Ikhbar.com: Jaringan sosial bukan sekadar alat berinteraksi. Dalam perspektif Islam, jaringan juga bisa dimaknai sebagai bentuk media ibadah, sarana menebar manfaat, serta wadah untuk menegakkan nilai-nilai kebajikan di tengah masyarakat.
Pesan inilah yang menjadi garis besar dalam perbincangan bersama tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU), Dr. KH Muhammad Nuruzzaman, dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Merawat Jaringan Lintas Zaman” di Ikhbar TV.
Dalam kesempatan tersebut, sosok yang dikenal memiliki banyak pengalaman di bidang networking ini mengurai tentang pentingnya membangun jaringan dengan ketulusan dan menjaga relasi dengan niat baik. Jaringan sosial, menurutnya, adalah modal penting yang bisa menggantikan kekurangan dalam aspek-aspek lain, termasuk ekonomi.
“Networking itu bagian dari upaya menjaga, kala kita tidak punya modal uang, maka kita harus punya relasi atau jaringan. Minimal kalau punya teman di daerah tertentu, bisa makan dan minum gratis di tempat teman kita,” kelakar sosok yang karib disapa Kang Zaman tersebut, dikutip pada Selasa, 10 Juni 2025.

Baca: Mengapa Santri Harus Aktif di Medsos? Begini Penjelasan Kang Zaman
Dasar berjejaring adalah silaturahmi
Kang Zaman menegaskan, jaringan dalam Islam bukan sekadar koneksi personal. Ia bersifat spiritual, berbasis silaturahmi, dan menjadi jalan untuk memperpanjang usia serta melapangkan rezeki.
Sosok yang juga mengemban amanah sebagai Bendahara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu mengacu pada sabda Nabi Muhammad Saw:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pandangan ini, menurutnya, sejalan dengan konsep modal sosial sebagaimana dikemukakan pakar ekonomi asal Peru, Hernando de Soto. Dalam
de Soto menyebut ada tiga bentuk modal penting, yaitu trust (kepercayaan), networking (jaringan), dan legalitas. Dua di antaranya, jelas Kang Zaman, sangat dekat dengan prinsip-prinsip dalam Islam.“Kalau tidak punya uang, ya harus punya integritas agar dipercaya. Dan punya jaringan. Itulah kenapa saya memilih untuk mencari sebanyak-banyak teman dan menghindari punya musuh, meskipun cuma satu orang,” terangnya.
Jaringan juga bukan semata soal status sosial atau ekonomi. Dalam pengalamannya, Kang Zaman menjalin relasi dengan banyak kalangan tanpa membatasi latar belakang politik, usia, hingga agama.
“Saya berteman dengan siapa pun. Lintas generasi, lintas ruang. Dan saya tidak pernah berpikir dia siapa. Saya tetap berteman,” ucapnya.
Baginya, kebermanfaatan bukan soal posisi, tetapi tentang kehadiran. Dalam posisi apa pun, jaringan bisa jadi jembatan kemaslahatan.
Sarana amar ma’ruf nahi munkar
Fungsi lain dari jaringan adalah sebagai ruang kolektif untuk saling menasihati dalam kebaikan. Kang Zaman meyakini, jaringan menjadi tempat strategis untuk memperkuat nilai-nilai Islam yang mendorong amar ma’ruf nahi munkar.
Penulis Radikalisme di Media Sosial (2023) itu mencontohkan bagaimana teman sejati bukan yang datang ketika seseorang berada di puncak, tetapi hadir saat sedang mengalami kesulitan.
“Sahabat atau teman sesungguhnya itu adalah ketika dia datang ketika ada masalah. Kalau ada kesusahan, dia datang bantu. Kalau tidak bisa membantu secara langsung, ya minimal support, menemani,” jelasnya.
Kang Zaman juga menyinggung bahwa nilai keikhlasan dan ketulusan dalam membangun jaringan menjadi kunci kekuatan sebuah relasi. Relasi yang dibangun karena niat baik, katanya, akan lebih tahan dari sekadar relasi berbasis proyek, kepentingan, atau keuntungan sesaat.
Pandangan ini mengingatkan pada ajaran ulama terdahulu. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin yang menyebut bahwa salah satu hak sahabat adalah al-mu‘awanah ‘ala al-din, saling membantu dalam urusan agama. Ini mencakup saling mengingatkan, menjaga, dan memperbaiki ketika ada kekeliruan.
“Kalau teman kita melakukan kesalahan, ya datang mengingatkan dan menemani agar kesalahannya tidak dilakukan lagi. Itu bagian dari merawat jaringan,” terang Kang Zaman.
Baca: Kang Zaman: Kompetisi Robot Madrasah Bikin Bangga
Tantangan dan kesalahan
Meski tampak sederhana, membangun jaringan tetap punya tantangan. Salah satu hambatan terbesar adalah menjalin relasi dengan orientasi kepentingan. Menurut Kang Zaman, banyak anak muda yang menjadikan jaringan sekadar alat untuk mempercepat pencapaian, bukan wadah silaturahmi.
“Kebanyakan orientasi ketika membangun jaringan itu kepentingan. Padahal yang dibutuhkan adalah keikhlasan, menjalankan perintah agama, bersilaturahim,” katanya.
Kang Zaman juga mengkritik pola komunikasi generasi muda yang terlalu bergantung pada teknologi. Ketika pertemuan langsung diabaikan, keintiman relasi menjadi berkurang.
“Ketemu di kafe, tapi sibuk dengan handphone masing-masing. Enggak ngobrol. Padahal komunikasi nonverbal itu penting. Tatapan, salam, pelukan, semuanya beda dengan sekadar ucapan di chat WhatsApp,” jelasnya.
Tantangan lain datang dari risiko disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. Ia mencontohkan bagaimana ada yang mengaku teman, lalu memanfaatkan namanya demi keuntungan pribadi. Tetapi ia memilih bersikap positif selama tidak menyangkut pelanggaran hukum.
“Saya ingat Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, Presiden Ke-4 RI), ada orang menjual nama Gus Dur untuk cari uang. Kata Gus Dur, ‘Kalau saya laku ya, Alhamdulillah. It’s ok.’ Saya juga begitu, selama tidak melanggar hukum,” ujar Kang Zaman sambil tersenyum.
Namun, ketika ada orang yang berulang kali menyalahgunakan hubungan, Kang Zaman menyarankan untuk tetap menjaga jarak secara wajar.
“Kalau lama-lama juga capek. Ya sudahlah. Kita berteman biasa saja. Tidak terlalu menjaga. Tetapi tidak juga memutus,” ucapnya.
Ia juga pernah menghadapi kondisi ketika elemen jaringan yang dikenalnya terlibat konflik. Sikapnya sederhana, tetap menjalin hubungan dengan semua pihak tanpa terlibat dalam konflik itu sendiri. Prinsipnya, berteman tanpa berpihak.
“Kalau dua institusi berkonflik, saya tetap berteman dengan dua-duanya. Tidak masuk ke konflik. Saya hanya menyampaikan informasi sesuai yang saya tahu. Bukan menyelesaikan, tapi menjaga relasi tetap utuh,” katanya.
Menjaga jaringan dalam Islam, lanjut Kang Zaman, bukanlah sekadar taktik sosial. Ia adalah bagian dari ibadah, jalan menuju manfaat, serta ruang saling menguatkan. Dalam kehidupan yang serba cepat dan kompetitif, nilai-nilai itu tetap relevan dan layak dirawat dengan niat yang lurus dan hati yang lapang.