Ikhbar.com: Islam tidak hanya mengajarkan umatnya tentang peribadatan, tetapi juga menyumbang khazanah luhur bagi peradaban dunia.
Peneliti dari The Foundation for Science, Technology, and Civilisation (FSTC), Dr. Zohor Idrisi mengungkapkan, salah satu pengaruh kehadiran Islam yang paling berharga di antaranya ditemukan dalam bidang kuliner. Menurutnya, para ahli gizi Islam-lah yang mengenalkan konsep makanan sehat di dunia, khususnya di Eropa.
“Pada abad empat sebelum Masehi, orang-orang Yunani memang menemukan tebu di dataran India. Namun, setelah itu, pengembangannya dilakukan oleh para ahli dari Islam, sehingga menyebar lewat budidaya gula di Mesir, Suriah, Afrika Utara, hingga Spanyol,” katanya, dikutip dari Muslim Heritage, pada Sabtu, 16 September 2023.
“Bahasa Arab untuk penyebutan gula pun memengaruhi banyak bahasa seperti Turki, India, Spanyol, dan Inggris. Yakni berupa kata ‘sugar‘ yang berasal dari ‘as-sukar,” sambungnya.
Baca: Khianat Barat terhadap Peradaban Islam
Digagas para dokter Muslim
Menurut dia, jatuhnya Kekaisaran Romawi pada abad ke-5 Masehi sempat menghentikan kemajuan peradaban manusia. Baru dua abad berikutnya, masyarakat Muslim memunculkan proporsi yang sebanding dan mendobrak transisi peradaban dunia hingga ke kondisi yang lebih maju dan berkembang dari era sebelumnya.
“Ketika berbagai daerah memeluk Islam, orang-orang Arab menemukan berbagai macam buah-buahan dan sayuran yang sebelumnya tidak mereka kenal. Transplantasi keanekaragaman tanaman dan pohon yang menghasilkan buah ke berbagai iklim menjadi tantangan yang memotivasi terjadinya revolusi pertanian dalan Islam,” ungkap Idrisi.
Secara paralel, para dokter Muslim memprakarsai penelitian tentang ketersediaan tumbuhan dan rempah-rempah dan menjadikan mereka sebagai otoritas dalam memutuskan apa yang baik dimakan dan kapan waktu yang tepat memakannya demi kesehatan manusia.
Idrisi menyebutkan, para dokter yang melahirkan beberapa karya penting tentang panduan dan pola makan sehat itu antara lain:
1. Thâbit Ibnu Qurra (836-901) yang menulis sejumlah risalah
2. Abû Bakr al-Râzî (865-925) berupa Al-Hâwî fî ‘t-tibb
3. Ibnu Sina (980-1037) melalui Al-Qânûn fî ‘t-tibb
4. Ibnu Sa’id al-Qurtubi (abad ke-10) dengan karya Kitâb khalq al-janîn wa tadbîr al-hibâla (Diet untuk janin dan ibu hamil)
5. Abu Marwan Ibnu Zuhr (1092-1161), yakni Al-Taysîr fî ‘l-mudâwât wa-‘l-tadbîr Kitâb al-aghdia (Buku Nutrisi Al-Taysir karya Ibnu Zuhr).
Doktor Idrisi yakin, seni kuliner dalam dunia Islam tidak berkembang secara sembarangan. Sebaliknya, ia menjadu konsep tersendiri berdasarkan penelitian medis menyeluruh atas sumbangsih dan saran para ahli gizi.
“Bahan-bahannya dipilih dan disusun menjadi masakan. Selanjutnya disebarkan ke masyarakat luas,” tulisnya.
“Bahkan, hidangan-hidangan tersebut memiliki khasiat terapeutik dan bertindak sebagai obat pencegahan dengan memperkuat tubuh agar melawan penyakit dan memperlambat proses penuaan,” katanya.
Menurut dia, semua gagasan itu bersumber dari salah satu hadis Nabi Muhammad Saw tentang pentingnya menjaga kesehatan.
“Sebenarnya ada sebuah hadis yang mendefinisikan kewajiban manusia terhadap kesehatan tubuhnya, yakni Ina li-jasadika ‘alayka haqqan. Tubuhmu mempunyai hak atas dirimu,” terangnya.
Seiring bertambahnya jumlah resep, para penulis Muslim mulai menuangkannya menjadi buku-buku yang terkenal dan paling dicari oleh masyarakat Eropa.
Sejumlah buku masakan tersebut di antaranya:
1. Kanz al-fawâ’id fî tanwî’ al-mawâ’id, penulis: anonim, diterbitkan di Mesir abad ke-10
2. Fadhalât al-khiwân fî atayyibat at-ta’âm wa-‘l-‘alwân, penulis: Ibnu Razîn Attujîbî, terbit di Spanyol pada abad ke-12
3. Kitâb at-tabîkh fî al-Maghrib wa-‘l-Andalus, penulis: anonim, dicetak di Maroko pada abad ke-12
4. Kitâb at-tabîkh, penulis: Mohammed al-Baghdâdî, dicetak di Irak pada abad ke-13
5. Kitâb at-tabîkh, penulis: Ibnu Sayyâr al-Warrâq, diterbitkan di Irak pada abad ke-13
6. Tadhkira, penulis: Dâwûd al-Antâkî, dicetak di Suriah pada abad ke-13
7. Wasla ‘l-habîb fî wasf al-tayyibât wa-t-tibb, penulis: Ibnu ‘Adîm, diterbitkan di Suriah pada abad ke-13
“Selain itu, untuk pertama kalinya, sebagian makanan yang sebelumnya hanya tersedia di istana, oleh para dokter Muslim menjadi terdemokratisasi dan karenanya tersedia untuk seluruh masyarakat awam,” katanya.
“Nutrisi telah berkembang menjadi terapi yang meningkatkan kesehatan masyarakat sesuai dengan lingkungan dan musim dalam setahun,” tambah Idrisi.
Baca: Alkimia, bukan Kimia, Cara Barat Singkirkan Peran Ilmuwan Islam
Demokratisasi makanan
Pada abad ke-13, buku-buku dokter Muslim dan kompilasi resep menarik perhatian para penguasa dan Gereja di Barat. Minat meningkat ketika Ferrara, Salerno, Montpellier, dan Paris menjadi pusat studi kedokteran Muslim.
Menurut Idrisi, saat itu, di kalangan penguasa dan bangsawan Eropa, permintaan akan bahan makanan dan rempah-rempah Muslim meningkat pesat. Namun, masyarakat umum, khususnya di Eropa Utara, hanya menjalani pola makan terbatas berupa daun bawang, bawang bombay, kubis, kangkung, apel, dan roti dengan sesekali tambahan daging atau ikan.
“Di sisi lain, masyarakat Eropa Selatan memiliki kehidupan yang lebih baik dengan salad, berbagai macam buah dan sayuran, tetapi yang terpenting minyak untuk menggoreng, makanan penutup manis dan keju,” katanya.
Idrisi menceritakan, di masa itu, para bangsawan Eropa tidak gemar makan sayur-sayuran dan hanya menikmati segala hidangan berbahan daging.
“Akibatnya, mereka banyak menderita penyakit asam urat,” katanya.