Ikhbar.com: Umat Muslim di Indonesia merayakan Idulfitri dengan tradisi saling maaf-memaafkan setiap tahunnya. Tradisi ini dikenal dengan istilah “halalbihalal,” yang berkembang menjadi sebuah kebiasaan sosial untuk mempererat hubungan setelah menjalani bulan Ramadan.
Namun, apakah meminta dan memberi maaf adalah tindakan yang mudah dilakukan? Dari perspektif psikologis, proses maaf-memaafkan dapat menjadi tantangan tersendiri, tergantung pada berbagai faktor individu dan sosial.
Secara kultural, Idulfitri tidak hanya menjadi momen kemenangan setelah berpuasa sebulan penuh, tetapi juga menjadi kesempatan untuk membersihkan hati dari dendam dan kesalahan masa lalu.
Baca: Tafsir QS. Al-A’la Ayat 14-15: Idulfitri yang Hakiki
Saling memaafkan diyakini sebagai cara untuk memperbaiki hubungan sosial dan menghilangkan rasa permusuhan.
Dalam konteks Indonesia, tradisi ini semakin kuat dengan adanya budaya silaturahmi yang mengharuskan seseorang untuk mengunjungi kerabat dan tetangga, sekaligus meminta maaf atas kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja.
Tantangan psikologis dalam proses maaf-memaafkan
Dari sudut pandang psikologi, memaafkan bukanlah proses yang selalu mudah. Menurut penelitian Worthington dan Scherer (2004) dalam jurnal Personality and Social Psychology Review, memaafkan melibatkan proses kognitif dan emosional yang kompleks.
Orang yang merasa disakiti sering mengalami dilema emosional antara keinginan untuk melepaskan kemarahan dan dorongan untuk mempertahankan rasa sakit yang dialami.
Hal ini menunjukkan bahwa memaafkan bukan sekadar tindakan simbolis, melainkan proses psikologis yang memerlukan waktu dan niat yang tulus.
McCullough et al. (1998) dalam buku Forgiveness: Theory, Research, and Practice menjelaskan bahwa proses memaafkan melibatkan tiga tahap utama. Pertama, tahap Cognitive Uncovering, yakni ketika seseorang menyadari rasa sakit dan dampak dari kesalahan orang lain.
Kedua, tahap Emotional Letting Go, yaitu melepaskan emosi negatif seperti dendam dan kebencian. Ketiga, tahap Behavioral Commitment, yaitu berkomitmen untuk tidak menyimpan rasa sakit dan membuka diri untuk memperbaiki hubungan.
Baca: Jaga Kesehatan Mental, Nyai Rihab Said Aqil: Harus Peka Memilih Tradisi Idulfitri
Dalam praktiknya, tidak semua orang dapat melalui tahapan ini dengan mudah. Faktor seperti tingkat kedekatan hubungan, beratnya kesalahan yang dilakukan, serta pengalaman masa lalu dengan individu yang bersangkutan dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk memaafkan.
Di sisi lain, proses meminta maaf juga memiliki tantangan tersendiri. Menurut penelitian Schlenker dan Darby (1981) dalam Social Psychology Quarterly, meminta maaf bukan hanya sekadar mengucapkan kata “maaf,” tetapi juga melibatkan kesadaran akan kesalahan yang dilakukan, rasa tanggung jawab, dan keinginan untuk memperbaiki hubungan.
Tindakan ini sering kali sulit dilakukan karena berkaitan dengan ego dan rasa malu. Banyak orang merasa meminta maaf berarti mengakui kelemahan atau kekalahan, sehingga mereka cenderung menghindarinya.
Namun, penelitian Exline et al. (2003) dalam Journal of Personality and Social Psychology menunjukkan bahwa individu yang mampu meminta maaf dengan tulus cenderung memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih baik, karena mereka dapat melepaskan beban emosional yang terkait dengan kesalahan yang telah dilakukan.
Baca: Pasca-Idulfitri Perspektif Sayyidina Ali, Al-Ghazali, dan Rumi
Proses meminta maaf yang efektif menurut teori psikologi melibatkan beberapa elemen penting. Pertama, adanya pengakuan kesalahan, yakni seseorang harus secara jujur menyadari, dan menerima bahwa tindakan mereka telah menyakiti orang lain.
Kedua, ekspresi penyesalan yang tulus, yang melibatkan komunikasi empatik terhadap perasaan orang yang disakiti. Ketiga, niat untuk memperbaiki keadaan, seperti menawarkan kompensasi atau menunjukkan perubahan perilaku sebagai bukti kesungguhan dalam meminta maaf.
Ketika elemen-elemen ini terpenuhi, kemungkinan permintaan maaf diterima dan hubungan dapat pulih menjadi lebih tinggi.
Idulfitri ciptakan momen saling memaafkan massal
Idulfitri memberikan tekanan sosial yang positif untuk mendorong proses memaafkan. Dalam psikologi sosial, terdapat konsep social reinforcement atau dorongan sosial, yakni tindakan positif yang diperkuat oleh lingkungan sosial.
Ketika banyak orang terlibat dalam praktik maaf-memaafkan, individu akan lebih terdorong untuk melakukan hal yang sama demi mempertahankan harmoni sosial.
Penelitian Enright et al. (1991) dalam Journal of Moral Education menunjukkan bahwa faktor lingkungan dan budaya sangat berperan dalam mendorong seseorang untuk lebih terbuka dalam memberikan maaf.
Selain itu, ajaran Islam juga menekankan pentingnya memaafkan sebagai bentuk ibadah dan tanda ketakwaan.
Allah Swt berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ
“Jadilah pemaaf, perintahlah (orang-orang) pada yang makruf, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh.” (QS Al-A’raf: 199).
Ayat ini mempertegas bahwa memaafkan bukan hanya tuntutan sosial, tetapi juga bagian dari ajaran moral Islam.
Tradisi saling memaafkan di hari raya Idulfitri merupakan perpaduan antara ajaran agama dan budaya yang telah mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia.
Namun, dari perspektif psikologis, memaafkan bukanlah proses yang sederhana. Dibutuhkan kesadaran, kesiapan emosional, dan dorongan sosial agar seseorang dapat benar-benar memberikan atau menerima maaf dengan tulus.
Dengan memahami aspek psikologis ini, diharapkan tradisi maaf-memaafkan saat Idulfitri dapat dilakukan dengan lebih bermakna dan mendalam, bukan sekadar formalitas belaka.