Ikhbar.com: Banyak yang beranggapan bahwa kesadaran masyarakat terhadap bahaya aksi bullying alias perundungan turut memberikan dampak negatif, yakni meningkatnya ketersinggungan antarindividu dan melunturkan budaya keakraban.
Klaim tersebut muncul dari adanya dugaan bahwa bullying hanya merupakan isu baru yang sebelumnya nyaris tidak pernah dipermasalahkan atau masuk pada kategori sebuah kewajaran.
“Dugaan itu anehnya juga muncul di kalangan pesantren. Santri yang lebih senior atau sejumlah alumni tidak jarang dengan bangga menceritakan bahwa bullying merupakan bagian dari penguatan mental di pesantren,” ungkap anggota Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), KH Sobih Adnan, saat menyampaikan materi “Pesantren Hebat, Pesantren Ramah Anak” dalam Masa Ta’aruf Santri Al-Muntadhor (Matadhor) III, di Pondok Pesantren Al-Muntadhor Babakan, Ciwaringin, Cirebon, Rabu, 26 Juli 2023.
“Padahal, ciri khas santri adalah mampu memecahkan fenomena atau permasalahan di masyarakat dengan berpegangan pada berbagai literatur, data, dan sumber yang kredibel, mendalam, dan berimbang, seperti halnya dalam tradisi bahtsul masa’il. Bukan malah berpatokan pada anggapan-anggapan,” sambungnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, JPPRA sangat menolak secara tegas jika kesadaran masyarakat terhadap bahaya aksi perundungan justru menjadi penyebab menurunnya nilai-nilai keakraban di tengah masyarakat hari ini, terlebih di lingkungan pesantren.
“Jadi, kita harus cek lagi, apa benar yang membuat suasana akrab itu adalah pewajaran bullying? Apa benar itu bukan cuma perasaan pelaku? Apa benar diam atau tampak terimanya korban waktu itu bukan justru karena takut dan terintimidasi?” tanya dia.
Menurutnya, faktor pembentuk keakraban yang diajarkan dalam Islam ialah kepemilikan akhlak dan perangai yang baik. Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
المؤمن يأْلَف ويُؤْلَف، ولا خير فيمن لا يأْلَف ولا يُؤْلَف
“Mukmin itu mudah akrab dan enak diakrabi. Dan tiada kebaikan pada orang yang tidak suka mengakrabi, tak nyaman pula diakrabi.” (HR Ahmad, Al Hakim, dan Al Baihaqi).
Baca: JPPRA Beri Motivasi Santri Baru di Pesantren Al-Muntadhor Cirebon
Imam Al Munawi mensyarahi hadits ini dengan menyimpulkan bahwa keakraban akan gampang dibangun dengan kebaikan akhlak, keluasan hati, dan kelembutan perangai. Sebaliknya, tidak akan ada kebaikan pada orang yang susah akrab karena memiliki iman yang lemah, hati yang keras, dan perilaku yang kasar.
“Selain itu, bullying juga bukan istilah baru. Tindakan tidak terpuji itu sudah dikenal sejak 1973, yang didefinisikan oleh psikolog Swedia, Dan Olweus, sebagai sebuah perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja hingga membuat seseorang merasa kesusahan,” kata Kiai Sobih.
“Bentuknya, bisa secara oral atau lisan yang kita sering balut dengan kedok guyonan, humor, dan sejenisnya. Ada juga bentuk fisik, bahkan ke ranah siber,” pungkas dia.