Ikhbar.com: Sistem pendidikan madrasah pada masa awal Kesultanan Ottoman berakar kuat pada tradisi ilmiah yang telah berkembang di Anatolia, (kini sebagian besar Turki). Kota-kota seperti Amasya, Konya, Kayseri, Karaman, dan Aksaray menjadi pusat aktivitas keilmuan sebelum berdirinya Ottoman. Para ilmuwan yang berasal dari pusat-pusat kebudayaan besar seperti Mesir, Suriah, Iran, dan Turkestan turut memperkaya pendidikan di kawasan ini.
Peneliti dan sejarawan Islam asal Turki, Mustafa Bilge, dalam Ilk Osmanli Medreseleri (1984) menyebutkan, Kesultanan Ottoman mewarisi sistem pendidikan dari Dinasti Seljuk. Tradisi membangun masjid beserta madrasah di wilayah taklukan menjadi bagian dari kebijakan penaklukan. Tujuannya bukan hanya menyediakan layanan keagamaan dan pendidikan, tetapi juga mencetak tenaga administratif dan hukum yang dibutuhkan negara.
Dengan demikian, madrasah berfungsi ganda. Lembaga ini mendidik individu yang menguasai hukum Islam sekaligus memahami praktik kenegaraan. Strategi ini menopang kekuatan dan kestabilan pemerintahan pusat.
Madrasah pertama Ottoman berdiri di Iznik pada 1330–1331, oleh Orhan Gâzî. Usai menaklukkan kota tersebut, ia membangun gedung madrasah dan menugaskan Mevlânâ Dâvud al-Kayserî sebagai pengajar dan pengelola. Dâvud al-Kayserî, yang menimba ilmu di Mesir, menjadi salah satu ulama besar yang mengajar di sana, disusul oleh Tâceddin al-Kürdî dan Alâeddin Esved.
Baca: Wahai Guru PAUD, Ini Saran Pendidikan Anak Usia Dini dari Ibnu Sina
Para pengajar pada masa awal sebagian besar berasal dari luar wilayah Ottoman. Beberapa lahir di Anatolia, tetapi menuntut ilmu di pusat-pusat Islam seperti Mesir, Iran, dan Turkestan. Sisanya datang langsung dari luar Anatolia dan menetap di wilayah Ottoman.
Mengutip Osmanli Ilmi Zihniyetinde Degisme (1989), yang ditulis Mustafa Hulusi Lekesiz, seorang akademisi dan sejarawan asal Turki, dari 115 cendekiawan yang teridentifikasi antara abad ke-14 hingga ke-16, sebanyak 43,3% berasal dari Iran, Mesir (23,4), Anatolia (14,7), Transoxiana (8,6), Suriah (7,8), dan Irak (1,7).
Sumber buku ajar yang digunakan pun menunjukkan pola serupa. Iran menempati urutan pertama (39,3), diikuti Mesir (30,3). Tiap-tiap dari Transoxiana, Irak, Khorezm, dan Fergana menyumbang 6,06% Anatolia, dan Khorasan menyumbang 3,03%. Statistik ini mencerminkan kuatnya pengaruh lintas peradaban Islam terhadap sistem pendidikan Ottoman.
Baca: Belajar dari Masjid Nabawi, Awal yang Sederhana tapi Multifungsi
Sistem belajar adaptif
Mekanisme belajar di madrasah-madrasah awal cenderung fleksibel. Pengajar ditunjuk berdasarkan keahlian dan integritas, sementara kurikulum mengikuti ketentuan dari pendiri wakaf atau wakif.
Di Madrasah Orhan Bey Iznik, misalnya, satu-satunya ketentuan dalam akta wakaf menyatakan bahwa “pengajaran harus dilakukan setiap hari.” Hal serupa terlihat di Madrasah Lala Sâhin Pasha di Bursa yang berdiri pada 1348. Di sana ditegaskan bahwa pengajar harus mumpuni, komunikatif, dan tidak boleh absen tanpa alasan sah selain hari libur.
Sementara itu, di Madrasah Dâr al-Hadis di Edirne, Sultan Murâd II mewajibkan pelajaran hadis dan ilmu-ilmu pendukung, tetapi melarang pengajaran filsafat. Madrasah Akmadrasa di Nigde yang didirikan oleh Karamanoglu Ali Bey pada 1415 memiliki ketentuan lebih terperinci. Fokus pengajaran ditekankan pada fikih, usul fikih, dan ilmu hukum Islam. Pengajar wajib menyampaikan materi setiap hari, sementara asisten harus membimbing diskusi dan kajian harian bersama siswa.
Aturan-aturan ini menunjukkan betapa pentingnya kontrol terhadap kualitas pendidikan dan substansi pengajaran. Madrasah berfungsi sebagai lembaga pendidikan tinggi yang merangkul berbagai bentuk pembelajaran, dari teori keagamaan hingga praktik hukum.
Ciri khas sistem ini terletak pada keseimbangan antara independensi guru dan struktur dari wakaf. Struktur ini memungkinkan terciptanya pembelajaran yang otentik, sesuai dengan kebutuhan lokal dan visi dari pendirinya.
Baca: Hadis-hadis tentang Pendidikan
Dinamika pertumbuhan madrasah
Pendidikan madrasah di masa awal Ottoman masih mengikuti pola dari madrasah Nidhamiya yang didirikan Imam Al-Ghazali, yang fokus pada ilmu-ilmu keagamaan, khususnya fikih. Meski begitu, bukti menunjukkan adanya ketertarikan terhadap bidang lain seperti kedokteran dan astronomi. Rumah sakit kerap dibangun berdampingan dengan madrasah. Begitu pula dengan observatorium, yang mengindikasikan adanya pembelajaran non-keagamaan dalam bentuk tambahan atau kegiatan luar kurikulum.
Ilmu-ilmu seperti filsafat, matematika, dan ilmu alam diajarkan di rumah para ulama atau rumah sakit, bukan di dalam madrasah resmi. Tradisi panjang ini berlangsung sebelum reformasi pendidikan pada masa Sultan Mehmed II.
Antara awal abad ke-14 hingga naik takhtanya Mehmed Sang Penakluk, sebanyak 42 madrasah berdiri di kota-kota besar. Bursa menjadi kota dengan jumlah terbanyak (25 madrasah), disusul Edirne (13) dan Iznik (4). Di kota kecil, tercatat ada 40 madrasah lainnya.
Secara total, sebanyak 82 madrasah berdiri antara tahun 1331 hingga 1451. Artinya, rata-rata dua madrasah didirikan setiap tiga tahun. Pertumbuhan ini mencerminkan pesatnya perkembangan pendidikan tinggi dalam masyarakat Ottoman.
Seiring pertambahan jumlah, kebutuhan untuk mengklasifikasi madrasah pun muncul. Lembaga-lembaga ini mulai diperingkat sesuai statusnya. Klasifikasi tersebut memperjelas perbedaan dalam mutu dan fungsi antar madrasah, terutama menjelang reformasi yang dilakukan Mehmed II.
Baca: Para Santri di Zaman Nabi
Sebelum reformasi itu, pendidikan madrasah Ottoman masih sangat beragam. Ciri utamanya adalah keterkaitan erat dengan dunia keilmuan Islam yang lebih luas. Pengaruh Timur Tengah, Asia Tengah, dan wilayah sekitarnya membentuk kerangka berpikir para ilmuwan Ottoman. Mereka tidak hanya menyerap ilmu, tetapi juga mentransformasikannya dalam konteks lokal.
Madrasah tidak hanya menjadi tempat belajar. Lembaga ini berfungsi sebagai pilar peradaban Ottoman. Dari institusi ini lahir para hakim, pejabat, dan ulama yang menopang sistem administrasi negara.
Pendidikan bukan sekadar aktivitas ilmiah. Ia menjadi instrumen penting dalam membangun negara hukum dan mengokohkan struktur birokrasi. Ulama yang lulus dari madrasah Ottoman mampu menjalankan tugas administratif sekaligus menjaga nilai-nilai syariat.
Model ini terbukti efektif dalam membangun negara yang kuat dan stabil. Pendidikan menjadi fondasi peradaban. Dan madrasah menjadi simbol dari kesungguhan Kesultanan Ottoman dalam menegakkan ilmu dan integritas.