Ikhbar.com: Tingkat partisipasi dalam pendidikan di Indonesia disebut anjlok selama pandemi Covid-19. Situasi ini berdampak pada learning loss alias penurunan kemampuan siswa atau kesenjangan antara kemampuan belajar dengan standar tertentu, baik nasional maupun internasional.
Fenomena itu terjadi karena hanya 28% siswa yang mengikuti pembelajaran daring, sementara sisanya belajar tatap muka di luar sekolah atau bahkan tidak belajar sama sekali. Penurunan partisipasi sekolah itu terhadi dari tahun ajaran 2019/2020 ke 2020/2021.
Baca: Tiada Kata Terlambat, Ada Siswi Berusia 110 Tahun di Saudi
Data dan fakta
Monitoring and Evaluation Specialist dari Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI), George Adam Sukoco bersama dengan mahasiswa doktoral bidang sosiologi di Universitas Melbourne, Australia, Senza Arsendy melaporkan hasil penelitian lebih mendalam tentang problem tersebut. Mereka menyimpulkan, siswa kelas awal di Indonesia telah kehilangan kemampuan belajar setara dengan 0,47 standar deviasi (setara dengan enam bulan) untuk literasi dan 0,44 standar deviasi (setara dengan lima bulan) untuk numerasi setelah satu tahun pandemi.
“Indikasi ini mencerminkan pencapaian pembelajaran yang hanya setengah dari kondisi normalnya. Angka ini jauh lebih tinggi daripada Amerika Serikat (AS) dan Cina,” ujar mereka, dikutip dari The Conversation, Ahad, 27 Agustus 2023.
Mereka mengeklaim, learning loss pun telah memperbesar kesenjangan hasil belajar antarmurid. Banyak siswa belum mencapai standar kompetensi yang ditetapkan. Pada tahun ajaran 2020/2021, misalnya, hanya 22% siswa kelas 1 yang mencapai standar kurikulum darurat untuk numerasi. Mayoritas siswa belum menguasai operasi hitungan di atas angka 20.
Tingkat literasi juga rendah. Menurut mereka, Hanya satu dari tiga siswa kelas 2 yang memenuhi standar Sustainable Development Goals (SDGs). Siswa menghadapi kesulitan dalam membaca dan memahami makna teks.
Lebih jauh mereka memperkirakan, dampak dari learning loss akan berpengaruh pada masa depan. Kemampuan dasar seperti literasi dan numerasi penting untuk pembelajaran yang lebih kompleks. Tanpa dasar tersebut, keterbatasan dalam berpikir kritis dan inovasi akan terjadi.
Studi dari Bank Dunia menunjukkan, learning loss akibat pandemi dapat mengurangi pendapatan generasi mendatang sekitar 17 triliun dolar AS atau setara dengan Rp259,3 kuadriliun.
Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) juga menemukan bahwa penurunan hasil belajar dapat mengurangi pendapatan negara anggota G20. Di Indonesia, menurunkan pendapatan negara sekitar 24-34%.
Terbatasnya akses ke sekolah dan lambatnya kemampuan belajar berpotensi menyebabkan masalah sosial. “Di Lombok, anak-anak yang kehilangan akses berisiko menghadapi pernikahan usia dini,” ungkap mereka.
Pesantren lebih stabil
Sementara itu, pembelajaran di pondok pesantren menunjukkan adaptasi yang menarik selama pandemi berlangsung. Umumnya, metode pengajian seperti bandungan dan sorogan tetap menjaga stabilitas pembelajaran sesuai jadwal normal, sambil menerapkan protokol kesehatan (prokes) dengan ketat.
Baca: Kiai Ma’ruf Amin: Pesantren Cegah Korsleting Pemikiran Agama
Selain itu, data pendaftaran pesantren di berbagai daerah menunjukkan peningkatan yang signifikan selama periode tahun ajaran 2020/2021 dan 2021/2022. Contohnya di Bojonegoro, Kepala Bidang Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Kementerian Agama (Kemenag) Bojonegoro, Zainal menyatakan bahwa jumlah pendaftaran santri meningkat 20% selama pandemi.
Dengan pembelajaran yang tetap stabil dan terstruktur, serta pengawasan yang ketat terhadap proses belajar-mengajar, pesantren mungkin dapat mengurangi dampak negatif situasi pandemi terhadap kemampuan belajar siswa.
Hal itu, bahkan diakui langsung Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) RI Nadiem Anwar Makarim. Menurutnya, keberlangsungan pandemi Covid-19 yang kerap menghadirkam efek stres pada siswa tidak tampak di lingkungan pesantren.
“Saya melihat wajah para santri yang senyum ceria. Karena kalau saya ke tempat-tempat lain wajahnya kadang masih stress karena adaptasi. Terus saya menyadari, santri tidak pernah pembelajaran jarak jauh (PJJ). Jadi mereka melewati pandemi ini tidak mengalami ketertinggalan pembelajaran atau learning loss, mereka lanjut saja,” terangnya.
Menurut Nadiem, model pesantren itu memiliki resiliensi atau kemampuan mental dan emosional untuk mengatasi krisis yang sangat tinggi. Pesantren memiliki keunggulan tersendiri di masa pandemi ini.
“Karena mereka tidak mengalami trauma dari learning loss dari PJJ. Itu merupakan satu hal kekuatan dari model pesantren,” katanya.