Ikhbar.com: Iduladha selalu datang dengan perayaan, penyembelihan kurban, dan pembagian daging. Namun, di balik semua itu, ada kisah penting yang jarang mendapat perhatian, yaitu hubungan antara ayah dan anak.
Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail bukan hanya tentang ujian pengorbanan, tetapi juga tentang teladan komunikasi dan rasa saling percaya antara orang tua dan anak. Ketika diperintahkan untuk menyembelih Ismail kecil, Nabi Ibrahim tidak serta-merta melakukannya. Kekasih Allah itu terlebih dahulu mengajak putra tercintanya berbicara.
Hal ini tercatat dalam QS. Ash-Shaffat: 102, ketika Nabi Ibrahim berkata kepada Ismail tentang perintah Allah, Nabi Ismail menjawab dengan tenang dan penuh keyakinan:
قَالَ يَـٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ
“Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102)
Jawaban itu menunjukkan bahwa Nabi Ismail memahami dan menerima keputusan ayahnya bukan karena takut, melainkan karena adanya relasi yang sehat dan saling percaya. Nabi Ibrahim memberi ruang agar anaknya ikut berpikir dan mengambil sikap.
Fazlur Rahman dalam Major Themes of the Qur’an (1982) menjelaskan bahwa komunikasi para nabi selalu dilakukan melalui pendekatan rasional dan dialog, bukan paksaan. Maka, apa yang dilakukan Ibrahim menunjukkan penghormatan terhadap kebebasan anak sebagai manusia yang bisa berpikir dan memilih.
Baca: Tafsir QS. Ash-Shaffat Ayat 102-107: Seni Merelakan ala Nabi Ibrahim dan Ismail
Ayah yang hadir, tapi tidak terlibat
Kisah Ibrahim dan Ismail sangat berbeda dengan banyak relasi ayah-anak hari ini. Banyak ayah secara fisik hadir di rumah, tetapi tidak benar-benar terlibat dalam kehidupan anak. Waktu bersama anak sering terbatas dengan interaksi yang minim, dan komunikasi hanya terjadi saat memberi instruksi atau teguran.
Michael E. Lamb dalam The Role of the Father in Child Development (1976) menekankan bahwa keterlibatan emosional ayah sangat penting bagi perkembangan psikologis anak. Ayah yang hadir secara emosional dapat membantu anak tumbuh dengan kepercayaan diri, empati, dan kestabilan emosi.
Namun, dalam kehidupan modern yang sibuk, peran ayah sering tereduksi menjadi sekadar pencari nafkah. Ayah merasa cukup dengan memberi uang jajan atau membayar biaya sekolah, tanpa menyadari bahwa anak juga butuh sapaan, pelukan, dan waktu berkualitas.
Penelitian Fatherhood in the Twenty-First Century oleh Cabrera & Tamis-LeMonda (2000) menunjukkan bahwa anak-anak membutuhkan komunikasi yang hangat dan empatik dari ayah mereka, serta perhatian yang tulus dan kedekatan emosional yang konsisten.
Baca: Akankah Kurban cuma Pesta Daging Sehari, Besok Lapar Lagi?
Kurban bukan hanya tentang hewan
Kurban sering dipahami sebagai penyembelihan hewan. Padahal, Iduladha juga bisa dimaknai sebagai momen untuk merefleksikan sikap diri, termasuk bagaimana menjalankan peran sebagai orang tua.
Kyle D. Pruett dalam bukunya Fatherneed: Why Father Care is as Essential as Mother Care for Your Child (2000) menegaskan bahwa kebutuhan anak terhadap ayah bukan hanya soal materi, tetapi juga tentang kehadiran yang konsisten dan emosional.
Anak-anak butuh didengar, dipahami, dan ditemani, terutama dalam masa pertumbuhan yang penuh perubahan.
Seorang ayah yang terlibat tidak harus selalu mengatur atau mengarahkan. Kadang cukup dengan mendengarkan, hadir saat dibutuhkan, dan memberi contoh dalam hal kesabaran dan tanggung jawab.
Di masa kini, banyak orang tua mengalami kelelahan karena tekanan pekerjaan dan tanggung jawab sosial. Dalam kondisi ini, komunikasi dengan anak seringkali menjadi hal yang diabaikan. Padahal, keterhubungan antara orang tua dan anak tidak akan terjadi tanpa upaya yang sadar dan terus-menerus.
Iduladha bisa menjadi saat yang tepat untuk merenungkan kembali kualitas hubungan dalam keluarga. Daging mungkin dibagikan ke tetangga, tetapi kasih sayang dan perhatian seharusnya lebih dulu diberikan kepada anak-anak.
Nabi Ibrahim memberi teladan bahwa peran orang tua bukan tentang memberi perintah, tapi tentang menjadi pendengar dan pembimbing. Ia mengajak anaknya bicara, memberi ruang untuk berpikir, dan menumbuhkan rasa percaya. Sikap ini tetap relevan dan penting diterapkan dalam pengasuhan masa kini.