Ikhbar.com: Idulfitri bukanlah akhir. Sebaliknya, perayaan Lebaran adalah titik mula untuk menerapkan segala hasil tempa selama bulan Ramadan.
Demikian disampaikan Khadimul Ma’had Pondok Pesantren Ketitang Cirebon, KH Sobih Adnan dalam dialog bertema “Fenomena ‘Abrasi’ Makna Idulfitri” di Metro TV, Selasa, 1 April 2025. Menurutnya, Idufitri adalah momentum untuk meneguhkan kebiasaan baik yang telah dibentuk selama Ramadan, bukan sekadar euforia sesaat.
“Kita hampir selalu memaknai Idulfitri sebagai garis finish, padahal semestinya sebagai titik mula,” ungkapnya.
Menurut Kiai Sobih, anggapan itu pun bukan terbentuk tiba-tiba. Hal itu muncul di antaranya dari kebiasaan masyarakat Indonesia yang akrab dengan ucapan “Minal ‘aidin wal faizin” di setiap Lebaran tiba.
“Dalam tahniah itu ada lafaz ‘Faizin’ yang lebih sering dimaknai ‘kemenangan.’ Padahal, ada banyak hal lain yang juga perlu dipertimbangkan dari sisi kebahasaan,” katanya.
Baca: Lebaran Dorong Manusia Jadi Pemaaf, Kata Psikolog
Menimbang kekayaan makna
Sosok yang juga sebagai Mudir ‘Aam Ikhbar Foundation tersebut menjelaskan, pemahaman Lebaran bukan sebagai titik akhir itu justru bisa dimaknai dari redaksi ucapan tersebut. Sebab, kalimat “Minal ‘aidin wal faizin” sejatinya dibangun dalam format doa.
“Jangan lupa, di dalamnya ada makna tersimpan ‘semoga.’ Lengkapnya, semoga kita termasuk orang-orang yang kembali, dan orang-orang yang meraih kemenangan. Jadi, semoga menang, belum tentu menang,” katanya.
Hal serupa juga terdapat dalam tahniah lainnya, misalnya, redaksi “Taqabbalallahu minna wa minkum” yang bermakna semoga Allah Swt menerima amal ibadah kita (selama Ramadan).
“Dari ucapan itu juga tidak ada garansi ‘diterima.’ Hanya sebatas ‘Semoga atau berharap diterima.’ Ini menunjukkan bahwa Lebaran bukanlah pencapaian, tetapi sesuatu yang harus terus diupayakan,” ungkapnya.
Kiai Sobih mengingatkan, secara keseluruhan frasa Idulfitri berasal dari dua kata bahasa Arab, yakni “Id” dan “Fitri.” Sementara bahasa Arab merupakan salah satu bahasa di dunia yang memiliki pola pemaknaan yang tidak tunggal.
“Bahasa Arab itu bahasa dengan pemaknaan yang kaya dan beragam. Satu kata ‘Id,’ misalnya, secara keumuman diartikan ‘kembali,’ tapi jangan lupa, bisa juga bermakna ‘kebiasaan’ atau ‘pembiasaan.’ Pemaknaan inilah yang kemudian diserap bahasa Indonesia menjadi ‘adat,” jelasnya.
Oleh karena itu, lanjut Kiai Sobih, nama Idulfitri tidak hanya bisa dimaknai sebagai kembali suci, tetapi juga “membiasakan hal-hal yang bisa menuju kesucian.”
“Artinya, hasil dari gemblengan Ramadan, berupa aktivitas ibadah yang lebih padat dan ekstra harus terus dibiasakan dari mulai Lebaran dan bulan-bulan berikutnya,” kata dia.
Baca: Sebab Lebaran dan Awal Ramadan Harus Dipastikan dengan Rukyat juga Sidang Isbat
Ramadan sebagai madrasah
Secara lebih lanjut Kiai Sobih menyebut Ramadan ibarat madrasah yang membentuk karakter dan kedisiplinan dalam beribadah. Selama sebulan penuh, umat Islam menjalani berbagai latihan spiritual yang mengajarkan kesabaran, ketulusan, dan keteguhan hati. Oleh karena itu, setelah Ramadan berakhir, kebiasaan baik yang telah dibangun seharusnya tetap dipertahankan.
“Bayangkan, mengikuti short course (pelatihan singkat) saja bisa mengubah kebiasaan kita. Apalagi ini satu bulan penuh kita ditempa dengan ibadah yang lebih intens. Semestinya ada sedikit banyak yang membekas,” katanya.
Meski begitu, tak dipungkiri bahwa mempertahankan semangat ibadah setelah Ramadan memang merupakan tantangan yang cukup besar. Kiai Sobih mencontohkan bagaimana saat Ramadan, orang-orang bersemangat salat malam, tadarus Al-Qur’an, dan bersedekah. Namun, setelah Lebaran, semangat itu perlahan-lahan meredup. Padahal, hakikat dari kemenangan sejati adalah keberlanjutan dari kebiasaan baik tersebut.
“Menjaga kebiasaan baik setelah Ramadan memang sulit. Lingkungan tidak lagi memberikan dorongan seperti saat Ramadan. Tetapi justru di situlah ujian sebenarnya, apakah kita mampu tetap istikamah?” tambahnya.
Oleh karena itu, penting untuk terus memahami atau memposisikan Ramadan bukan sebagai akhir. Dengan tujuan, status ketakwaan yang menjadi tujuan diwajibkannya puasa Ramadan bisa benar-benar terus diikhtiarkan tetap lestari dan terjaga.
“Nah, kalau memaknai Lebaran sebagai hari kemenangan semata, bisa-bisa kita lalai dan mudah kembali terjerembab dalam kesalahan,” katanya.