Oleh: Ustaz Sofhal Adnan (Pemimpin Redaksi Ikhbar.com)
PREDIKAT menang diraih umat Islam di saat Idulfitri datang. Ekspresi itu mewujud setelah sebulan Ramadan merasa telah benar-benar berikhtiar dalam melawan godaan dahaga, lapar, juga amarah.
Di sisi lain, hari raya Idulfitri kerap dianggap sebagai momentum untuk mencapai status kembali suci. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya keliru, tetapi memang perlu penjabaran baru agar hari besar umat Muslim itu tidak melulu bertumpu sebagai sebuah pencapaian.
Baca: Sungkem ke Orang Tua atau Mertua, Manakah yang Harus Didahulukan Isrti saat Lebaran?
Pangkal kekeliruan memaknai “kembali suci” pada momentum Idulfitri muncul dari penafsiran kata “fitri” sebagai “asal kejadian” atau “kesucian.” Padahal, lafaz itu berakar dari kata “fithru” atau “ifthaar,” yang berarti berbuka. Artinya, Idulfitri sebagai penanda usainya kewajiban berpuasa.
“Fitri” bukan berasal dari kata “Fitrah” yang kerap diartikan suci.
“Fitri” bukan berasal dari kata “Fitrah” yang kerap diartikan suci. Pendapat tersebut dikuatkan dengan sejumlah redaksi hadis yang mengamini penggunaan kosa kata serupa. Termasuk, sebuah riwayat tentang disunahkannya umat Muslim untuk makan atau minum sebelum berangkat salat hari raya.
Meski begitu, penafsiran Idulfitri sebagai momentum meraih kesucian pun tidak boleh dikesampingkan. Sebab, dalam merayakannya, umat Islam menekankan tradisi saling memaafkan dengan tujuan menyucikan diri dari dosa-dosa antarmanusia.
Salah satu pemafhuman itu bisa diadopsi dari pendapat pakar tafsir Al-Qur’an, Prof. KH Muhammad Quraish Shihab. Menurutnya, kata “Id” bermakna “kembali” sedangkan “fithr,” bisa diartikan sebagai “agama yang benar atau suci.”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “suci” memiliki empat cabang pengertian. Pertama, dia memiliki arti bersih. Kedua, bebas dari dosa atau cela. Ketiga, suci juga diartikan dekat dengan makna keramat. Keempat, ia bisa dimaknai sebagai sesuatu yang murni.
Baca: Pasca-Idulfitri Perspektif Sayyidina Ali, Al-Ghazali, dan Rumi
Jika suci diartikan sebagai bersih, maka sudah seharusnya ia memiliki sifat yang terbebas dari noda dan coretan. Meski demikian, suci bukan berarti kosong tanpa isi. Justru sesuatu yang suci wajib memiliki kualitas yang berisi, bernilai, bermuatan baik. Jadi, jika Idulfitri dimaknai sebagai “kembali menjadi suci,” maka ada nilai yang terus harus terus dipertahankan hingga pasca-Lebaran.
Dengan pemahaman seperti itu, maka sudah sepatutnya bagi setiap Muslim untuk terus merawat semangat beribadah, baik spiritual maupun kebaikan sosial, yang diambil dan dipelajari dari hikmah serta keutamaan Ramadan, untuk terus diterapkan di sepanjang zaman.
Alhasil, Idulfitri bukanlah “kembali pada kekosongan.” Idulfitri jangan sampai hanya menjadi seremoni gegap gempita hingga seakan cuma menjelma perayaan merdeka dari kewajiban berpuasa. Naudzubillah min dzalik. Wallahu a’lam.[]