Ikhbar.com: Mousa Al-Buhaisi (25), dokter muda di Jalur Gaza, Palestina itu harus benar-benar tenang dan serius saat menjahit luka-luka di sekujur tubuh bocah berusia 10 tahun. Pasien ditangannya itu telah tertusuk 14 pecahan peluru setelah Israel melakukan serangan dan membombardir rumah keluarga mereka.
“Itu adalah kenangan saya saat pertama kali berjuang menyelamatkan korban di Gaza. Teriak kesakitan anak itu masih sering terdengar di telinga saya,” kata Dokter Al-Buhaisi, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera, Kamis, 25 Januari 2024.
Kala itu, kata dia, sudah tidak ada sedikit pun obat bius yang ditemukan. Kotak penyelamatan hanya berisi sisa-sisa perban. Al-Buhaisi terpaksa menjahitnya dengan sangat hati-hati dan perlahan, hingga tak terasa memakan waktu sekitar dua jam.
Berbekal pengalaman di Ukraina
Al-Buhaisi mengira pengalamannya menjadi sukarelawan di perang Rusia-Ukraina sudah cukup. Setelah berpraktik di sejumlah rumah sakit, termasuk di Ibu Kota Kyiv, ia memutuskan untuk pulang ke tanah kelahirannya untuk membantu pengobatan para korban di di Gaza.
“Mereka menyebut saya ‘Manusia Perang.’ Ke mana pun saya pergi, selalu ada perang,” katanya.
Suatu malam, ketika Israel melakukan serangan, Al-Buhaisi sedang berada di unit gawat darurat sebuah rumah sakit. Dia cukup yakin bahwa apa yang dia lihat sebagai seorang dokter lebih dari apa yang mungkin pernah disaksikan para profesional medis lain sepanjang hidup mereka.
“Saya telah melihat hal-hal yang membuat saya tak berselera makan selama seminggu. Anggota badan korban hilang, luka infeksi, isi perut perempuan dan anak-anak tumpah di lantai rumah sakit,” katanya.
Tekad untuk kembali ke Gaza diakui Al-Buhaisi sebagai pilihannya yang tepat. Ia merasa akan percuma mendapatkan banyak pengalaman di Ukraina jika tidak digunakan untuk membantu sesama warga Gaza
“Ketika saya memutuskan untuk kembali ke Gaza, itu adalah pilihan pribadi. Saya tidak tertarik untuk mendapatkan paspor asing dan lebih memilih tinggal dekat dengan keluarga dan teman-teman saya,” katanya.
Baca: Dua Perempuan Tewas per Jam, Kekerasan Seksual di Gaza kian Mengancam
Tak bisa melarikan diri
Al-Buhaisi menceritakan, ketika Rusia mulai menginvasi Ukraina pada 2022, ia pernah bertekad untuk melarikan diri.
Dia memaksakan diri naik bus selama enam jam bersama sejumlah rekannya menuju perbatasan Ukraina dan Rumania. Setelah itu, ia berjalan kaki sejauh 20 km dalam cuaca di bawah nol derajat celcius.
Sebenarnya, kedatangan Al-Buhaisi di Ukraina tidak hanya ketika perang berlangsung. Tetapi, ia sudah di sana dan telah menghabiskan delapan tahun untuk belajar di salah satu fakultas kedokteran di negara tersebut.
“Di sebuah persimpangan, saya harus meninggalkan teman-teman yang berasal dari Ukraina dan bergabung dengan antrean warga asing,” katanya.
“Kami mengantre dalam cuaca yang sangat dingin selama tujuh jam sebelum akhirnya diizinkan masuk,” tambahnya.
Kini, ia menyadari, sebegitu beratnya percobaan keluar dari Ukraina itu, sangat tidak sebanding dengan apa yang dialami warga Gaza sekarang ini.
“Saya sadar bahwa saat itu saya berhasil mengungsi, sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh sekitar 2,3 juta orang yang terjebak di Gaza,” katanya.
Baca: 1.000 Masjid di Gaza telah Dihancurkan Israel
Ukraina-Gaza, antara langit dan bumi
Al-Buhaisi juga membandingkan keadaan sektor kesehatan di Ukraina selama perang dengan fasilitas medis di Gaza. Di Gaza, katanya, lebih pas dijuluki “Perang Rumah Sakit,” karena Israel tidak menghapus fasilitas medis itu dari daftar sasaran pengeboman dan serangan.
Mengutip rilis Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Gaza, Al-Buhaisi menyebut setidaknya 30 rumah sakit dan 150 fasilitas medis lainnya sudah tidak dapat digunakan.
“Tentara Israel juga telah membunuh sekitar 337 petugas kesehatan dan menangkap 99 lainnya,” kata dia.
“Saya belum pernah melihat sesuatu yang mengerikan seperti yang saya lihat di sini, di Gaza,” kata Al-Buhaisi.
Al-Buhaisi menggambarkan fasilitas di Ukainia, tempat dia bekerja dulu, sebagai tempat berlindung yang aman dan dipenuhi pasokan obat dan makanan.
“Setiap dokter di unit gawat darurat memiliki tim masing-masing, termasuk tiga perawat pendamping,” ujarnya.
“Di sini, di Gaza, sebagian besar kasus yang saya tangani, ditangani secara langsung. Saya atau satu orang dokter, harus bisa menangani enam korban sekaligus dalam waktu yang bersamaan,” katanya.
Sementara itu, ahli saraf pediatrik dan salah satu pendiri Gaza Medic Voices, Abdel-Mannan menjelaskan, Gaza adalah kondisi paling buruk jika dibandingkan dengan konflik yang terjadi di mana pun dalam sejarah.
Menurutnya, sistem triase alias proses khusus dalam memilah dan memilih pasien berdasarkan skala prioritas penyakit untuk menentukan tahapan perawatan, telah benar-benar runtuh di Gaza.
“Sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Mannan.
Hal itu, lanjut dia, sangat mengkhawatirkan karena triase merupakan hal yang sangat penting dalam penanganan pasien.
“Lebih mengkhawatirkan lagi karena itu diiringi oleh penargetan langsung atas serangan terhadap petugas dan fasilitas layanan kesehatan,” tambahnya.
Kurangnya pasokan, pekerja, tempat tidur, dan fasilitas rumah sakit lainnya telah memaksa para dokter di Gaza mengambil keputusan yang kadang terkesan tidak manusiawi, sehingga menimbulkan dilema etis dalam benak mereka.
“Para petugas kesehatan ini sering kali harus membuat pilihan yang bertentangan dengan praktik normal. Contoh seringnya, mengoperasi tanpa obat bius,” katanya.
Juru bicara Kemenkes Gaza, Ashraf Al-Qudrah mengatakan, saat ini, bantuan yang masuk ke Gaza melalui perbatasan Rafah hanya memenuhi kurang dari 30% kebutuhan wilayah tersebut.
Baik jumlah maupun jenis bantuan dikendalikan oleh Israel, yang telah melakukan pengepungan total terhadap Gaza sejak dimulainya serangan.
Menjatah penggunaan obat penghilang rasa sakit dan pasokan lainnya adalah sesuatu yang mau tidak mau harus dilakukan pekerja kemanusiaan di Gaza.
“Ditambah lagi, selama ini, hanya ada sedikit akses terhadap makanan, air, dan hampir tidak ada listrik karena terbatasnya bahan bakar. Generator tidak berfungsi dan peralatan penyelamat tidak berfungsi,” kata dia.
Sesuai catatan Kemenkes Gaza, kini sudah lebih dari 25.000 warga Gaza yang tewas dan 62.000 lainnya terluka akibat serangan Israel sejak 7 Oktober 2023 lalu.
Potensi jumlah korban terus membesar pun semakin menganga. Selain karena serangan, terdapat pula peningkatan epidemi di kalangan pengungsi berupa penularan penyakit pernapasan, keracunan makanan, dan masalah ginjal.
“Dan, seiring dengan dimulainya musim dingin, kasus flu, batuk, dan pilek meningkat, khususnya di kalangan anak-anak,” kata dia.