Napak Tilas Ulama Jawi di Tanah Suci, dari Al-Fansuri hingga Al-Fadani

Tafsir Al-Qur'an berjudul Tarjuman Al-Mustafid karya Syekh Abdurrauf As-Singkili. Foto: X/Anabelle Teh Gallop

Ikhbar.com: Makkah telah lama menjadi magnet spiritual dan intelektual umat Islam. Sejak abad ke-17 hingga awal abad ke-20, sejumlah ulama dari Nusantara menuntut ilmu hingga menjadi tokoh terpandang di Haramain.

Menurut Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (2004), para ulama ini memainkan peran penting dalam transmisi dan adaptasi gagasan keislaman, terutama dalam bidang fikih, tasawuf, dan tafsir.

Aceh sebagai Serambi Makkah menjadi gerbang awal penyebaran ilmu keislaman. Tokoh awal seperti Hamzah Al-Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani dikenal sebagai pelopor pemikiran tasawuf wujudiyah yang mendalam.

Al-Fansuri dikenal melalui syair-syair sufistiknya, sementara As-Sumatrani lebih sistematis dalam membela doktrin wujudiyah, sebagaimana dikaji Vladimir Braginsky dalam The Heritage of Traditional Malay Literature (1993).

Baca: Jejak Kertas Eropa di Kitab Kuning Nusantara, Dari Merek hingga Harga

Pemikiran mereka kelak dikritisi oleh Nuruddin Ar-Raniri, ulama asal Gujarat yang bermukim di Aceh. Ia mengusung pendekatan yang lebih skriptural dan rasional dalam memahami tasawuf. Dalam Bustanus Salatin, ia mencampurkan pengetahuan keislaman dengan unsur historiografi Melayu klasik.

Seorang ulama Aceh lainnya, Abdurrauf As-Singkili (w. 1693), yang sempat belajar di Makkah dan Yaman, menjadi figur penting penyebaran tarekat Syattariyah di Nusantara. Karyanya, Tafsir Tarjuman Al-Mustafid, merupakan tafsir Al-Qur’an berbahasa Melayu pertama, dan menjadi bukti integrasi ilmu tafsir dalam budaya lokal.

Dari Sulawesi, Syekh Yusuf Al-Makassari menjadi tokoh tarekat Khalwatiyah yang berpengaruh secara internasional. Dalam biografi yang ditulis Abu Hamid berjudul Syekh Yusuf Makassar: Ulama, Sufi, Pejuang (1994), Al-Makassari disebut menimba ilmu di Makkah, Yaman, dan Damaskus sebelum menjadi penghubung antara pusat tarekat Timur Tengah dan komunitas sufi Nusantara.

Memasuki abad ke-18, nama-nama seperti Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Syekh Abdus Samad Al-Palimbani, Syekh Abdurrahman Al-Batawi, dan Syekh Abdul Wahab Bugis mencuat sebagai ulama Jawi terkemuka di Haramain. Al-Banjari menulis Sabilal Muhtadin, kitab fikih yang menjadi rujukan di berbagai wilayah Melayu.

Sementara itu, Syekh Abdus Samad Al-Palimbani dikenal sebagai tokoh yang mengadaptasi ajaran tasawuf al-Ghazali ke dalam konteks dunia Melayu.

Ia menyusun karya Siyarus Salikin, sebuah panduan spiritual yang hingga kini masih digunakan oleh berbagai kalangan tarekat. Azra (2004) menggambarkan kontribusi Abdus Samad ini sebagai bentuk penyemaian nilai-nilai sufistik yang moderat dan membumi.

Pada pergantian abad ke-20, muncul tokoh penting dari Tremas, Pacitan, yaitu Syekh Mahfudz At-Tarmasi, seorang ahli hadis yang disegani di Makkah.

At-Tarmasi disebut sebagai ulama Nusantara pertama yang secara aktif mengajar kitab-kitab hadis klasik seperti Sahih Bukhari dan Sunan Abi Dawud kepada murid-murid internasional, termasuk ulama-ulama besar Indonesia.

Mahfudz at-Tarmasi juga menjadi guru dari Syekh Muhammad Yasin al-Fadani dan KH Hasyim Asy’ari. Karyanya, Manhaj Dzawi An-Nazhar, menunjukkan kemampuannya dalam bidang gramatika bahasa Arab yang cemerlang. Penjelasan mendalam tentang kontribusinya ini dijelaskan Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo (2017) sebagai bagian dari jejak intelektual pesantren Nusantara di Makkah.

Puncak pengaruh ulama Jawi di Makkah terjadi pada abad ke-19. Di antara tokoh utama pada masa ini adalah Syekh Nawawi Al-Bantani, yang dijuluki sebagai Sayyid Ulama Hijaz. Ia menulis lebih dari 100 kitab, termasuk tafsir Marah Labid.

Baca: Mahasiswa Malaysia Borong Kitab Ulama Nusantara hingga Rp60 Juta

Dalam buku Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad karya Teuku Iskandar (1996), al-Bantani disebut sebagai representasi puncak intelektualisme pesantren di pentas global. Di antara murid-muridnya tercatat nama-nama besar seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan.

Pada masa yang sama, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi mencatat sejarah sebagai khatib mazhab Syafi’i pertama dari luar Arab di Masjidil Haram. Ia dikenal sebagai reformis yang berpikiran maju.

Menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah 2 (2015), Al-Minangkabawi adalah pendidik bagi generasi pembaharu Indonesia, termasuk Haji Agus Salim dan KH Hasyim Asy’ari.

Tradisi ini kemudian diteruskan Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani. Ia dikenal sebagai Musnid al-Dunya, ahli hadis dan sanad yang diakui dunia.

Salah satu karyanya, Al-Fawaid al-Janiyyah, digunakan di Universitas Al-Azhar Kairo. Azra (2004) menyebut bahwa Al-Fadani menjadi penghubung otoritatif sanad keilmuan antara Makkah dan dunia Islam Asia Tenggara.

Ulama Jawi bukan hanya peziarah, tetapi juga penggerak peradaban. Jejak mereka di Makkah adalah bukti kontribusi keilmuan Nusantara terhadap Islam global. Melalui karya, pengajaran, dan jaringan intelektual, mereka menjadi jembatan antara Timur dan Tenggara, antara tradisi dan transformasi.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.