Ikhbar.com: Politik mulanya bermakna baik. Namun, dalam proses dan praktiknya, banyak yang telah menjadikan politik sebagai sesuatu yang tak bernilai karena mengabaikan moral dan akhlak.
Pakar tafsir Al-Qur’an Indonesia, Profesor KH. Muhammad Quraish Shihab menerangkan, ada banyak pengertian politik saat ditinjau dari Bahasa Arab.
“Salah satunya adalah mengartikan politik sebagai ‘fannul mumkin‘ atau seni mewujudkan sesuatu yang bisa terjadi,” katanya, dalam tayangan di saluran YouTube Quraish Shihab, dikutip Kamis, 14 September 2023.
Menurut pengarang Tafsir Al-Mishbah tersebut, ada tiga hal yang biasa ditemukan dalam hidup. Yakni sesuatu yang mustahil, wajib ada, dan yang kemungkinan bisa terjadi.
“Yang wajib ada itu Tuhan. Yang mustahil, ada dua macam. Mustahil menurut akal dan mustahil menurut kebiasaan,” katanya.
“Dua tambah dua sama dengan lima adalah mustahil menurut akal. Sedangkan pernyataan di bawah tanah ini, misalnya, ada berlian, adalah contoh mustahil dari segi kebiasaan,” sambung Prof. Quraish.
Karena disebut seni mewujudkan kemungkinan, maka apapun bisa terjadi dalam ranah politik.
“Maka apapun yang bisa terjadi menurut kebiasaan, bisa juga menjadi bidang politik,” katanya.
Baca: Bahasa Arab, dari Pengembara ke Penjuru Dunia
Kendali dan kuman
Lebih lanjut, Prof. Quraish mengatakan bahwa akibat ditinggalkannya moral dan akhlak dalam politik praktis, maka sebagian besar kerap menghubungkan atau menganggap politik sebagai biang korupsi.
“Dalam bahasa lainnya, politik disebut dengan siasat. Syekh Muhammad Abduh mengatakan, ‘Allah mengutuk siasat,’ berasal dari sasa-yasusu-siasatan,” katanya.
Jika merujuk kata siasat, maka orang yang melakukan kerja-kerja politik disebut sais.
“Dalam Bahasa Indonesia, sais itu kusir atau pengemudi. Karena seseorang yang melaksanakan siasat itu sebagaimana seorang pengemudi. Dia harus punya target dalam perjalanan. Kalau ada lubang di hadapannya, maka ia harus mengendalikan kemudinya agar bisa terhindar dari lubang itu,” jelas Prof. Quraish.
Sementara kata turunan lainnya dari siasat, yaitu ‘sus‘ atau kuman yang menjadikan gigi berlubang dan menimbulkan bau.
“Dalam praktik politik, memang yang kotor dan penuh kuman itu harus dicabut supaya sembuh,” katanya.
Prof. Quraish menyebut, orang yang diduga keras pertama kali memperkenalkan kata politik adalah filsuf bernama Plato pada abad 4 sebelum Masehi.
“Menurut Plato, sebenarnya manusia ini dalam kehidupan kesehariannya itu berpolitik. Meteka selalu berusaha untuk bekerja sama mencapai kemaslahatan bersama,” kata Prof. Quraish.
Baca: Mendeteksi Istilah Politik dalam Al-Qur’an
Menurut Al-Qur’an
Menurut ayah dari presenter kondang Najwa Shihab itu, Al-Qur’an tidak sekalipun menyebutkan kata siasat. Akan tetapi ada padanan yang menyerupai makna tersebut, yakni kata “hikmah.”
“Diambil dari kata ‘hakama‘ berarti mencegah. Kata turunan lainnya yakni ‘hukum’ bermakna mencegah kezaliman, sedangkan seorang ‘hakim’ merupakan sosok yang menetapkan hukum untuk menciptakan kemaslahatan dan mencegah kezaliman. Dari akar yang sama pula, lahir hakama artinya kendali,” ungkapnya.
Prof. Quraish menganalogikan, agar seseorang bisa menyetir atau mengendalikan mobil, maka dibutuhkan sebuah ilmu. Tetapi itupun belum cukup, karena diperlukan pula sebuah keterampilan.
“Di Mesir ada ungkapan ‘Mengemudi itu berisi ilmu, seni, dan akhlak.’ Pun dalam politik, harus ada pengetahuan, paling tidak tentang bidang yang akan ditangani,” katanya.