Ikhbar.com: Sampah plastik tengah menjadi ancaman serius bagi kelestarian lingkungan dan keberlangsungan kehidupan di bumi, terlebih bagi habitat yang berada di lautan. Tim peneliti internasional yang dipimpin 5 Gyres Institute di Los Angeles menyebutkan, sebanyak 171 triliun keping plastik kini telah mengambang di samudra.
Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Ny. Hj. Dr (Cand) Siti Qori’ah Mujtahid mengatakan, Indonesia termasuk satu negara yang telah menyumbang sampah plastik terbanyak di dunia. Mengutip data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dari total sampah nasional di tahun 2021 sebanyak 68,5 juta ton, sebesar 17% atau sekitar 11,6 juta ton di antaranya berupa sampah plastik.
“Padahal sampah plastik merupakan yang paling sulit terurai. Kantung plastik, misalnya, butuh waktu terurai dari 10 hingga 1.000 tahun, botol plastik 450 tahun, sedangkan kaleng bekas minuman ringan butuh sekitar 80 hingga 200 tahun,” katanya dalam Hiwar Ikhbar #14 bertema “Jihad Tata Kelola Sampah ala Ibu Qori’ah” di Pondok Pesantren Hamalatudzikra Putatpayung, Cirebon bersama Ikhbar.com, Sabtu, 9 September 2023.
Baca: Teladan Tata Kelola Sampah ala Ibu Qori’ah
Mencegah bahaya dengan kesadaran
Menurut Ibu Qori’ah, sapaan akrabnya, potensi dampak dan bahaya yang ditimbulkan sampah plastik relatif lebih besar ketimbang jenis sampah lainnya. Partikel-partikel sampah plastik tidak hanya bisa membunuh sejumlah biota laut, melainkan juga akan menjadi racun yang berbahaya bagi kehidupan manusia.
“Nah, persoalannya adalah sekarang ini banyak dari kita yang menganggap perkara sampah sebagai problem sepele. Bahkan, untuk ambil bagian di dalamnya pun dianggap tidak bergengsi. Padahal, untuk jenis sampah secara umum saja, kita sudah berkali-kali dihadapkan dengan bencana penyakit, banjir, longsor, kerusakan lingkungan, dan sejumlah bahaya lainnya yang secara lansgung maupun tidak, itu diakibatkan oleh tumpukan sampah yang tidak dikelola dengan baik,” katanya.
Menurut sosok yang juga menjadi anggota Dewan Pembina Pondok Pesantren Hamalatudzikra Putatpayung Cirebon tersebut, pekerjaan rumah (PR) terbesar saat ini adalah kesadaran dan cara pandang masyarakat terkait pentingnya tata kelola sampah.
“Oleh karena itu, dalam gerakan tata kelola sampah dikenal adanya metode 3R, yaitu reuse (pemakaian kembali), reduce (mengurangi pemakaian barang sekali pakai), dan recycle (daur ulang). Tapi, sebenarnya ada satu lagi yang tidak kalah penting, yakni rethink atau berpikir ulang terhadap pemakaian segala sesuatu yang berpotensi menghasilkan sampah. Ini termasuk soal kesadaran,” jelasnya.

Menurut Ibu Qori’ah, kampanye tentang kesadaran terhadap tata kelola sampah ini perlu terus digaungkan demi keberlangsungan bumi di masa depan.
“Yang paling strategis, tentu melalui pendidikan. Dibutuhkan kurikulum yang benar-benar konsens dan fokus dalam membangun kesadaran generasi bangsa terhadap tata kelola sampah,” katanya.
Baca: Ini Tugas Berat Pendidik menurut Buya Husein
Kurikulum praktis
Persoalan sampah tidak akan selesai hanya lewat anjuran dan imbauan. Menurut Ibu Qori’ah, lembaga pendidikan harus berupaya memasukkan kesadaran terhadap lingkungan itu secara teori sekaligus praktik kepada para siswa.
“Minimal, mendidik siswa untuk tidak membuang sampah sembarangan. Kemudian, perlu juga kesadaran bahwa tidak semua sampah harus dibuang. Ada sampah-sampah yang jika berhasil diolah ulang, maka ia akan memiliki nilai ekonomis. Baik menjadi pupuk organik maupun dikreasikan menjadi produk daur ulang untuk jenis-jenis sampah non-organik,” ungkapnya.
Di sisi praktik, sekolah harus menyadari bahwa penanganan sampah di lingkungan pendidikan berbeda dengan sampah-sampah yang dihasilkan di rumah tangga.
“Penanganannya pun harus dimulai dari pemahaman terhadap perbedaan jenis sampah yang dihasilkan dari aktivitas rumah tangga dan lingkungan sekolah,” katanya.
Berdasarkan pengalamannya, Ibu Qori’ah menceritakan temuannya dari penelitian yang dilakukan di dua sekolah. Dari miniriset itu ditemukan bahwa sampah di lingkungan pendidikan relatif didominasi jenis plastik.
“Saya pernah melakukan miniriset di MI dan MTs Nurul Huda di Desa Japura Lor, Kecamatan Pangenan, dengan siswa kurang lebih total 1.000 orang, serta di SDIT KH Abdurrahman Mahmud, di Desa Mertapada Wetan, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon,” ungkapnya.
Selain riset, Ibu Qori’ah yang menggandeng komunitas Berlin (kepanjangan dari ‘gerakan bersih lingkungan’) yang terdiri dari para mahasiswa, melakukan pendampingan tata kelola dan upaya pengurangan produksi sampah. Pendampingan itu dilakukan dengan menerapkan program “Gerik” atau gelas dan piring unik. Para siswa diminta membawa wadah untuk minum dan makan langsung dari dapur mereka guna menghindari penggunaan plastik sekali pakai.
“Mulanya, produksi sampah di satu sekolah menghasilkan 15 tong yang terbuat dari wadah bekas cat ukuran 25 kilogram. Lalu setiap harinya berkurang hingga 25 persen. Sampai akhirnya bisa tersisa hanya tiga sampai lima tong sampah per hari,” kata Ibu Qori’ah.
Program tersebut, aku Ibu Qori’ah bisa berhasil diterapkan berkat kekompakan seluruh pemangku kepentingan di lembaga pendidikan tersebut. Dimulai dari para siswa yang diwajibkan membawa wadah makan dan minum sendiri setara dengan kewajiban membawa alat tulis saat bersekolah serta menerapkan sistem yang ketat bagi para guru, pegawai, hingga para pedagang di lingkungan sekolah.
“Pedagang tidak boleh melayani dengan menggunakan plastik sekali pakai. Selain itu, pihak sekolah juga harus mendukung dengan menyediakan dan memperbanyak tempat pencucian wadah tersebut. Di sekolah tadi, dari awalnya tersedia lima keran, diperbanyak menjadi 25 keran, sebab aktivitas cuci gelas dan piring tentu juga akan meningkat,” katanya.
Tidak cuma ketika di sekolah, di rumah pun, para siswa pun dianjurkan terlibat dalam penanganan dan pengurangan produksi sampah. “Misalnya, dengan menganjurkan dapur mereka setidaknya disediakan minimal tiga tong sampah. Dua tempat digunakan untuk tempat sampah organik atau sampah basah, satu lagi untuk non-organik,” katanya.
“Jadi, ada teori, ketika sampah-sampah ini dipisahkan, sampah-sampah yang dihasilkan pun tidak akan mudah mengeluarkan bau busuk. Dan dari situ pula kita akan dengan mudah memilah sampah-sampah yang memiliki nilai ekonomis,” kata Ibu Qori’ah.
Dengan sistem pengajaran yang menyeluruh, lanjut dia, maka kesadaran tentang bahaya sampah pun akan meningkat. “Dan saya yakin, kalau ini diterapkan secara meluas, maka akan mendapatkan manfaat yang secara lebih signifikan,” katanya.