Ikhbar.com: Wanita hamil menjadi salah satu kelompok paling rentan terkena dampak dari hancurnya sistem layanan kesehatan akibat perang Israel dan Hamas di Jalur Gaza, Palestina.
Mengutip United Nations Population Fund (UNFPA) atau Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), saat ini Gaza menjadi rumah bagi 50.000 ibu hamil. Dari jumlah tersebut, 5.500 di antaranya diprediksi melahirkan pada bulan ini.
“Total lebih dari 160 kelahiran per hari,” bunyi rilis UNFPA, dikutip dari Al Arabiya, Jumat, 3 November 2023.
Tidak hanya layanan kesehatan, warga Gaza pun telah kehilangan akses terhadap kebutuhan dasar seperti air bersih, makanan, dan obat-obatan. Di tengah gejolak perang yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda, kehamilan yang biasanya menjadi kabar menggembirakan bagi banyak orang, justru dibayangi segala hal yang menakutkan sejak konflik meletus pada 7 Oktober lalu.
Baca: Mengenang Wasiat Bocah-bocah Syuhada di Gaza
Kiamat obat-obatan
Juru bicara Komite Internasional Palang Merah (ICRC), Hashim Mhanna menyebut, ribuan perempuan di Gaza, termasuk istrinya, sedang menunggu untuk menyambut kehadiran bayi mereka di tengah situasi yang mengerikan saat ini.
“Biasanya, kami merayakan setiap pencapaian luar biasa ini dalam hidup kami,” kata Mhanna. “Saya rasa tidak ada bayi yang boleh lahir dalam keadaan seperti ini,” sambungnya.
Lebih dari satu per tiga rumah sakit di Gaza atau 12 dari 35 unit, dan hampir dua per tiga klinik layanan kesehatan primer (46 dari 72 unit) telah ditutup karena rusak setelah dibombardir selama perang berlangsung.
Sedangkan rumah sakit yang masih berfungsi kebanyakan telah mengubah bangsal bersalin menjadi ruang gawat darurat atau operasi. Para dokter harus mengambil keputusan sulit dengan menolak pasien dan merujuk mereka ke rumah sakit lain, yang terkadang tidak aman untuk dijangkau.
“Ibu hamil pada tahap ini dianggap paling rentan. Mereka membutuhkan perawatan medis. Mereka juga memerlukan situasi yang tenang untuk mempersiapkan persalinan,” katanya.
“Sedangkan suara ledakan terus menghentak sepanjang malam. Kami juga tidak bisa lagi memanggil ambulans karena jaringan komunikasi dan internet telah lumpuh,” lanjut Mhanna.
Di sisi lain, laporan mengenai prosedur persalinan, termasuk operasi caesar yang dilakukan tanpa anestesi atau obat penghilang rasa sakit telah muncul dan menambah problem kekurangan pasokan medis yang drastis di Gaza .
“Kami mendapat laporan mengenai hal ini. Saya mengenal beberapa ibu yang harus menunda persalinan karena tidak tersedianya ruang operasi dan rumah sakit yang ditunjuk untuk menerima kasus tersebut atau disebabkan kurangnya perlengkapan medis yang diperlukan seperti anestesi dan lain-lain,” ungkap dia.
Mhanna juga membenarkan laporan bahwa beberapa amputasi dilakukan tanpa obat-obatan penting, seperti anestesi, bius, maupun obat penghilang rasa sakit lainnya.
“Ini keputusan yang sangat sulit yang harus diambil oleh tim medis,” keluhnya.
Dia mengungkapkan, penderitaan itu akhirnya tidak hanya menimpa para ibu hamil, tetapi juga harus dirasakan bagi para penyandang disabilitas, pasien cuci darah, hingga kanker.
“Mereka semua sekarang berada dalam lingkaran risiko karena hidup mereka bergantung pada pemeliharaan layanan kesehatan yang mereka butuhkan tepat waktu,” kata Mhanna.
Sementara itu, satu-satunya rumah sakit pengobatan kanker di Jalur Gaza kini tidak berfungsi lagi setelah kehabisan bahan bakar.
“Saya tidak berpikir bahwa sistem layanan kesehatan akan mampu mempertahankan penyediaan layanan kesehatan tanpa adanya pasokan medis, peralatan, bahan bakar, dan sistem layanan kesehatan yang terpuruk selama berminggu-minggu karena tertutupnya akses menuju wilayah tersebut,” katanya.
Baca: Kisah Pilu Ibu-ibu Palestina Jaga Kesehatan Mental Anak Mereka di Gaza
Ibu hamil tertimbun puing
Selain dampak psikologis, kekurangan bahan bakar dan masalah transportasi telah menyebabkan banyak perempuan hamil tidak memiliki akses yang aman terhadap perawatan medis yang sangat mereka butuhkan.
“Saya sedang hamil dua bulan, dan saya pernah mengalami pendarahan sebelumnya. Ada pengobatan yang harus saya jalani, tapi saya tidak bisa menjalaninya,” kata seorang ibu hamil di Gaza, Reham Rashed (24).
Dia juga mengatakan tidak bisa mengonsumsi asam folat, suplemen yang dibutuhkan wanita hamil untuk membantu mencegah cacat lahir pada otak dan tulang belakang bayi.
Calon ibu tersebut hanya bisa berlindung dari bom di Rumah Sakit Al-Shifa. Ada ribuan warga Gaza yang senasib dengan Rashed sekarang ini.
Kisah lainnya, serangan udara Israel telah menewaskan banyak perempuan hamil bersama janin mereka. Beruntung, wanita bernama Islam Hussein (35), menjadi satu dari sedikit orang yang masih selamat.
“Mereka mengebom rumah di sebelah kami. Lalu kami tidak tahu apa yang terjadi. Saya merasakan puing-puing di sekujur tubuh saya dan saya tidak bisa bergerak. Saya mulai berteriak, terus berteriak sampai tim penyelamat menemukan saya. Mereka akhirnya mendengar dan berhasil membawa saya keluar dari reruntuhan bangunan,” ucap Islam.
Dokter pun segera membawanya untuk dilakukan operasi caesar darurat 10 hari sebelum tanggal prediksi kelahiran. Pasalnya, denyut nadi sang bayi terdeteksi kian melemah.