Ikhbar.com: Suasana kegembiraan dalam merayakan Idulfitri lazim merangsek ke sanubari umat Muslim. Akan tetapi, masyarakat disarankan untuk tetap pintar-pintar memilih tradisi yang dianggap baik selama merayakan Lebaran.
Psikolog ahli sekaligus Founder Griya Jiva, Dr. Ny. Hj. Rihab Said Aqil menekankan, tidak semua tradisi yang muncul dalam menyambut Hari Raya Idulfitri berasal dari anjuran agama. Menurutnya, muatan konten agama secara terang ada pada perintah menunaikan zakat fitrah, pelaksanaan Salat Id, wajib tidak berpuasa di hari Lebaran, dan seterusnya. Sedangkan mudik, memakai baju baru, berbagi rezeki lewat angpau atau THR, maupun kumpul-kumpul bersama saudara dan keluarga, hanyalah bagian dari tradisi yang dinilai baik.
“Suasana mudik, misalnya, itu tentu berdampak positif. Intinya, aktivitas yang dianggap menyenangkan itu penting dilakukan ketimbang kita melamun atau bahkan mengeluhkan sesuatu di hari-hari yang dianjurkan untuk bergembira saat menyambut hari kemenangan,” kata Nyai Rihab, kepada Ikhbar.com, Senin, 8 April 2024.
Baca: Nyai Tho’ah Kempek: ‘Takbiran’ adalah Sirene Kepedulian Sosial
Mengambil pelajaran dan hikmah
Putri ulama karismatik Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj itu menjelaskan, banyak orang juga menggaungkan istilah “the power of distraction” atau kekuatan gangguan. Akan tetapi, tidak setiap distraksi bisa dimaknai negatif.
“Hal itu juga bisa menjadi penting untuk refreshing (penyegaran) mental. Kita juga boleh disibukkan dengan pendalaman spiritualitas, aktivitas sosial, jeda dari rutinitas, dan lain sebagainya,” katanya.
Dia juga meyakini, tradisi Lebaran yang dilakukan masyarakat Indonesia secara keumuman bertujuan baik.
“Mudik, di dalam prosesnya tentu akan menghadirkan hikmah yang baik. Misalnya, dengan bermacet-macetan di jalan, itu bisa resiliensi (daya tahan/kesabaran). Sebab, sebagian orang juga percaya bahwa dengan menilai sisi baik sebuah tantangan akan membuat seseorang menjadi lebih matang,” katanya.
Baca: [Indana] Makna Fitri Bukan Suci, Apalagi Kosong
Bertahan dari godaan
Tradisi lainnya, lanjut Nyai Rihab, yakni saling berkunjung di hari Lebaran juga menjadi kebiasaan yang tak kalah bermanfaat.
“Menjaga koneksi sosial menjadi penting dengan tujuan agar bisa saling berbesar hati, terhibur, bercanda gurau, dan saling support (dukung),” katanya.
Meskipun begitu, Nyai Rihab berpendapat, seseorang juga harus bertahan dari godaan dampak negatif dari tradisi tersebut. Seperti, perilaku pamer, menggunjing, tidak menjaga perasaan atau tidak berempati dengan saudara yang kurang mampu, dan perbuatan kurang baik lainnya.
“Itu yang perlu diwaspadai. Tetap kuatkan kontrol diri dan tinggikan empati antar satu dengan yang lainnya,” pungkas Nyai Rihab.