ekonomi, atau mendatangi majelis ilmu dan meminta fatwa kepada orang lain lantaran suaminya bukanlah sosok yang ahli dalam bidang fikih, bukanlah termasuk ke dalam kategori nuzyuz. Kekerasan verbal seperti cacian atau ucapan yang buruk dan menyakiti hati juga bukan termasuk nusyuz, hanya dalam kasus ini, sang pelaku dianggap berdosa dan harus dididik.
Sebelum memutuskan berpisah, terdapat sejumlah tahapan dalam mengatasi pertengkaran rumah tangga yang berpotensi timbulnya nusyuz dari pihak istri.
Allah Swt berfirman:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُۗ وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًاۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
“Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. An-Nisa: 34).
Pada ayat tersebut memuat tiga tahapan jika pertengkaran diawali dari istri yang tidak mau melaksanakan kewajibannya dalam rumah tangga, yakni, pertama, dinasehati dengan baik, kedua, diberikan waktu untuk sendiri, dan yang ketiga adalah dipukul. Namun, Ulama merinci syarat bolehnya memukul istri sebagai berikut:
- Niat mendidik (dijelaskan dalam Mafatih al-Ghaib).
- Tidak menyakitkan, tidak boleh memukul dengan tangan kosong, maksimal ukuran untuk memukul adalah dengan siwak, tidak mengenai area wajah atau bagian tubuh yang membahayakan, tidak boleh memukul di luar rumah, tidak boleh ada bekas pukulan, apalagi lebam (dijelaskan dalam Jami’ul Bayan fi Ta’wil al-Qur’an).
- Tidak didahului oleh pertikaian. Apabila terjadi pertikaian, maka haram memukul meskipun dengan siwak dan tujuannya mendidik (dijelaskan dalam I’anatu at-Thalibin).
- Istri tidak boleh merasa sakit hati atau direndahkan dengan pukulan dengan siwak tersebut (dijelaskan dalam Tuhfah al-Muhtaj).
Inti dari empat syarat tersebut adalah bahwa ulama telah bersepakat untuk melarang penggunaan kekerasan fisik dalam permasalahan rumah tangga. Pasalnya, Rasulullah Muhammad Saw tidak pernah sekali pun mencontohkan melakukan hal tersebut terhadap istri maupun perempuan lainnya.
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلاَ امْرَأَةً وَلاَ خَادِمًا إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا نِيلَ مِنْهُ شَىْءٌ قَطُّ فَيَنْتَقِمَ مِنْ صَاحِبِهِ إِلاَّ أَنْ يُنْتَهَكَ شَىْءٌ مِنْ مَحَارِمِ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Dari Aisyah Ra, Rasulullah Saw tidak pernah memukul siapa pun dengan tangannya, tidak kepada perempuan, tidak juga kepada pembantu, kecuali dalam perang di jalan Allah. Nabi Saw juga ketika diperlakukan sahabatnya secara buruk tidak pernah membalas, kecuali kalau ada pelanggaran atas kehormatan Allah, maka ia akan membalas atas nama Allah Swt.” (HR. Muslilm).
Jika dilihat dari sisi syariat, perpisahan atau perceraian memang harus dilakukan dengan cara yang baik. Tidak boleh ada kekerasan, baik verbal maupun fisik.
Baca: Hukum Menggantungkan Talak/Cerai pada Jumlah Nafkah
Sementara itu, nusyuz dari pihak suami bisa berupa ketika si laki-laki durhaka atau berkhianat kepada istrinya, mengabaikan hak-hak, menyia-nyiakan, tidak memberi nafkah, melukai atau menganiaya, atau tidak memberikan kenyamanan ketika berhubungan seksual. Ketika terjadi hal-hal seperti itu, maka istri harus mengadukan masalah tersebut kepada hakim hingga memerintahkan suami memenuhi hak istri tersebut. Dalam hal ini, hakim memiliki legalitas untuk memaksa suami agar memenuhi hak istri yang telah diabaikannya.
Di era modern, pihak hakim bisa merupakan salah satu instansi pemerintahan yang diberi otoritas penuh dalam memberantas kezaliman serta mengembalikan hak yang telah dirampas dari pemiliknya. Jika benar bahwa perpecahan keluarga itu bersumber dari suaminya, maka istri berhak menasehati dan mengingatkan suaminya.
Nabi Saw bersabda:
خَيْركُمْ خَيْرُكُمْ لِاَهْلِهِ وَاَنَا خَيْرُكُمْ لِاَهْلِى مَا أَكْرَمَ النِّسَاءَ إِلاَّ كَرِيْمٌ ، وَمَا أَهَانَهُنَّ إِلاَّ لَئِيْمٌ
“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik kepada keluarga kalian (istri kalian), dan aku adalah orang yang paling baik kepada keluargaku (istriku). Tidak menghormati perempuan kecuali laki-laki terhormat. Tidak merendahkan/menghina perempuan kecuali laki-laki yang rendah/hina.” (HR. At-Tirmidzi).
Apabila tidak bisa diatasi dengan menasehati, maka solusi nusyuz dari pihak suami adalah sebagaimana firman Allah Swt:
وَاِنِ امْرَاَةٌ خَافَتْ مِنْۢ بَعْلِهَا نُشُوْزًا اَوْ اِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًاۗ وَالصُّلْحُ خَيْرٌۗ وَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّۗ وَاِنْ تُحْسِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
“Jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap acuh, keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya. Perdamaian itu lebih baik (bagi mereka), walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Jika kamu berbuat kebaikan dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tidak acuh) sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa: 128).
Hakim wajib mengutus seseorang yang mampu menjadi hakam (juru damai) untuk menggelar mediasi agar sang suami kembali berkenan menjalankan kewajibannya terhadap istri. Apabila setelah dinasehati, suami tetap menyakiti istrinya, langkah berikutnya istri harus melaporkan ke hakim agar hakim melarangnya untuk tidak mengulangi perbuatan buruknya lagi, tetapi tidak sampai menghukumnya. Jika setelah itu sang suami tetap mengulangi perbuatan buruknya, maka istri boleh melaporkan kembali ke hakim dan hakim akan memberikan hukuman yang setimpal atau hukuman dengan kadar menjerakan.
Baca: Uang Suami dan Duit Istri? Begini Manajemen Keuangan Rumah Tangga menurut Fikih
Namun, apabila perselisihan dan perpecahan di antara keduanya terjadi dengan sangat dahsyat sehingga menyebabkan kekejian dan menyakiti secara fisik atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), maka hakim harus mengutus hakam atau juru damai dari pihak keluarga suami dan dari pihak istri agar mereka melihat dan mempertimbangkan perkara dan berusaha mendamaikannya kembali. Jika jalan damai tidak bisa ditempuh, maka kedua hakam tersebut boleh mem-firaq atau memisahkan pasangan tersebut.
Allah Swt berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa: 35).
Demikianlah permasalahan yang menjadi batasan dibolehkannya seseorang berpisah atau bercerai dan berupaya keluar dari lingkaran toxic (kasar/buruk) dalam hubungan rumah tangga. Tujuannya, tentu agar bisa hidup dalam keadaan merdeka hingga mampu meningkatkan kualitas kehidupan serta merawat anak-anak mereka dengan baik. Wallahua’lam bis-shawab.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Penjawab: Nyai Uswatun Hasanah Syauqi, Praktisi Fikih Nisa, Sekretaris Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), serta Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur.
Bagi pembaca Ikhbar.com yang memiliki pertanyaan seputar fikih ibadah maupun muamalah, hukum waris Islam, keuangan dan ekonomi syariah, tata kelola zakat, dan sejenisnya, bisa dilayangkan melalui email redaksi@ikhbar.com dengan judul “Konsultasi.”
Setiap as’ilah atau pertanyaan yang masuk, akan dibedah melalui tim maupun tokoh-tokoh yang cakap di bidangnya dengan sumber-sumber rujukan valid dalam literatur keislaman.