Punk dan Islam, Kontras atau Selaras?

Gaya hidup punk yang menolak materialisme dan konsumsi berlebihan memiliki kesamaan dengan konsep zuhud dalam Islam.
Salah satu band punk, Sukatani, saat tampil di Stadion Kridosono, Yogyakarta, Sabtu 1 Februari 2025. INSTAGRAM/sukatani.band

Ikhbar.com: Punk dan Islam sekilas tampak sebagai dua kutub yang berseberangan. Punk, dengan semangat anarkisme dan kebebasan berekspresi, sering diasosiasikan dengan perlawanan terhadap otoritas dan nilai-nilai konservatif. Sementara, Islam, khususnya dalam perspektif tradisional, menekankan ketertiban, ketaatan, dan disiplin moral.

Namun, sejarah dan perkembangan sosial menunjukkan bahwa hubungan antara punk dan Islam jauh lebih kompleks dan dinamis daripada sekadar dikotomi oposisi.

Baca: Takdir dan Penerimaan dalam Lagu ‘Untungnya, Hidup Harus Tetap Berjalan’ Karya Bernadya

Geliat punk di dunia Islam

Dikutip dari Subculture the Meaning of Style (1979) dan Subcultures: The Basics (2023), gerakan punk lahir di Barat pada 1970-an, berakar pada perlawanan terhadap sistem kapitalisme, represi politik, dan ketimpangan sosial. Namun, ideologi dan gaya hidup punk juga menemukan jalannya ke dunia Muslim, khususnya di negara-negara dengan sejarah kolonialisme dan ketidakadilan sosial yang mendalam.

Menurut pakar sosiologi Iran-Amerika, Asef Bayat dalam “Life as Politics. How Ordinary People Change the Middle East (2010), di Timur Tengah dan Asia Selatan, fenomena “punk Muslim” mulai berkembang seiring dengan meningkatnya globalisasi budaya dan ketegangan sosial-politik. Di Mesir, kelompok seperti “Rebel Punk” muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap otoritarianisme pasca-revolusi, sementara di Iran, musisi-musisi bawah tanah berusaha menyalurkan ekspresi punk mereka di tengah pembatasan ketat.

Di Indonesia dan Pakistan, komunitas punk tumbuh dengan memadukan semangat pemberontakan khas dengan nilai-nilai Islam yang menekankan keadilan sosial, solidaritas, dan kepedulian terhadap kaum marginal. 

Di Pakistan, gerakan Islamic Punk mulai mendapatkan perhatian pada awal 2000-an, dengan kelompok seperti The Kominas yang mengusung kritik sosial terhadap Islam konservatif dan kebijakan Barat yang represif terhadap Muslim. Mereka menggabungkan lirik yang mengangkat isu-isu ketidakadilan sosial dengan semangat Do It Yourself (DIY) khas punk.

Di Indonesia, fenomena punk Muslim berkembang di berbagai daerah, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, hingga Aceh. Meskipun sering mendapat stigma negatif, komunitas punk Muslim ini juga berperan dalam kegiatan sosial seperti pendidikan jalanan, advokasi hak buruh, dan bantuan bagi kaum miskin.

Punk dalam konteks ini tidak hanya menjadi ekspresi budaya, tetapi juga sarana perjuangan bagi keadilan sosial yang berakar pada nilai-nilai Islam. Di Yogyakarta dan Aceh, komunitas punk Muslim tercatat telah melakukan aksi nyata dalam membantu masyarakat yang dinilai tersingkirkan. Mereka mengorganisir kegiatan amal, menggalang dana untuk kaum miskin, serta mengadakan pendidikan alternatif bagi anak-anak jalanan.

Selain itu, mereka juga sering terlibat dalam advokasi hak buruh dan kampanye lingkungan, membuktikan bahwa semangat perlawanan punk dapat berjalan seiring dengan nilai-nilai Islam yang menekankan keadilan dan kepedulian sosial.

Salah satu cover album Taqwacore, band punk asal AS. Dok ROTTENTOMATOES

Baca: VoB: Kami Bangga Jadi Lulusan Madrasah!

Narasi pemberontakan dan spiritualitas

Fenomena “punk Muslim” menunjukkan bagaimana nilai-nilai Islam dapat berpadu dengan semangat punk dalam bentuk yang unik. Misalnya, komunitas “Taqwacore” di Amerika Serikat (AS), yang mengacu pada novel fiksi Michael Muhammad Knight berjudul The Taqwacores (2003), menginspirasi banyak anak muda Muslim untuk menjadikan punk sebagai medium eksplorasi spiritual dan kritik sosial.

Mereka menolak Islam yang kaku dan dogmatis, tetapi tetap berpegang pada prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan.

Di Indonesia, fenomena “punk Muslim” telah lama menjadi medium bagi kaum muda untuk menyuarakan kritik sosial dan ketidakadilan melalui musik. Salah satu contoh terbaru adalah kontroversi yang melibatkan lagu “Bayar Bayar Bayar” oleh Sukatani, sebuah band punk asal Purbalingga, Jawa Tengah. Lagu ini, yang dirilis pada Juli 2023 dalam album “Gelap Gempita”, secara eksplisit mengkritik dugaan praktik korupsi di kalangan aparat kepolisian dengan lirik seperti “Mau korupsi bayar polisi” dan “Mau jadi polisi bayar polisi”.

Baru-baru ini, lagu tersebut menghadapi dugaan penjegalan dari pihak berwenang, yang menganggap liriknya provokatif dan meresahkan. Tindakan ini mengingatkan pada peristiwa serupa di Aceh pada Desember 2011, ketika 64 anak punk ditangkap dan “dibina” oleh polisi syariat karena dianggap melanggar norma sosial dan agama. Kedua kasus ini mencerminkan ketegangan antara ekspresi budaya punk yang kritis terhadap otoritas dan upaya penegakan norma oleh aparat.

Dalam komunitas punk Muslim di Indonesia, beberapa band dan individu secara aktif menggabungkan unsur punk dengan nilai-nilai Islam. Salah satu contohnya adalah grup punk Marjinal, yang meskipun tidak secara eksplisit mengusung tema keislaman, sering menyuarakan keadilan sosial yang sejalan dengan nilai-nilai Islam.

Sementara itu, band seperti Kelelawar Malam dan The Borax juga mencerminkan semangat perlawanan punk dalam konteks sosial Indonesia. Meski tidak semua band punk di Indonesia mengidentifikasi diri sebagai “punk Muslim”, banyak dari mereka yang tetap menjalankan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Cover album “Gelap Gempita” Sukatani. INSTAGRAM/sukatani.band

Baca: Band Metal Saudi Gelar Konser di Jeddah, Seribuan Penggemar Kompak Bersorak

Nilai Islam dalam etos punk

Menafsir pendapat Pakar Sosiologi di Grinnell College, AS, Ross Haenfler dalam  Straight EdgeClean-living Youth, Hardcore Punk, and Social Change (2006),” meskipun punk sering diasosiasikan dengan ateisme atau sekularisme ekstrem, banyak nilai dalam gerakan ini yang sejatinya sejalan dengan ajaran Islam, seperti, pertama, keadilan sosial. Punk secara historis menentang eksploitasi dan penindasan, selaras dengan prinsip Islam yang menekankan keadilan bagi semua.

Kedua, kesederhanaan. Gaya hidup punk yang menolak materialisme dan konsumsi berlebihan memiliki kesamaan dengan konsep zuhud dalam Islam.

Berikutnya, atau ketiga, kritik terhadap otoritas yang korup. Islam sendiri mengajarkan untuk menentang ketidakadilan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dalam memperjuangkan hak-hak kaum tertindas di Makkah.

Keempat, solidaritas dan kepedulian Sosial. Komunitas punk kerap membantu kaum miskin, anak jalanan, dan kelompok yang termarginalkan—sesuatu yang juga ditekankan dalam ajaran Islam.

Terakhir, atau kelima, anti-dogmatisme. Punk menolak doktrin yang dianggap menindas dan kaku, sementara dalam Islam terdapat konsep ijtihad, yang menekankan pentingnya berpikir kritis dalam memahami ajaran agama.

Baca: Cahaya Selawat Tembus Keramaian Synchronize Fest, Ajakan ‘Cinta Nabi’ ala Haddad Alwi

Antara stigma dan realitas

Di Indonesia, punk sering mendapat stigma negatif sebagai gerakan liar dan tanpa aturan. Namun, banyak komunitas punk yang aktif dalam gerakan sosial, seperti membantu anak jalanan, kampanye hak buruh, dan advokasi lingkungan. Beberapa kelompok punk bahkan menjadikan Islam sebagai basis moral dalam aktivitas mereka, mengajarkan nilai-nilai Islam dalam pendekatan yang lebih terbuka dan inklusif.

Salah satu contoh yang mencolok adalah komunitas punk di Yogyakarta yang aktif dalam berbagai kegiatan sosial, termasuk mendirikan sekolah jalanan untuk anak-anak miskin. Beberapa di antara mereka tetap menjalankan praktik keagamaan seperti shalat dan puasa, meskipun dalam bentuk yang tidak konvensional. Di sisi lain, band-band seperti Marjinal dan kolektif punk di Jakarta juga sering terlibat dalam advokasi hak-hak buruh dan solidaritas terhadap masyarakat marginal.

Sejatinya, punk dan Islam bukanlah dua dunia yang harus selalu berseberangan. Ada titik temu yang memungkinkan keduanya berjalan berdampingan, terutama dalam konteks perlawanan terhadap ketidakadilan dan ketimpangan sosial.

Narasi “punk Muslim” yang berkembang di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan bahwa ekspresi keislaman bisa hadir dalam berbagai bentuk, termasuk melalui semangat pemberontakan khas punk yang tetap berlandaskan nilai-nilai spiritual dan etika sosial Islam.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.