Ikhbar.com: Perang tidak cukup dilakukan hanya dengan saling menodongkan senjata, tetapi juga saling mempertahankan batas-batas wilayah dimulai dari selembar gambar yang lazim disebut peta.
Ahli geografi dari University of North Carolina di Chapel Hill, Amerika Serikat (AS), Linda Quiquivix menegaskan, hal itu tak terkecuali pada konflik perebutan batas tanah Israel dan Palestina. Peta menjadi pemicu konflik dan alat propaganda yang cukup memantik.
“Google Earth diluncurkan pertama kali pada 2005, tetapi setahun setelahnya, peta maya itu menggegerkan dunia nyata,” ungkap Quiquivix, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera, Selasa, 23 Januari 2024.
Baca: Tidak cuma Tanah, Israel juga Klaim Makanan Khas Palestina
Kekuatan Peta Nakba
Google Earth merupakan sebuah program globe virtual berbasis citra internet yang mampu memperlihatkan rumah, warna mobil, bahkan bayangan orang hingga rambu jalan. Aplikasi ini membolehkan para penggunanya untuk mencari alamat, maupun memasukkan suatu koordinat.
“Banyak orang yang menggunakan aplikasi ini menambah datanya sendiri dan menjadikan mereka tersedia melalui sumber yang berbeda, seperti BBS atau blog,” kata Quiquivix.
Berkat peluang tersebut, lanjut dia, seorang pria Palestina dari Jenin, Thameen Darby berhasil menyusun Peta Nakba. Dia memetakan desa-desa di Palestina yang hancur dan ditinggal penduduknya sejak perang Arab-Israel tahun 1948.
“Peta tersebut menunjukkan bagian-bagian Palestina, yang bahkan tidak terlihat di peta yang dibuat oleh pemerintah mereka sendiri,” katanya.
Pada 2006, Peta Nakba itu memicu kontroversi dan kemarahan di kalangan warga Israel. Mereka melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib di negara mereka dengan tuduhan pelaku telah melakukan “serangan” geografis.
Sejak saat itu, pertarungan peta terus menyertai konflik Israel dan Palestina di Jalur Gaza. Media Semafor melaporkan, bahwa Planet Labs, perusahaan yang biasa menyediakan citra satelit penting, mulai membatasi dan mengaburkan citra di Gaza seiring agresi militer Israel yang dimulai pada 7 Oktober 2023 lalu.
“Peta Nakba disebut juga peta bottom-up atau peta perlawanan,” kata Quiquivix.
Quiquivix juga mengaku menemukan fakta bahwa setelah Perjanjian Oslo pada 1993, sejumlah pemimpin Palestina justru malah membuat peta yang lebih sesuai dengan kehendak Israel.
“Mereka hanya memetakan Jalur Gaza dan Tepi Barat. Tidak seluruh Palestina,” katanya.
Hal tersebut, lanjut dia, telah menyebabkan terhapusnya kartografi warga Palestina.
“Berbeda dengan peta garapan Darby yang mencakup hingga ke citra desa sehingga bisa digunakan para pengungsi Palestina untuk menunjukkan kepada dunia atas kehancuran mereka akibat ulah Israel,” ungkapnya.
Beruntung, kata Quiquivix, kemunculan internet telah memudahkan para pengguna, seperti yang terjadi di Palestina, untuk berbagi peta mereka kepada sesama komunitas yang senasib sependeritaan.
“Sekarang, negara-negara besar sulit mendominasi dan menyembunyikan kecurangan mereka,” ungkap Quiquivix.
Baca: Al-Mawasi, Kurang dari Separuh Luas Bandara Soetta untuk Tampung 1,8 Juta Pengungsi Gaza
Kebohongan peta
Keberadaan Peta Nakba yang menggugat denah wilayah buatan Israel hanya merupakan satu contoh dari bagaimana sebuah peta yang sebelumnya telah dianggap mapan dan diakui oleh banyak orang, ternyata menyimpan kebohongan-kebohongan. Dengan memanfaatkan kreativitasnya, Darby mampu menunjukkan sedikit banyak gambaran asli yang selama ini tertutupi langsung melalui tangkapan satelit yang merekam foto bumi secara nyata.
Kartografer (pakar pembuat peta) di Maxwell School of Citizenship and Public Affairs, di Syracuse University, AS, Mark Monmoneir, dalam How to Lie with Maps (1991) menegaskan, memanipulasi peta merupakan cara lama yang kerap dilakukan di masa-masa peperangan.
“Berbohong dengan peta tidak hanya mudah, tetapi juga penting,” tulis dia.
Monmoneir menunjukkan bahwa pekerjaan memadatkan ruang tiga dimensi yang kompleks ke dalam selembar kertas dua dimensi untuk dijadikan peta sangat berpotensi menghasilkan produk yang bersifat reduktif.
“Pada umumnya, peta juga dibuat oleh mereka yang secara historis mempunyai kekuasaan. Oleh karena itu, peta terkadang hanya penanda dari proyeksi tentang cara orang memandang dunia, proyeksi yang bias dan penuh prasangka,” kata Monmoneir.
Peta, lanjut dia, kerap sengaja dibelokkan untuk memutarbalikkan persepsi masyarakat mengenai ruang dan isu tertentu.
“Seorang propagandis yang baik tahu bagaimana membentuk opini dengan memanipulasi peta,” tulisnya.
Peta propaganda telah populer sejak sebelum abad ke-20 ketika negara-negara yang bertikai menggunakan kartografi untuk melanjutkan agenda di masa perang. Mereka biasa menggambarkan lokasi musuhnya dengan karikatur bernada negatif.
Contohnya, para kartografer Inggris lazim menggunakan gurita untuk menggambarkan Rusia. Begitu juga pembuat peta asal Prancis akan melukis Winston Churchill dengan semacam siput atau bekicot. Peta propaganda ini sangat terkenal dan banyak digunakan selama Perang Dingin.
Monmoneir menjelaskan, templat umum yang digunakan peta dunia saat ini disebut proyeksi Mercator, yang dibuat oleh kartografer Eropa Geert de Kremer pada 1569. Proyeksi ini dinilai menyesatkan karena mendistorsi proporsi secara signifikan.
Misalnya, meskipun Afrika bisa menampung tiga wilayah Kanada, tetapi Afrika digambarkan secara signifikan lebih kecil dan kurang detail ketimbang peta Kanada.
“Begitu juga Alaska yang terlihat lebih besar dari Meksiko, padahal kenyataannya lebih kecil. Eropa pun (tanpa Rusia) digambarkan berukuran sama dengan Amerika Selatan. Kenyataannya, Amerika Selatan hampir dua kali lebih besar,” katanya.
“Anehnya lagi, Eropa menjadi titik pusat dalam peta. Padahal, Asia lebih pantas karena merupakan benua dengan populasi terbesar, daratan terluas, dan pusat saraf perekonomian dunia,” sambung Monmoneir.
Baca: Al-Muqaddasi, Bapak Geografi Dunia Asal Palestina
Caplok-mencaplok wilayah
Siasat kebohongan lewat peta pun kerap dilakukan para pemimpin dunia. Pada Mei 2019, Presiden AS, Donald Trump mengesahkan peta yang menunjukkan Dataran Tinggi Golan adalah milik Israel, bukan Suriah.
Padahal, Dataran Tinggi Golan diduduki dan diambil paksa Israel selama Perang Enam Hari pada 1967. Mereka lalu menganeksasinya pada 1981, tetapi belum diakui komunitas internasional.
Pada November di tahun yang sama, Majelis Rendah Parlemen Rusia juga mengumumkan bahwa Apple Maps telah menampilkan Krimea sebagai bagian dari wilayah mereka. Krimea merupakan wilayah yang dianeksasi Rusia dari tetangganya, Ukraina pada Maret 2014.
Awalnya, Apple menyarankan untuk menampilkan Krimea sebagai wilayah yang tidak ditentukan. Namun, atas berbagai tekanan, mereka akhirnya mematuhi keinginan Rusia sehingga mendapat kecaman dari Ukraina dan sejumlah masyarakat internasional.
Baru pada 2022 lalu, Apple kembali menandai Krimea sebagai bagian dari Ukraina.
Hal yang sama juga dilakukan Tiongkok yang menggunakan peta maritimnya untuk mengrklaim seluruh Laut Cina Selatan. Dengan menggunakan garis berbentuk U yang disebut sembilan garis putus-putus, peta itu menyatakan bahwa Laut Cina Selatan sepenuhnya milik mereka. Hal ini kemudian menjadi sumber perselisihan antara Tiongkok dan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam.
Begitu pula India yang mengakui seluruh wilayah Kashmir sebagai milik mereka. Pada 2020, Islamabad pun membalas dengan membuat sebuah peta yang menunjukkan bahwa lembah di ujung paling barat barisan Himalaya itu sebagai milik Pakistan.