Ikhbar.com: Puluhan bintang terang di langit malam dunia modern masih menyandang nama-nama Arab. Fenomena ini tidak terjadi secara kebetulan. Ia merupakan warisan dari masa keemasan astronomi Islam antara abad ke-9 hingga ke-13.
Sejarawan astronomi, Steven Gibson dalam Star Names (2007) menjelaskan, hampir semua nama bintang yang masih dipakai saat ini berasal dari tradisi kuno. Nama-nama itu menempel erat pada bintang-bintang yang terang dan bisa dilihat dengan mata telanjang.
Nama-nama bintang seperti Sirius, yang berarti “yang menyengat” atau “terbakar,” menggambarkan kilau terangnya di malam hari. Nama lain, seperti Deneb, berarti “ekor” dalam bahasa Arab, mengacu pada posisinya di rasi Cygnus atau Angsa.
Beberapa nama terdengar jelas unsur Arabnya, seperti Algol yang berasal dari kata “al-Ghul” atau “makhluk mengerikan.” Awalan “al-“ sebagai artikel “sang” atau “yang” sering muncul. Namun, menurut Paul Kunitzsch, sejarawan asal Jerman yang dikenal sebagai otoritas terkemuka dalam kajian nama-nama bintang Arab, awalan ini kadang digunakan secara tidak konsisten setelah melewati proses translasi lintas bahasa dan zaman.
Banyak nama bintang lain berasal dari bahasa Yunani, Latin, dan Tiongkok. Akan tetapi, proporsi terbesar yang digunakan secara resmi oleh astronom dunia hingga hari ini justru berasal dari dunia Islam abad pertengahan.
Baca: Maulid Nabi dari Kacamata Astronomi
Dari Alexandria ke Baghdad
Akar sejarah penamaan bintang Arab bermula dari karya Claudius Ptolemaeus atau Ptolemy, astronom Yunani yang hidup sekitar tahun 100 hingga 178 M di Alexandria, Mesir. Dalam karyanya Almagest, Ptolemy mencatat 1.022 bintang terang dan membaginya ke dalam 48 rasi. Ia memberikan deskripsi posisi dan kecerahan berdasarkan observasi para ilmuwan sebelumnya, seperti Hipparchus.
Ketika ilmu Yunani masuk ke dunia Islam pada abad ke-9, karya Ptolemy diterjemahkan dua kali ke dalam bahasa Arab dan menjadi referensi utama para ilmuwan Muslim. Masih menurut Kunitzsch, dalam proses ini lahirlah dua tradisi dalam dunia Islam. Pertama, tradisi lokal masyarakat Arab yang ia sebut sebagai “indigenous-Arabic”. Kedua, tradisi ilmiah yang disebutnya sebagai “scientific-Arabic”.
Nama-nama dari kedua tradisi ini kemudian diperkenalkan ke Eropa saat karya-karya Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sejak abad ke-12.
Sayangnya, proses penerjemahan itu sering memunculkan distorsi. Banyak istilah berubah makna atau kehilangan makna sama sekali. Ada juga nama-nama yang dialihkan ke bintang atau rasi yang salah.
Meski begitu, nama-nama Arab tetap mendominasi sistem penamaan resmi yang disahkan sejak masa Renaisans. Tahun 1603, astronom Jerman Johann Bayer memperkenalkan sistem penamaan menggunakan huruf Yunani kecil diikuti nama rasi dalam bentuk Latin. Contohnya, Vega, bintang paling terang di rasi Lyra, memiliki sebutan resmi Alpha Lyrae. Nama Vega sendiri berasal dari bahasa Arab, “al-Wāqi‘,” yang berarti “yang jatuh.”
Baca: Kiblat Umat Islam pernah tidak Seragam
Warisan Al-Sufi
Salah satu tokoh paling berpengaruh dalam astronomi Islam adalah Abu Al-Husayn ‘Abd Al-Rahman Al-Sufi (903–986). Dalam dunia Latin, ia dikenal sebagai Azophi. Al-Sufi menyusun ulang dan merevisi katalog Ptolemy dalam karyanya yang terkenal, Kitab Suwar al-Kawakib al-Thabitah atau Book of Fixed Stars, pada 964 M.
Karya tersebut berisi deskripsi bintang, posisi, tingkat kecerahan, dan nama-nama Arab kuno. Ia menggambarkan setiap rasi bintang dalam dua versi, seperti yang tampak di langit dan versi cermin seperti pada bola langit.

Kunitzsch menceritakan, Al-Sufi memasukkan nama-nama lokal seperti Aldebaran dan menyertakan kisah-kisah tentang bintang sebagai bagian dari imajinasi masyarakat Arab. Misalnya, Alpha dan Beta Ophiuchi dipercaya sebagai penggembala dan anjingnya. Bintang-bintang di sekitarnya membentuk padang berisi domba.
Beberapa nama bintang sudah sangat tua hingga maknanya pun tak dipahami lagi oleh al-Sufi dan rekan sezamannya. Ada juga nama yang merupakan hasil terjemahan dari deskripsi Ptolemy. Salah satu contohnya adalah Fomalhaut, yang berasal dari frasa Arab Fam al-Hut—artinya “mulut ikan selatan.”
Al-Sufi juga mencatat pengamatan atas benda langit lain, termasuk Galaksi Andromeda, yang ia sebut sebagai “awan kecil.” Ia juga mengamati perbedaan antara ekliptika dan ekuator langit serta memperkirakan panjang tahun tropis dengan lebih akurat daripada Ptolemy.
Pengaruh Book of Fixed Stars begitu besar di Eropa setelah diterjemahkan ke Latin pada abad ke-13. Tak hanya teksnya yang dikaji, gambar-gambar konstelasi dalam naskah tersebut menjadi rujukan visual bagi astronom Eropa. Salinan tertua dari buku itu ditulis oleh putra Al-Sufi pada tahun 1010 M dan kini disimpan di Bodleian Library, Oxford.
Baca: Khianat Barat terhadap Peradaban Islam
Yang tersisa di langit modern
Sebanyak 165 nama bintang dari akar bahasa Arab masih dikenal hingga hari ini. Beberapa nama langsung mencerminkan bentuk fisik atau letaknya di rasi. Misalnya, Betelgeuse berasal dari Yad al-Jauza’ yang berarti “tangan Orion”. Nama Rigel dari Rijl, berarti “kaki”.
Nama Altair, dari al-Ta’ir, berarti “yang terbang,” menggambarkan posisinya sebagai bintang paling terang dalam rasi Elang (Aquila). Sementara Denebola, dari Dhanab al-Asad, berarti “ekor singa” pada rasi Leo.
Bintang terang lainnya yang juga membawa warisan Arab di antaranya:
- Algol (Al-Ghul), di rasi Perseus
- Aldebaran (Al-Dabaran), “yang mengikuti” gugus Pleiades
- Alnitak (An-Nitaq), bagian dari sabuk Orion
- Mizar dan Merak, dua bintang penunjuk di rasi Ursa Major
- Alkaid (Al-Qa’id), “pemimpin wanita berkabung”
- Furud (Al-Furud), “yang terasing”
Beberapa nama juga menggambarkan karakter atau simbol kehidupan sehari-hari masyarakat Arab pra-Islam. Contohnya Ankaa berasal dari al-‘Anka’, yang mengacu pada burung Phoenix. Sadalmelik berarti “bintang keberuntungan sang raja,” sementara Sadalsuud berarti “keberuntungan dari segala keberuntungan.”

Baca: Ahli Ini Beri Tips Berdebat dengan Penganut Bumi Datar
Sejumlah nama terdiri dari gabungan Arab dan Latin, seperti Alula Australis dan Alula Borealis dari al-Qafzah al-Ula, yang merujuk pada “lompatan pertama.” Ada juga nama-nama yang jarang dipakai atau sudah tidak tercantum dalam peta langit modern.
Daftar lengkap nama-nama ini tercatat dalam katalog resmi dan digunakan oleh International Astronomical Union (IAU) sebagai standar penamaan global.